Minal Aidzin wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan bathin ya semuanya. Selamat Hari raya idul fitri untuk yang merayakan.
Entah karena kebetulan atau memang firasatnya yang kuat, Nadia perlahan mulai membuka matanya karena dia sadar ada seseorang yang sedang memperhatikan.Dia mengerutkan keningnya sejenak dan berkata, "Daniel … kenapa kamu ganteng banget, sih?"Wajah Daniel seketika langsung membeku. Ini pertama kalinya gadis itu memujinya secara langsung. Namun belum juga usai keterkejutannya itu, Nadia tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan membelai wajahnya. Nadia menekuk wajahnya dan kembali berkata, "Padahal dulu aku nggak suka sama cowok kayak kamu." Itu merupakan kejujuran pertama yang diungkapkan oleh Nadia, tepat di hadapan Daniel. Dia memiringkan kepalanya sedikit, mengelus wajah Daniel dan berkata, "Di mimpi aja kamu kelihatan nyata. Tapi kalau aku ngelakuin hal ini, kamu yang asli pasti bakalan marah. Kamu 'kan mirip gunung es. Dingin dan ha … sulit untuk didekati."Sudut bibir Daniel terasa berkedut dan dia hampir saja tertawa ketika mendengar keluh kesah Nadia. 'Jadi sekarang dia berpikir
"Mulai sekarang jangan ragu lagi untuk mengungkapkan isi hatimu, Nadia."Ketika tatapan mereka saling bertemu, ada gejolak yang mulai muncul di dalam hati sepasang insan manusia ini. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang dan entah mengapa dia tak rela untuk memalingkan wajahnya. Semakin larut memandangi pria itu, dia tahu kalau ternyata sesuatu yang selama ini dianggap tak mungkin bisa benar-benar terjadi.Tak pernah sekalipun dia menyangka akan memiliki perasaan seperti ini untuk Daniel. Begitu juga dengan kenyataan bahwa pria itu mencintainya.Sekali lagi pria itu kembali menarik tangan Nadia dan menciumnya perlahan. Kali ini, Nadia tak memberikan reaksi berlebihan dan membiarkan pria itu menyalurkan perasaannya secara terang-terangan.Selang beberapa detik pria itu langsung menarik tubuhnya kembali dan berkata, "Jangan menyembunyikan apapun lagi dariku."Nadia mengerutkan keningnya tak mengerti. Namun sayangnya sebelum dia bisa memberikan reaksi apapun, Daniel kembali menamb
Malam ini hujan telah mengguyur seluruh kota dengan deras. Suara guntur sesekali menggelegar di langit yang gelap dan menyebabkan kilat mengejutkan.Sean meringkuk di atas ranjangnya dan tubuhnya saat ini kembali gemetaran. Martha yang melihat cucunya aneh itu seketika langsung mendekat sambil mengerutkan keningnya. Keringat dingin benar-benar membasahi tubuh Sean, wajahnya pun terlihat pucat seolah-olah dia tengah merasa takut oleh sesuatu."Sean," Panggil wanita paruh baya itu. Dia menyentuh pundak Sean dan menggoyangkannya perlahan. "Bangun, Sayang. Ada Oma disini," lirihnya.Namun bocah lelaki itu tetap saja memejamkan matanya. Dengan cepat dia langsung menoleh ke arah suaminya yang tengah tertidur di sofa. "Papa! Bangun, Pa!" serunya.Hendrawan yang mendengar suara teriakan istrinya itu perlahan mulai membuka matanya. Dia menggosoknya perlahan dan bangkit berdiri sambil berjalan menuju ke arah Martha."Kenapa, Ma?" tanyanya bingung ketika melihat wajah istrinya itu terlihat ketak
"Kamu nggak mau sarapan dulu?" Nadia bertanya pada sosok pria yang saat ini berniat untuk langsung berangkat bekerja. Daniel menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak," jawabnya singkat sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya, dia pun menambahkan, "Aku harus berangkat sekarang."Nadia yang mendengar itu seketika langsung mengerutkan keningnya karena Daniel hampir tak pernah meninggalkan sarapan. 'Apa ada sesuatu yang terjadi? Ini juga masih pagi,' batinnya.Ketika Nadia tengah memikirkan itu, Daniel tiba-tiba kembali berkata padanya sambil melirik ke arah kepala pelayan, "Pergilah ke rumah sakit dengan kepala pelayan.""Eh? Kenapa? Aku bisa--""Ini demi keamananmu." Daniel dengan cepat langsung memotong dan memasang raut wajah serius. Mendengar itu, Nadia semakin merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi?Pasti ada alasan dibalik perintah yang baru saja dikatakan oleh Daniel dan Nadia ingin mendengarnya secara langsung dari pria itu.Perlahan dia
