kasihan Sean ya teman-teman
"Dia bisa melakukan apapun. Bahkan hal-hal yang kita pikirkan takkan pernah dilakukannya."Daniel yang mendengar itu hanya terdiam sambil mengepalkan tangannya. Pria itu memilih untuk naik ke lantai atas menuju kamarnya agar bisa membersihkan diri.Tapi saat sampai di sana, dia justru melihat sosok gadis yang baru saja keluar dari kamar dan tampak menatapnya lekat."Kamu ... baru pulang?" tanya Nadia, ada sedikit kekhawatiran yang melintas di matanya ketika melihat pria itu tampak basah kuyup dan penampilannya sangat berantakan. "Ya," jawab Daniel. "Istirahatlah," tuturnya lagi.Nadia mendengar itu hanya terdiam, dia justru melangkahkan kakinya mendekati Daniel dan berkata, "Semuanya akan baik-baik aja, 'kan?"Daniel yang mendapati pertanyaan itu sedikit terkejut, namun raut wajahnya tetap datar dan dia segera menjawab, "Tentu," ujarnya singkat seraya mengelus pelan kepala gadis itu dan kembali menambahkan, "Kamu tak perlu khawatir."Meski semua orang memintanya untuk tak mengkhawati
"Maaf."Nadia yang mendengar kalimat itu tampak membulatkan matanya karena terkejut. "Eh, maaf? Tiba-tiba saja?""Karena masalah ini, pernikahan kita harus ditunda." Daniel segera menjelaskan maksud dari permintaan maafnya itu.Bagaimanapun juga dia merasa bersalah karena pernikahan harus ditunda, mengingat saat ini putranya masih belum ditemukan dan rasanya tak etis apabila dia tetap melangsungkan pernikahan dengan Nadia.Mendengar itu, Nadia menghelan nafas perlahan dan berkata, "Kenapa harus minta maaf?" tanyanya sambil menatap lekat pria itu yang kini mendongakkan kepalanya. Dia pun kembali menambahkan, "Yang paling penting sekarang, kita harus segera menemukan Sean."Tak ada sedikitpun rasa kecewa akibat rencana pernikahannya itu ditunda secara mendadak. Nadia bahkan tak fokus mengenai pernikahannya yang akan dilangsungkan besok. Tapi saat calon suaminya itu mengatakan maaf dan orang tuanya dipenuhi dengan rasa bersalah, Nadia akhirnya tersentuh dan merasakan suatu getaran yang b
"Gila," ungkap seorang gadis yang kini telah berada di kamarnya dengan wajah tampak dihiasi dengan gurat kemerahan karena salah tingkah. Dia masih berdiri tepat di belakang pintu kamar dengan jantung yang terasa berdebar semakin kencang. Ingatan beberapa menit lalu masih berputar-putar di dalam kepalanya, rasanya seperti mimpi dan Nadia tak bisa mempercayainya sama sekali.Perlahan gadis itu mencubit pipinya dan segera mengeluh, "Aw! Sakit ... berarti ini bukan mimpi," gumamnya.Senyuman kini mulai menghiasi wajahnya dan gadis itu berjalan menuju ke ranjang. Dia lantas duduk tepat di atas sisi ranjangnya dengan pandangan yang masih kosong. "Kenapa dia selalu bisa bikin aku bingung kayak gini, sih?" gumamnya lagi sambil menepuk-nepuk pipinya agar kembali sadar ke kenyataan. "Dasar nyebelin," desisnya tanpa bisa menyembunyikan senyumnya yang kini semakin sumringah.Dia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Tangannya diletakkan tepat di depan dada dan Na
"Hati Nadia ikut sakit kalau melihat Ibu menderita."Ratna yang mendengar itu tak bisa lagi membendung tangisnya karena bahagia. "Beruntungnya Ibu memiliki anak seperti kamu, Nadia."Nadia yang mendengar itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan dan berkata, "Justru Nadia yang merasa bersyukur karena jadi putri Ibu, coba kalau jadi anak orang lain? Belum tentu sekarang jadi sekuat ini."Nadia sangat sadar bahwa selama ini dia mendapat pembelajaran yang baik itu berharga dari Ratna. Wanita paruh baya itu tak pernah lupa untuk mengingatkannya supaya tetap bersyukur dan berada di jalan yang benar meskipun harus menjalani kehidupan yang sulit. Gadis itu pun kembali menambahkan, "Kalau Ibu dulu nggak ajarin Nadia supaya jadi anak yang kuat, Nadia sekarang udah gampang menyerah."Ratna merasa sangat bangga karena bisa membesarkan seorang anak seperti Nadia. Wanita paruh baya itu perlahan mulai menyekat sudut matanya yang berair sambil berkata, "Kamu adalah anugerah yang paling indah
