"Aku sangat putus asa, Agatha. Aku sudah tidak mempunyai ide lain yang bisa mengakhiri semuanya. Ini satu-satunya jalan yang tepat dan aku yakin akan berhasil," jelas Jayden dengan lemas.Agatha menghela napas. Ia tidak mungkin menolak untuk membantu Jayden mengingat sudah begitu banyak yang dilakukan lelaki itu untuknya. Tapi ide yang barusan menurutnya sangat gila."Apa sungguh tidak ada cara lain? Memangnya kamu yakin aku bisa membantu dalam hal seperti itu?""Aku yakin kamu bisa. Bukankah seorang Agatha Marvelly bisa melakukan segalanya selama ini?""Apa itu sebuah pujian agar aku luluh?"Jayden terkekeh. "Kalau aku saja yakin, kenapa kamu tidak? Ayolah, ini saat tepat untuk membalas perbuatan seniormu itu."Agatha mengambil segelas air yang masih sisa setengah di meja. Meneguknya perlahan untuk menjernihkan pikiran. Ia masih tidak percaya Jayden memintanya menjadi pacar pura-pura. Masalahnya, ia sendiri tidak pernah pacaran. Apalagi jika melihat raut Jonathan yang nanti akan mur
"Mengapa Jayden melakukan ini? Apakah ini rencananya sejak awal?" pikir Grace, bibirnya bergetar dengan rasa kecewa yang dalam.Meski senyum dipertahankan di wajahnya, namun dalam hatinya, ia merintih dalam kekecewaan. "Semua rencana masa depan yang aku impikan hancur begitu saja. Tidak bisakah aku mendapatkan kebahagiaanku sendiri tanpa harus melihat kehancuranku yang dipertontonkan seperti ini?"Grace menelan rasa kesal dan berusaha menahan tetesan air mata yang ingin mengalir. Seakan-akan senyumnya diwujudkan dengan harga yang mahal, hatinya mencoba meredakan rasa sakit yang memenuhi dada."Aku tak boleh menunjukkan kelemahan ini. Aku harus kuat," bisik hati Grace, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sambil menyaksikan pertunjukan cinta yang tidak diinginkannya.Dalam hati, Jayden merasa kepuasan yang tak terkendali melihat reaksi orang tua Grace dan ayahnya, Jonathan. Melihat kebingungan dan kekecewaan di wajah mereka, ia merasa senang bahwa rencananya berjalan sesuai yang diingink
Jayden tersenyum polos. "Perjodohan itu tidak akan batal jika bukan kerja sama kita. Aku sangat berterima kasih atas usahamu kemarin. Bukankah aku harus memberi semacam hadiah untukmu yang sudah bekerja keras?"Agatha menghela napas. Sungguh tidak habis pikir dengan lelaki satu ini. "Itu berlebihan. Aku bahkan tidak merasa telah melakukan sesuatu pekerjaan yang berat. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan."Agatha melihat raut Jayden yang mendadak lesu menatapnya. Ia pun berdecak kecil. Entah sejak kapan Jayden menjadi seekpresif itu. "Jangan menatapku dengan melas begitu.""Lalu aku harus apa supaya kamu mau? Ayolah, usaha kita kemarin tidak akan berhasil tanpa akting kamu yang luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan jika kamu menolak membantuku malam itu. Kamu juga tahu Anna hanya menyukai perempuan seperti kamu.""Jadi mana bisa aku menikah dengan perempuan yang dibenci Anna itu?" lanjut Jayden dengan muka penuh permohonan. "Maka dari itu aku teramat berterima kasih p
"Papa, Tante Agatha, lihat ini! Kerangnya cantik, kan?" seru Anna sambil memperlihatkan temuannya.Jayden dan Agatha tertawa kecil, melihat keceriaan Anna. "Benar-benar cantik, Anna. Kamu menemukannya dengan sangat baik," puji Jayden.Agatha menambahkan, "Anna, bagaimana kalau kita mencicipi sedikit air laut?" Dia melihat ke arah Jayden dengan senyum nakal.Anna tersenyum lebar. "Okey! Ayo kita mecipratkan air laut!"Mereka berdua bersiap-siap dan, dengan tawa yang penuh kegembiraan, mulai mecipratkan air laut satu sama lain. Ombak kecil membantu menciptakan momen riang yang tak terlupakan. Jayden ikut serta dalam keceriaan itu, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara mereka.Mereka tertawa-tawa, menikmati kebersamaan di pantai yang penuh keceriaan. Setetes air laut mungkin terlihat kecil, tetapi dalam detik-detik itu, mereka menciptakan kenangan indah yang akan membawa senyum di setiap kenangan tentang liburan mereka.Setelah bermain dan mecipratkan air laut, mereka bertiga du