"Papa dan Mama udah cari psikolog juga, kok. Jadi kamu tenang aja." Hendrawan memberikan wejangan pada putranya melalui telepon karena dia tahu dengan jelas masalah mengenai Sean, pasti membuat kekhawatiran.Daniel yang ada di ujung telepon sana menghela nafas perlahan sambil memijat dahinya. "Iya, Pa. Tolong jaga Sean.""Kamu ngomong apa, sih? Papa jelas akan menjaga Sean," sahutnya sambil melirik ke arah cucunya yang saat ini tengah sarapan. Daniel tersenyum tipis. Dia belum menceritakan mengenai rencananya pada Hendrawan. "Sebenarnya hari ini akan ada konferensi pers di perusahaan."Hendrawan seketika langsung memicingkan matanya dengan tajam. "Konferensi pers?" Suaranya yang sedikit keras itu telah berhasil membuat istri serta cucunya tampak menoleh ke arahnya. Martha terlihat mengerutkan keningnya seolah ingin mendengarkan penjelasan dari Hendrawan. Namun Hendrawan dengan cepat langsung memalingkan wajahnya dan berlalu keluar. "Daniel, Papa nggak salah dengar, kan?"Bagaimanapu
"Bos," panggil Dion sambil berjalan mendekati atasannya itu yang baru saja sampai ke kantor. Ketika Daniel menatapnya, Dion segera menambahkan, "Persiapan untuk konferensi pers sudah selesai."Daniel memperlambat langkahnya ketika mendengar informasi tambahan dari asisten pribadinya itu. Paling tidak kini dia bisa merasa sedikit tenang karena persiapan sudah selesai dan Daniel hanya perlu memantapkan diri saja untuk memulainya."Untuk para wartawan yang kita undang, mereka juga sudah mau menutup mulut sampai konferensi pers itu dimulai." Lagi, Dion memberikan informasi penting pada sang atasan yang kini berjalan tepat beberapa langkah di depannya."Bagus." Hanya jawaban singkat itu saja yang keluar dari mulut Daniel. "Pastikan semuanya berjalan dengan lancar dan jangan sampai informasi ini bocor sebelum kita memulai konferensi pers," ujarnya dengan ada yang memerintah."Baik, Bos." Dion dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya itu karena dia sadar bahwa ini merupakan perintah yang
"Dion, tenanglah." Daniel segera memperingati asisten pribadinya itu yang saat ini terlihat curiga. Dion yang mendapatkan peringatan itu segera membungkukkan tubuhnya sedikit. Dia memang harus bisa menahan diri agar tak tersulit emosi.Daniel menghela napas perlahan dan kembali menatap para karyawan itu. Dia meletakkan kedua sikunya ke atas meja dan memangku dagunya, lalu berkata, "Saya harap tak ada satupun dia antara kalian yang merupakan pengkhianat."Meski kata-katanya itu dimaksudkan untuk memperingatkan para karyawannya. Namun mereka semua tahu, Daniel tengah curiga. Seketika para karyawan itu menundukkan kepalanya dan menjawab serentak, "Baik, Pak CEO."Tak banyak orang yang benar-benar dipercaya oleh Daniel karena dia telah merasa muak sebab pernah dikhianati. Saat ini, Daniel juga yakin kalau mantan istrinya pasti mencoba untuk membayar salah satu karyawan di perusahaannya untuk menjadi mata-mata. Meski memang dugaan itu masih belum terbukti sepenuhnya, Daniel ingin mencoba
Bukti?Daniel terdiam, namun dia segera berbalik menatap sang asisten yang duduk di sebelahnya dan memberikan kode padanya. Dion segera mengangguk mengerti, dia mengeluarkan berkas berisi bukti-bukti yang sudah disiapkan sebelumnya dan segera mengangkatnya sambil berkata, "Bukti pertama berisi foto mengenai kekerasan yang sempat dilakukan oleh pelaku, Nona Monica."Degh!Monica yang tengah menonton di seberang sana mulai merasakan tubuhnya bergetar. "I-itu ... kenapa ada buktinya? Gimana bisa?!"Monica sangat yakin kalau sampai saat ini dia masih berada di tempat yang aman dan Daniel tak mungkin bisa menemukan sesuatu untuk membuatnya terpojok.Tapi apa ini?!Bahkan Daniel memiliki bukti kekerasan yang dulu sempat dilakukan olehnya ketika Sean masih bayi.Seketika wajah para wartawan itu langsung menjadi pucat dan mereka dengan cepat langsung mengambil gambar mengenai bukti yang baru saja diperlihatkan oleh Dion.Wajah Daniel memang terlihat datar saat ini,namun jauh di dalam lubuk ha