hari ini author update agak banyak ya.
"Apa kamu serius minta maaf?"Dion seketika langsung terdiam ketika mendengar perkataan atasannya itu. Dia memundurkan tubuhnya sedikit ke belakang ketika merasakan sesuatu yang aneh dan curiga kalau ada ide gila yang muncul di dalam kepala Daniel.Ketika Daniel melihat asisten pribadinya itu terdiam dia langsung mengerutkan keningnya.Dion yang melihat itu buru-buru langsung berkata, "Iya, Bos. Saya emang serius minta maaf.""Kalau begitu, lakukan sesuatu untuk membantuku.""Membantu? Apa?"Daniel hanya terdiam. Dia membuka laci mejanya itu dan mengeluarkan sesuatu. Dengan senyuman yang tampak licik, dia kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh arti pada Dion.'Sial ... apa yang direncanakan sekarang?' batin Dion, merasa merinding ketika melihat pengumuman Daniel.*"Duh! Masa harus kayak gini, Bos?" Dion merasa tak nyaman karena sekarang dia benar-benar terlihat mirip dengan Daniel. Meskipun memang hanya dari segi pakaian saja, tapi seseorang yang melihatnya dari kejauhan pas
"Apa keadaannya buruk?" Anggun menggeleng perlahan. "Tidak, Tuan. Non Nadia sudah istirahat dan sekarang sedang tidur di kamarnya."Meskipun dia telah berjanji untuk tak melaporkan hal ini pada Daniel dan menyembunyikannya seperti yang diinginkan oleh Nadia, Anggun tak bisa terus-menerus menutupinya karena bagaimanapun juga dia ditugaskan untuk melaporkan segala hal yang terjadi."Baiklah," ujar Daniel. Sorot pandangan pria itu terlihat cemas dan dia segera naik ke lantai atas. Di dalam hatinya dia mulai berkata, 'Seharusnya aku lebih perhatian padanya,' batinnya.Setelah dia memastikan keadaan putranya di rumah sakit dalam kondisi yang baik dan ada banyak orang yang menjaganya, Daniel bisa merasa lega. Namun sayangnya ketika dia pulang ke rumah, Daniel justru mendapatkan sebuah informasi yang membuatnya merasa sedikit terkejut.Tanpa sadar dia kini telah berada tepat di lantai atas. Daniel mengangkat wajahnya dan melirik ke arah pintu kamar Nadia. Dia melangkah mendekat dan berhenti
Entah karena kebetulan atau memang firasatnya yang kuat, Nadia perlahan mulai membuka matanya karena dia sadar ada seseorang yang sedang memperhatikan.Dia mengerutkan keningnya sejenak dan berkata, "Daniel … kenapa kamu ganteng banget, sih?"Wajah Daniel seketika langsung membeku. Ini pertama kalinya gadis itu memujinya secara langsung. Namun belum juga usai keterkejutannya itu, Nadia tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan membelai wajahnya. Nadia menekuk wajahnya dan kembali berkata, "Padahal dulu aku nggak suka sama cowok kayak kamu." Itu merupakan kejujuran pertama yang diungkapkan oleh Nadia, tepat di hadapan Daniel. Dia memiringkan kepalanya sedikit, mengelus wajah Daniel dan berkata, "Di mimpi aja kamu kelihatan nyata. Tapi kalau aku ngelakuin hal ini, kamu yang asli pasti bakalan marah. Kamu 'kan mirip gunung es. Dingin dan ha … sulit untuk didekati."Sudut bibir Daniel terasa berkedut dan dia hampir saja tertawa ketika mendengar keluh kesah Nadia. 'Jadi sekarang dia berpikir
"Mulai sekarang jangan ragu lagi untuk mengungkapkan isi hatimu, Nadia."Ketika tatapan mereka saling bertemu, ada gejolak yang mulai muncul di dalam hati sepasang insan manusia ini. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang dan entah mengapa dia tak rela untuk memalingkan wajahnya. Semakin larut memandangi pria itu, dia tahu kalau ternyata sesuatu yang selama ini dianggap tak mungkin bisa benar-benar terjadi.Tak pernah sekalipun dia menyangka akan memiliki perasaan seperti ini untuk Daniel. Begitu juga dengan kenyataan bahwa pria itu mencintainya.Sekali lagi pria itu kembali menarik tangan Nadia dan menciumnya perlahan. Kali ini, Nadia tak memberikan reaksi berlebihan dan membiarkan pria itu menyalurkan perasaannya secara terang-terangan.Selang beberapa detik pria itu langsung menarik tubuhnya kembali dan berkata, "Jangan menyembunyikan apapun lagi dariku."Nadia mengerutkan keningnya tak mengerti. Namun sayangnya sebelum dia bisa memberikan reaksi apapun, Daniel kembali menamb
