"Hei, awas?!"Bruk! Agatha yang mendorong tubuh Cakra ikut teriatuh bersamaan di trotoar. Agatha Dengan posisi tengkurap di Kanaan sedangkan Cakra di kiri denban telentang. Keduanya langsung meringis kesakitan."Akhh, sakit juga ternyata," lirih agatha. Menatap ke langit siang yang panas."Bisa-bisanya pengendera itu langsung kabur," decak agatha Setelahnya saat melihat si pelaku langsung menancapkan gas.Susah payah ia segera mendudukkan diri sambil membersihkan bajunya yang sedikit kotor dan rambutnya yang berantakan. Ia juga membereskan buku-buku yang berserakan karena tasnya tadi sempat ia lempar begitu saja.Sedangkan Cakra masih terdiam membeku. Terlalu terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Jantungnya masih berdebar tak karuan. Antara kejadian dirinya yang nyaris ditabrak, juga karena agatha telah menyelamatkannya. "Kenapa kamu menolongku?" celetuk Cakra masih dalam posisi terbaring. Ia menoleh pada Agatha yang sudah hendak berdiri.Agatha baru tersadar belum melihat keadaa
Cakra, tanpa mendengarkan penjelasan mereka, semakin marah. "Aku benci kalian berdua! Dan aku tidak akan membiarkan hubungan kalian merusak hidupku!"Dengan kata-kata penuh amarah, Cakra berbalik dan meninggalkan mereka, meninggalkan Jayden dan Agatha dalam suasana tegang yang penuh konflik. Setelah Cakra pergi dengan amarah, Jayden menghela napas panjang. Ia kemudian menoleh pada Agatha, ekspresi wajahnya penuh penyesalan."Maaf, Agatha. Aku tidak bermaksud membuat situasi semakin rumit dengan menyatakan bahwa kita berdua sepasang kekasih," ucap Jayden dengan suara rendah.Agatha meresapi raut wajah Jayden, merasakan kejujuran di balik permintaan maaf itu. Tapi ia malah tersenyum. "Aku tahu kamu hanya berusaha melindungiku dari Cakra. Terima kasih, Jayden," jawab Agatha dengan lembut.Jayden mengangguk, tetapi ia masih tampak penuh penyesalan. "Aku berharap setelah ini dia tidak akan mengganggumu lagi. Jika dia masih tidak kapok, aku pasti akan melakukan sesuatu untuk membuat lebih j
Cakra menghampiri Agatha di depan perpustakaan yang sepi setelah kelas selesai karena mahasiswi sudah banyak yang pulang. Sinar senja memancar, menciptakan aura dramatis. Agatha menerima permintaan Cakra untuk bertemu karena katanya ini untuk yang terakhir kali."Agatha, maafkan aku jika aku mengganggu, tapi aku ingin memberikan sesuatu padamu." Cakra menyodorkan sebuket mawar dengan senyuman lembut, matanya mencerminkan harapan.Agatha menatap sebuket mawar dengan wajah terkejut dan tidak percaya. "Pak Direktur, ini tidak pantas. Saya tidak bisa menerima ini." Ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan dan ketidaknyamanan.Ketika Cakra berusaha menjelaskan, tetapi raut muka Agatha semakin marah. "Aku tahu ini tiba-tiba, tapi aku ingin kamu tahu perasaanku padamu. *Dia mencoba menahan sebuket mawar, matanya mencerminkan keteguhan hati."Hah? Apa yang Anda pikirkan, Pak Direktur? Ini tidak benar. Saya tidak bisa menerima sesuatu yang mewah seperti ini dari Anda." Ekspresi kesal Agatha