"Hei, awas?!"Bruk! Agatha yang mendorong tubuh Cakra ikut teriatuh bersamaan di trotoar. Agatha Dengan posisi tengkurap di Kanaan sedangkan Cakra di kiri denban telentang. Keduanya langsung meringis kesakitan."Akhh, sakit juga ternyata," lirih agatha. Menatap ke langit siang yang panas."Bisa-bisanya pengendera itu langsung kabur," decak agatha Setelahnya saat melihat si pelaku langsung menancapkan gas.Susah payah ia segera mendudukkan diri sambil membersihkan bajunya yang sedikit kotor dan rambutnya yang berantakan. Ia juga membereskan buku-buku yang berserakan karena tasnya tadi sempat ia lempar begitu saja.Sedangkan Cakra masih terdiam membeku. Terlalu terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Jantungnya masih berdebar tak karuan. Antara kejadian dirinya yang nyaris ditabrak, juga karena agatha telah menyelamatkannya. "Kenapa kamu menolongku?" celetuk Cakra masih dalam posisi terbaring. Ia menoleh pada Agatha yang sudah hendak berdiri.Agatha baru tersadar belum melihat keadaa
Cakra, tanpa mendengarkan penjelasan mereka, semakin marah. "Aku benci kalian berdua! Dan aku tidak akan membiarkan hubungan kalian merusak hidupku!"Dengan kata-kata penuh amarah, Cakra berbalik dan meninggalkan mereka, meninggalkan Jayden dan Agatha dalam suasana tegang yang penuh konflik. Setelah Cakra pergi dengan amarah, Jayden menghela napas panjang. Ia kemudian menoleh pada Agatha, ekspresi wajahnya penuh penyesalan."Maaf, Agatha. Aku tidak bermaksud membuat situasi semakin rumit dengan menyatakan bahwa kita berdua sepasang kekasih," ucap Jayden dengan suara rendah.Agatha meresapi raut wajah Jayden, merasakan kejujuran di balik permintaan maaf itu. Tapi ia malah tersenyum. "Aku tahu kamu hanya berusaha melindungiku dari Cakra. Terima kasih, Jayden," jawab Agatha dengan lembut.Jayden mengangguk, tetapi ia masih tampak penuh penyesalan. "Aku berharap setelah ini dia tidak akan mengganggumu lagi. Jika dia masih tidak kapok, aku pasti akan melakukan sesuatu untuk membuat lebih j
Cakra menghampiri Agatha di depan perpustakaan yang sepi setelah kelas selesai karena mahasiswi sudah banyak yang pulang. Sinar senja memancar, menciptakan aura dramatis. Agatha menerima permintaan Cakra untuk bertemu karena katanya ini untuk yang terakhir kali."Agatha, maafkan aku jika aku mengganggu, tapi aku ingin memberikan sesuatu padamu." Cakra menyodorkan sebuket mawar dengan senyuman lembut, matanya mencerminkan harapan.Agatha menatap sebuket mawar dengan wajah terkejut dan tidak percaya. "Pak Direktur, ini tidak pantas. Saya tidak bisa menerima ini." Ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan dan ketidaknyamanan.Ketika Cakra berusaha menjelaskan, tetapi raut muka Agatha semakin marah. "Aku tahu ini tiba-tiba, tapi aku ingin kamu tahu perasaanku padamu. *Dia mencoba menahan sebuket mawar, matanya mencerminkan keteguhan hati."Hah? Apa yang Anda pikirkan, Pak Direktur? Ini tidak benar. Saya tidak bisa menerima sesuatu yang mewah seperti ini dari Anda." Ekspresi kesal Agatha
"Agatha, aku paham bahwa ini mungkin terasa tiba-tiba. Namun, lihatlah potensimu. Kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa bersama. Pekerjaan ini bukan hanya tentang tugas sehari-hari, tapi tentang membentuk tim yang solid dan meraih kesuksesan bersama."Cakra terus meyakinkan Agatha bahwa di balik tawaran itu, terdapat dunia baru yang menanti untuk dijelajahi. Ia mencitrakan gambaran pekerjaan sebagai sekretaris pribadinya sebagai jendela ke peluang yang tak terduga.Agatha meresapi kata-kata Cakra, membiarkan mereka berdiam dalam pikirannya. Beberapa menit berlalu, diisi oleh keraguan dan pertimbangan. Agatha berpikir lagi, mempertimbangkan apakah keputusan ini bisa membuka pintu baru dalam hidupnya atau malah membawanya ke situasi yang lebih rumit.Dengan ekspresi serius, Agatha akhirnya berkata, "Berikan saya beberapa saat untuk memikirkannya lagi, Pak Direktur. Saya butuh waktu untuk merenungkan semua yang telah Anda bicarakan.""Tapi jangan lupa jika kamu bekerja denganku,