Malam ini hujan telah mengguyur seluruh kota dengan deras. Suara guntur sesekali menggelegar di langit yang gelap dan menyebabkan kilat mengejutkan.Sean meringkuk di atas ranjangnya dan tubuhnya saat ini kembali gemetaran. Martha yang melihat cucunya aneh itu seketika langsung mendekat sambil mengerutkan keningnya. Keringat dingin benar-benar membasahi tubuh Sean, wajahnya pun terlihat pucat seolah-olah dia tengah merasa takut oleh sesuatu."Sean," Panggil wanita paruh baya itu. Dia menyentuh pundak Sean dan menggoyangkannya perlahan. "Bangun, Sayang. Ada Oma disini," lirihnya.Namun bocah lelaki itu tetap saja memejamkan matanya. Dengan cepat dia langsung menoleh ke arah suaminya yang tengah tertidur di sofa. "Papa! Bangun, Pa!" serunya.Hendrawan yang mendengar suara teriakan istrinya itu perlahan mulai membuka matanya. Dia menggosoknya perlahan dan bangkit berdiri sambil berjalan menuju ke arah Martha."Kenapa, Ma?" tanyanya bingung ketika melihat wajah istrinya itu terlihat ketak
"Kamu nggak mau sarapan dulu?" Nadia bertanya pada sosok pria yang saat ini berniat untuk langsung berangkat bekerja. Daniel menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak," jawabnya singkat sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya, dia pun menambahkan, "Aku harus berangkat sekarang."Nadia yang mendengar itu seketika langsung mengerutkan keningnya karena Daniel hampir tak pernah meninggalkan sarapan. 'Apa ada sesuatu yang terjadi? Ini juga masih pagi,' batinnya.Ketika Nadia tengah memikirkan itu, Daniel tiba-tiba kembali berkata padanya sambil melirik ke arah kepala pelayan, "Pergilah ke rumah sakit dengan kepala pelayan.""Eh? Kenapa? Aku bisa--""Ini demi keamananmu." Daniel dengan cepat langsung memotong dan memasang raut wajah serius. Mendengar itu, Nadia semakin merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi?Pasti ada alasan dibalik perintah yang baru saja dikatakan oleh Daniel dan Nadia ingin mendengarnya secara langsung dari pria itu.Perlahan dia
"Papa dan Mama udah cari psikolog juga, kok. Jadi kamu tenang aja." Hendrawan memberikan wejangan pada putranya melalui telepon karena dia tahu dengan jelas masalah mengenai Sean, pasti membuat kekhawatiran.Daniel yang ada di ujung telepon sana menghela nafas perlahan sambil memijat dahinya. "Iya, Pa. Tolong jaga Sean.""Kamu ngomong apa, sih? Papa jelas akan menjaga Sean," sahutnya sambil melirik ke arah cucunya yang saat ini tengah sarapan. Daniel tersenyum tipis. Dia belum menceritakan mengenai rencananya pada Hendrawan. "Sebenarnya hari ini akan ada konferensi pers di perusahaan."Hendrawan seketika langsung memicingkan matanya dengan tajam. "Konferensi pers?" Suaranya yang sedikit keras itu telah berhasil membuat istri serta cucunya tampak menoleh ke arahnya. Martha terlihat mengerutkan keningnya seolah ingin mendengarkan penjelasan dari Hendrawan. Namun Hendrawan dengan cepat langsung memalingkan wajahnya dan berlalu keluar. "Daniel, Papa nggak salah dengar, kan?"Bagaimanapu
"Bos," panggil Dion sambil berjalan mendekati atasannya itu yang baru saja sampai ke kantor. Ketika Daniel menatapnya, Dion segera menambahkan, "Persiapan untuk konferensi pers sudah selesai."Daniel memperlambat langkahnya ketika mendengar informasi tambahan dari asisten pribadinya itu. Paling tidak kini dia bisa merasa sedikit tenang karena persiapan sudah selesai dan Daniel hanya perlu memantapkan diri saja untuk memulainya."Untuk para wartawan yang kita undang, mereka juga sudah mau menutup mulut sampai konferensi pers itu dimulai." Lagi, Dion memberikan informasi penting pada sang atasan yang kini berjalan tepat beberapa langkah di depannya."Bagus." Hanya jawaban singkat itu saja yang keluar dari mulut Daniel. "Pastikan semuanya berjalan dengan lancar dan jangan sampai informasi ini bocor sebelum kita memulai konferensi pers," ujarnya dengan ada yang memerintah."Baik, Bos." Dion dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya itu karena dia sadar bahwa ini merupakan perintah yang