"Kamu ingat kalau ibu pernah berniat untuk mengatakan sesuatu mengenai kelahiranmu, kan?"Nadia terdiam sejenak dan memang benar dia ingat dengan jelas perkataan ibunya beberapa ahli waktu lalu. Bahkan sampai saat ini dia masih penasaran dengan jawaban yang belum diberikan sepenuhnya oleh Ratna."Nadia, ada hal penting yang harus kamu ketahui dan ibu harap kamu tidak akan terkejut setelah mengetahuinya."Perkataan Ratna yang terkesan ambigu itu semakin membuat rasa penasaran semakin membuncah di dalam hati Nadia. Dia menganggukkan kepalanya dan segera meraih kedua tangan Ratna. "Nadia akan mendengarkannya baik-baik."Ratna terdiam beberapa saat dan wanita paruh baya itu segera mengajak anaknya untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Mereka berdua segera duduk dan Ratna kini menatap lekat Nadia. "Ibu tahu kalau kamu sebenarnya pasti merasa penasaran karena Ayahmu itu selalu mengatakan hal-hal yang keterlaluan dan dia bilang terpaksa menikahi Ibu."Nadia meremas tangannya perlahan karena
"... Karena mereka sudah membuang Ibu dan bagaimanapun juga kamu tidak akan diterima oleh mereka."Degh!Jantungnya dia terasa hampir saja melompat keluar dari tempatnya. Tangannya yang tengah meremas jemari Ratna, perlahan-lahan mulai terlepas.Dia tak pernah tahu bahwa ibunya selama ini telah menderita begitu lama dan bahkan sampai diusir dari keluarganya sendiri.Nadia menggigit bibir bawahnya perlahan, berusaha menekan perasaannya yang saat ini hampir saja meledak karena marah dan juga kecewa. "Kenapa Ibu dan mengatakan ini sekarang?" Ratna terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal seperti ini pada Nadia? Bahkan jika bisa dia pasti akan menyembunyikannya seumur hidup. Nadia tak perlu tahu mengenai seluk beluk keluarganya."Maafkan Ibu--""Jangan minta maaf," potong Nadia sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat dan kembali meraih tangan Ratna. "Ibu nggak bersalah sama sekali karena sebenarnya merekalah yang jahat!"Nadia merasa sangat beruntung karena dia merupakan dar
"Sean, kamu udah ngerasa baikan?" "Udah, Kak!" Sean sumringah dan dia benar-benar terlihat sangat bersemangat ketika menjawab pertanyaan dari Nadia. "Sean pengen pulang ke rumah," tambahnya lagi dan saat ini raut wajahnya itu berubah sedikit muram.Nadia yang mendengar itu seketika langsung mengelus pelan puncak kepalanya dan berkata, "Nanti kita tanya dulu sama Om Dokter, ya? Kalau Sean nurut, pasti udah diperbolehkan buat pulang, kok.""Beneran, Kak?""Hum!" sahut Nadia sambil tertawa lirih. Bagaimanapun juga saat ini dia harus bisa membuat Sean menurut dan tidak rewel ketika mendapatkan banyak terapi dari dokter karena bagaimanapun juga dia harus segera sembuh dan melupakan traumanya akibat kasus penculikan yang beberapa hari lalu baru saja selesai.Di saat mereka berdua tengah berbincang, Martha yang ada di luar Itu tampak melongok dari kaca kecil di pintu. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, namun kekhawatiran yang ada di dalam hatinya itu tak bisa hilang begitu saja."Pa, apa
Nadia mendorong kursi roda Sean, membawa bocah lelaki itu keluar agar bisa menikmati sedikit waktu senggangnya dan tak terus merasa engap karena berada di dalam ruangan perawatan."Kita ke taman aja," ujar Martha sambil mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah taman yang memang sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit. "Yuk, Sean!" serunya lagi setelah melirik ke arah cucunya itu."Iya, Oma! Sean mau ke taman juga," ujarnya merespon.Mereka berempat segera pergi ke area taman. Namun, Hendrawan menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat yang lainnya seketika langsung menoleh sambil mengerutkan keningnya."Ah, kalian langsung ke taman aja. Ada telepon," ujarnya sambil melambaikan tangannya.Martha menghela nafas berat ketika melihat tingkah suaminya itu dan kembali memasang tatapan kesal. "Udah tua tapi sibuknya ngalahin yang masih muda," gerutunya.Diam-diam, Nadia tertawa ketika mendengar penuturan Martha. Sungguh, mereka berdua memiliki kesamaan yang cukup banyak karena Martha me
