"Apa keadaannya buruk?" Anggun menggeleng perlahan. "Tidak, Tuan. Non Nadia sudah istirahat dan sekarang sedang tidur di kamarnya."Meskipun dia telah berjanji untuk tak melaporkan hal ini pada Daniel dan menyembunyikannya seperti yang diinginkan oleh Nadia, Anggun tak bisa terus-menerus menutupinya karena bagaimanapun juga dia ditugaskan untuk melaporkan segala hal yang terjadi."Baiklah," ujar Daniel. Sorot pandangan pria itu terlihat cemas dan dia segera naik ke lantai atas. Di dalam hatinya dia mulai berkata, 'Seharusnya aku lebih perhatian padanya,' batinnya.Setelah dia memastikan keadaan putranya di rumah sakit dalam kondisi yang baik dan ada banyak orang yang menjaganya, Daniel bisa merasa lega. Namun sayangnya ketika dia pulang ke rumah, Daniel justru mendapatkan sebuah informasi yang membuatnya merasa sedikit terkejut.Tanpa sadar dia kini telah berada tepat di lantai atas. Daniel mengangkat wajahnya dan melirik ke arah pintu kamar Nadia. Dia melangkah mendekat dan berhenti
Entah karena kebetulan atau memang firasatnya yang kuat, Nadia perlahan mulai membuka matanya karena dia sadar ada seseorang yang sedang memperhatikan.Dia mengerutkan keningnya sejenak dan berkata, "Daniel … kenapa kamu ganteng banget, sih?"Wajah Daniel seketika langsung membeku. Ini pertama kalinya gadis itu memujinya secara langsung. Namun belum juga usai keterkejutannya itu, Nadia tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan membelai wajahnya. Nadia menekuk wajahnya dan kembali berkata, "Padahal dulu aku nggak suka sama cowok kayak kamu." Itu merupakan kejujuran pertama yang diungkapkan oleh Nadia, tepat di hadapan Daniel. Dia memiringkan kepalanya sedikit, mengelus wajah Daniel dan berkata, "Di mimpi aja kamu kelihatan nyata. Tapi kalau aku ngelakuin hal ini, kamu yang asli pasti bakalan marah. Kamu 'kan mirip gunung es. Dingin dan ha … sulit untuk didekati."Sudut bibir Daniel terasa berkedut dan dia hampir saja tertawa ketika mendengar keluh kesah Nadia. 'Jadi sekarang dia berpikir
"Mulai sekarang jangan ragu lagi untuk mengungkapkan isi hatimu, Nadia."Ketika tatapan mereka saling bertemu, ada gejolak yang mulai muncul di dalam hati sepasang insan manusia ini. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang dan entah mengapa dia tak rela untuk memalingkan wajahnya. Semakin larut memandangi pria itu, dia tahu kalau ternyata sesuatu yang selama ini dianggap tak mungkin bisa benar-benar terjadi.Tak pernah sekalipun dia menyangka akan memiliki perasaan seperti ini untuk Daniel. Begitu juga dengan kenyataan bahwa pria itu mencintainya.Sekali lagi pria itu kembali menarik tangan Nadia dan menciumnya perlahan. Kali ini, Nadia tak memberikan reaksi berlebihan dan membiarkan pria itu menyalurkan perasaannya secara terang-terangan.Selang beberapa detik pria itu langsung menarik tubuhnya kembali dan berkata, "Jangan menyembunyikan apapun lagi dariku."Nadia mengerutkan keningnya tak mengerti. Namun sayangnya sebelum dia bisa memberikan reaksi apapun, Daniel kembali menamb
Malam ini hujan telah mengguyur seluruh kota dengan deras. Suara guntur sesekali menggelegar di langit yang gelap dan menyebabkan kilat mengejutkan.Sean meringkuk di atas ranjangnya dan tubuhnya saat ini kembali gemetaran. Martha yang melihat cucunya aneh itu seketika langsung mendekat sambil mengerutkan keningnya. Keringat dingin benar-benar membasahi tubuh Sean, wajahnya pun terlihat pucat seolah-olah dia tengah merasa takut oleh sesuatu."Sean," Panggil wanita paruh baya itu. Dia menyentuh pundak Sean dan menggoyangkannya perlahan. "Bangun, Sayang. Ada Oma disini," lirihnya.Namun bocah lelaki itu tetap saja memejamkan matanya. Dengan cepat dia langsung menoleh ke arah suaminya yang tengah tertidur di sofa. "Papa! Bangun, Pa!" serunya.Hendrawan yang mendengar suara teriakan istrinya itu perlahan mulai membuka matanya. Dia menggosoknya perlahan dan bangkit berdiri sambil berjalan menuju ke arah Martha."Kenapa, Ma?" tanyanya bingung ketika melihat wajah istrinya itu terlihat ketak