"Sean ..." Seorang wanita paruh baya yang masih memejamkan matanya itu tiba-tiba saja mengigau. Keningnya tampak berkerut dan detik berikutnya dia langsung membuka matanya dengan nafas yang memburu naik turun. "Ha ... Ha ... Sean?"Ketika dia telah bangun sepenuhnya, wanita paruh baya itu sadar bahwa cucunya saat ini masih belum ditemukan.Dengan keadaan mata yang sebab karena semalaman menangis sampai tertidur, Marta mengusap wajahnya dengan kasar."Sean, cucuku ... kamu ada dimana?"Di saat wanita paruh baya itu tengah terpukul karena dia berpikir kejadian kemarin malam hanyalah sebuah mimpi belaka, saat ini berada dalam keadaan yang begitu terpuruk. Namun tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari pintu.Dengan cepat wanita paruh baya itu menoleh sambil mengerutkan keningnya. Namun tak berselang lama terdengar suara seorang gadis dari luar sana."Tante, ini Nadia. Apa Nadia boleh masuk?"Saat Martha tahu kalau seseorang yang berada di depan pintu kamarnya itu adalah calon menantu
"Daniel, kamu mau kemana?" Hendrawan yang baru saja turun dari lantai atas itu tampak mengerutkan keningnya ketika melihat putranya itu berniat untuk keluar rumah.Dengan cepat pria itu pun langsung menoleh dan menatap lekat ayahnya. Namun pandangannya juga beralih menatap ibunya dan Nadia.Daniel pun menjawab pertanyaan ayahnya dengan jujur. Saat ini tujuannya keluar rumah tentu saja untuk memastikan informasi yang baru saja didapatkan oleh asisten pribadinya karena dia tak ingin menunda waktu sedikitpun sebab lokasi si penculik bisa saja berubah jika mencurigai sesuatu."Titik lokasi terakhir penculik sudah ditemukan."Mata semua orang di ruangan Itu tampak membulat dengan sempurna ketika mendengar penuturan Daniel.Martha yang awalnya merasa lemas itupun dengan cepat langsung berjalan turun dibantu dengan Nadia dan bertanya secara langsung pada putranya, "Apa kamu serius? Dimana? Apa Sean yang terlihat di sana?""Belum ada tanda-tanda mengenai Sean." Pria itu menghela napas perlahan
"Apa kamu sudah menemukannya?" Daniel yang baru saja turun dari mobil itu segera melayangkan pertanyaan pada asistennya.Dion yang sejak tadi menunggu hanya bisa tersenyum pahit karena dia tak menemukan apapun dan menggelengkan kepalanya perlahan."Maaf, Bos. Sayangnya tidak ada informasi apapun karena ternyata pelayan itu sudah pergi sekitar satu minggu yang lalu."Daniel yang mendengar itu seketika tampak mengerutkan keningnya karena dia ingat dengan jelas bahwa sekitar satu minggu yang lalu itulah dia memecat si pelayan penghianat.Jika terus mengingatnya dan menyusunnya secara runtut maka kejadian ini memang benar-benar sudah direncanakan dari awal.Hanya dengan memikirkannya saja telah berhasil membuat amarah pria itu kembali membara.Pandangan Daniel kembali mengarah tepat pada sebuah rumah yang kini tampak kosong dan dikelilingi oleh beberapa bodyguard-nya."Cari informasi lebih banyak lagi," perintahnya pada sang asisten dan langsung ditanggapi dengan anggukan patuh.Daniel se
"Kamu yang membuatku kecewa terlebih dahulu, Daniel. Apa kamu lupa betapa frustasinya aku ketika tubuhku ini hancur gara-gara melahirkan Sean?"Sembari menatap lekat mantan suaminya itu, Monica menyimpan harapan yang begitu besar karena dia tahu dengan jelas pria itu tak akan bisa berkutik lagi jika diingatkan kembali tentang masa lalu. Di dalam hatinya dia pun membatin, 'Aku yakin dia nggak akan bisa mengelaknya,' pikirnya.Namun Daniel yang mendengar itu semua justru mengerutkan keningnya. Dia memang tak melupakannya sama sekali, namun dia telah memberikan semua yang diinginkan wanita itu sebagai tanda kompensasi.Bahkan sampai beberapa saat yang lalu, Daniel tidak membahasnya sama sekali karena dia telah melupakannya.Tapi sekarang rasanya sangat berbeda karena Monica sudah kelewat batas dan wanita itu justru memanfaatkan kenangan masa lalu."Kamu ingat itu, bukan?""Ya," jawab Daniel. Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap lekat mantan istrinya dengan ekspresi datar sambil berkat