"Tante yakin kalau kamu adalah obat yang bisa menyembuhkan luka di dalam hati Sean dan juga menjadi pendamping yang baik bagi Daniel."Nadia terdiam saking tersentuhnya dengan perkataan Martha. Wajahnya itu kini menjadi sedikit kemerahan karena bagaimanapun juga ini merupakan lampu hijau sebagai pertanda bahwa restu telah diberikan secara ikhlas."Ma, kita harus masuk kembali." Hendrawan yang sudah selesai menelepon itu segera mendekat dengan raut wajah yang terlihat sedikit masam. "Papa akan jelaskan nanti, tapi sekarang kita masuk aja dulu."Nadia dan Martha yang melihat itu tampak mengerutkan keningnya. Namun Nadia tak banyak bertanya dan segera menghampiri Sean. Sedangkan Martha segera menghampiri suaminya dengan pandangan penuh curiga. "Pa, ada apa?" tanyanya karena dia yakin pasti ada sesuatu yang sempat terjadi hingga suaminya itu segera memintanya untuk kembali ke dalam rumah sakit.Hendrawan tak langsung menjawab karena dia kini terlihat mengedarkan pandangannya ke sekeliling
"Bos!" Dion tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam ruangan Daniel dan segera berlari mendekati atasannya itu dengan penuh semangat karena ada sesuatu yang harus dilihatnya. "Bos, coba lihat ini!" serunya lagi sambil mendekatkan ponselnya itu pada Daniel.Daniel yang awalnya sedang merasa pusing karena ada banyak masalah yang saat ini menerpanya secara bersamaan, segera menoleh ke arah asisten pribadinya itu sambil mengerutkan keningnya.Dia memicingkan matanya ketika melihat ke arah ponsel Dion dan seketika langsung melotot tak percaya."Wanita licik itu ..." Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh pria itu terdengar sangat samar. Daniel benar-benar merasa sangat marah ketika melihat bahwa mantan istrinya itu kembali membuat masalah dengan sengaja memposting sebuah foto yang telah berhasil memperkeruh keadaan."Gila 'kan, Bos?!" Dion kembali menarik tangannya itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena dia sendiri pun sangat terkejut ketika melihat postingan dari Monica. Hanya da
"Itu anakmu." Kalimat itu terus saja terngiang di dalam kepala Nadia. Membuat gadis itu seketika langsung menyesali semua perbuatannya selama ini. Anggun perlahan mulai mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya. "Bukannya aku mau ikut campur dengan urusanmu, Nadia. Aku harap kau mengerti maksud dari perkataanku.""Iya, Kak." Dengan sikap yang lebih tegar, Nadia menambahkan, "Sekali lagi terima kasih karena Kakak mau mengingatkanku."Anggun yang mendengar itu tersenyum tipis. Dia kembali mengelus pundak Nadia, lalu menariknya kembali dan berlalu pergi dari kamar.Suara pintu yang telah tertutup rapat kembali menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Dia mencengkram tangannya erat sambil menghela nafas perlahan dan mencoba untuk mengusir segala pikiran buruk yang sempat hadir dalam kepalanya itu.Pandangan matanya terlihat mengawang ketika mengarah tepat ke jendela kamar yang masih terbuka dan ada angin yang mulai menerpa dari luar sana.Nadia hanya seorang diri dan kamarnya itu terasa
"Apa kamu serius minta maaf?"Dion seketika langsung terdiam ketika mendengar perkataan atasannya itu. Dia memundurkan tubuhnya sedikit ke belakang ketika merasakan sesuatu yang aneh dan curiga kalau ada ide gila yang muncul di dalam kepala Daniel.Ketika Daniel melihat asisten pribadinya itu terdiam dia langsung mengerutkan keningnya.Dion yang melihat itu buru-buru langsung berkata, "Iya, Bos. Saya emang serius minta maaf.""Kalau begitu, lakukan sesuatu untuk membantuku.""Membantu? Apa?"Daniel hanya terdiam. Dia membuka laci mejanya itu dan mengeluarkan sesuatu. Dengan senyuman yang tampak licik, dia kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh arti pada Dion.'Sial ... apa yang direncanakan sekarang?' batin Dion, merasa merinding ketika melihat pengumuman Daniel.*"Duh! Masa harus kayak gini, Bos?" Dion merasa tak nyaman karena sekarang dia benar-benar terlihat mirip dengan Daniel. Meskipun memang hanya dari segi pakaian saja, tapi seseorang yang melihatnya dari kejauhan pas
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h