"Kamu nggak mau sarapan dulu?" Nadia bertanya pada sosok pria yang saat ini berniat untuk langsung berangkat bekerja. Daniel menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak," jawabnya singkat sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya, dia pun menambahkan, "Aku harus berangkat sekarang."Nadia yang mendengar itu seketika langsung mengerutkan keningnya karena Daniel hampir tak pernah meninggalkan sarapan. 'Apa ada sesuatu yang terjadi? Ini juga masih pagi,' batinnya.Ketika Nadia tengah memikirkan itu, Daniel tiba-tiba kembali berkata padanya sambil melirik ke arah kepala pelayan, "Pergilah ke rumah sakit dengan kepala pelayan.""Eh? Kenapa? Aku bisa--""Ini demi keamananmu." Daniel dengan cepat langsung memotong dan memasang raut wajah serius. Mendengar itu, Nadia semakin merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi?Pasti ada alasan dibalik perintah yang baru saja dikatakan oleh Daniel dan Nadia ingin mendengarnya secara langsung dari pria itu.Perlahan dia
"Papa dan Mama udah cari psikolog juga, kok. Jadi kamu tenang aja." Hendrawan memberikan wejangan pada putranya melalui telepon karena dia tahu dengan jelas masalah mengenai Sean, pasti membuat kekhawatiran.Daniel yang ada di ujung telepon sana menghela nafas perlahan sambil memijat dahinya. "Iya, Pa. Tolong jaga Sean.""Kamu ngomong apa, sih? Papa jelas akan menjaga Sean," sahutnya sambil melirik ke arah cucunya yang saat ini tengah sarapan. Daniel tersenyum tipis. Dia belum menceritakan mengenai rencananya pada Hendrawan. "Sebenarnya hari ini akan ada konferensi pers di perusahaan."Hendrawan seketika langsung memicingkan matanya dengan tajam. "Konferensi pers?" Suaranya yang sedikit keras itu telah berhasil membuat istri serta cucunya tampak menoleh ke arahnya. Martha terlihat mengerutkan keningnya seolah ingin mendengarkan penjelasan dari Hendrawan. Namun Hendrawan dengan cepat langsung memalingkan wajahnya dan berlalu keluar. "Daniel, Papa nggak salah dengar, kan?"Bagaimanapu
"Bos," panggil Dion sambil berjalan mendekati atasannya itu yang baru saja sampai ke kantor. Ketika Daniel menatapnya, Dion segera menambahkan, "Persiapan untuk konferensi pers sudah selesai."Daniel memperlambat langkahnya ketika mendengar informasi tambahan dari asisten pribadinya itu. Paling tidak kini dia bisa merasa sedikit tenang karena persiapan sudah selesai dan Daniel hanya perlu memantapkan diri saja untuk memulainya."Untuk para wartawan yang kita undang, mereka juga sudah mau menutup mulut sampai konferensi pers itu dimulai." Lagi, Dion memberikan informasi penting pada sang atasan yang kini berjalan tepat beberapa langkah di depannya."Bagus." Hanya jawaban singkat itu saja yang keluar dari mulut Daniel. "Pastikan semuanya berjalan dengan lancar dan jangan sampai informasi ini bocor sebelum kita memulai konferensi pers," ujarnya dengan ada yang memerintah."Baik, Bos." Dion dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya itu karena dia sadar bahwa ini merupakan perintah yang
"Dion, tenanglah." Daniel segera memperingati asisten pribadinya itu yang saat ini terlihat curiga. Dion yang mendapatkan peringatan itu segera membungkukkan tubuhnya sedikit. Dia memang harus bisa menahan diri agar tak tersulit emosi.Daniel menghela napas perlahan dan kembali menatap para karyawan itu. Dia meletakkan kedua sikunya ke atas meja dan memangku dagunya, lalu berkata, "Saya harap tak ada satupun dia antara kalian yang merupakan pengkhianat."Meski kata-katanya itu dimaksudkan untuk memperingatkan para karyawannya. Namun mereka semua tahu, Daniel tengah curiga. Seketika para karyawan itu menundukkan kepalanya dan menjawab serentak, "Baik, Pak CEO."Tak banyak orang yang benar-benar dipercaya oleh Daniel karena dia telah merasa muak sebab pernah dikhianati. Saat ini, Daniel juga yakin kalau mantan istrinya pasti mencoba untuk membayar salah satu karyawan di perusahaannya untuk menjadi mata-mata. Meski memang dugaan itu masih belum terbukti sepenuhnya, Daniel ingin mencoba
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h