"Agatha, aku paham bahwa ini mungkin terasa tiba-tiba. Namun, lihatlah potensimu. Kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa bersama. Pekerjaan ini bukan hanya tentang tugas sehari-hari, tapi tentang membentuk tim yang solid dan meraih kesuksesan bersama."Cakra terus meyakinkan Agatha bahwa di balik tawaran itu, terdapat dunia baru yang menanti untuk dijelajahi. Ia mencitrakan gambaran pekerjaan sebagai sekretaris pribadinya sebagai jendela ke peluang yang tak terduga.Agatha meresapi kata-kata Cakra, membiarkan mereka berdiam dalam pikirannya. Beberapa menit berlalu, diisi oleh keraguan dan pertimbangan. Agatha berpikir lagi, mempertimbangkan apakah keputusan ini bisa membuka pintu baru dalam hidupnya atau malah membawanya ke situasi yang lebih rumit.Dengan ekspresi serius, Agatha akhirnya berkata, "Berikan saya beberapa saat untuk memikirkannya lagi, Pak Direktur. Saya butuh waktu untuk merenungkan semua yang telah Anda bicarakan.""Tapi jangan lupa jika kamu bekerja denganku,
Cakra membulatkan mata dengan tangan yang siap menghantam wajah tampan Jayden. Wajahnya sudah memerah karena emosinya segentar lagi akan meledak. Tapi sayang sekali, Jayden jauh lebih sigap untuk menangkap kepalan tangan Cakra. Jayden tersenyum geli mendapati wajah Cakra yang semakin murka."Lepas, sialan!" Sentak Cakra yang dengan susah payah melepas tangannya. Ia kesal untuk mengakui tenaga Jayden jauh lebih kuat darinya.Jayden tersenyum miring, tapi tidak menuruti perkataan Cakra. "Dengarkan aku, simak dengan baik supaya kamu tidak perlu repot-repot mendatangiku lagi."Cakra menggeram marah dan berhenti meronta. "Apaan, sih?!"Jayden terkekeh geli. "Jadi begini tuan Cakra, kamu salah besar jika memberik penawaran yang tidak apa-apa nya itu. Kenapa? Karena hanya akan sia-sia sebab Agatha sudah menjadi milikku sepenuhnya."Jayden semakin senang melihat Cakra hendak memukulnya dnegan satu tangannya lagi. Yah, tapi itu jelas percuma karena ia bisa segera menghindar. Respon Cakra mudah
Cakra merenggut sebal. Ia tahu betul apa yang papa tirinya itu maksud. "Aku tidak peduli dengan strata sosial. Yang terpenting papa jadi ingin membantuku atau tidak? Tapi aku harap papa tidak akan menolak, sih."Jonathan tertawa singkat. Yah, dari pada perempuan itu bersama dengan Jayden yang kemungkinan besar bisa membuat masa depan Jayden berantakan, akan lebih baik jika bersama Cakra yang bisa ia andalkan. Cakra selalu menuruti perkataannya, jadi ia percaya lelaki itu tidak akan mempermalukan nama baik keluarga."Baiklah, aku akan merencanakan sesuatu untukmu, Cakra. Tunggulah hasilnya dengan penuh percaya diri."***Jonathan tersenyum licik sambil menyodorkan segepok uang dan perhiasan emas kepada Agatha. "Agatha, ini untukmu. Kamu bisa memiliki semua ini dengan satu syarat, keluar dari pekerjaanmu sebagai pengasuh Jayden dan menjauh darinya."Agatha menatap penuh kebingungan. "Apa maksud Anda? Saya tidak bisa meninggalkan Jayden, Anna membutuhkan saya."Jonathan merespon dengan d
"Aku pernah bermimpi bisa mendapat pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Aku pikir dengan begitu kehidupanku bisa berubah lebih baik,” celetuk Agatha tersenyum geli, ia sekilas melirik Jayden yang menatapnya dalam diam. Agatha lalu menoleh lagi menatap bangunan-bangunan di depan sana. “Waktu Cakra memberiku penawaran untuk bekerja di perusahaannya, aku nyaris terkecoh. Tapi untungnya aku masih memiliki akal yang baik untuk menolaknya.” Jayden terkekeh kecil. Masih menikmati wajah Agatha dari samping. Kulit yang putih, rahang ramping dan tegas, hidung kecil namun mancung, juga terakhir bibirnya yang merah muda plumpy bergerak maju mundur saat berbicara. Kalau Jayden khilaf, ia bisa menciumnya saat ini juga. Melihat Jayden yang tertawa, Agatha seketika mengernyit. “Apa ada yang lucu? Ah, pasti karena impianku terlalu ketinggian, ya?” Jayden menggeleng, tak sadar telah menatap Agatha terlalu lama sampai tidak fokus dengan apa yang gadis itu bicarakan. Ia menahan senyum, ekspresi A
"Hei! Anda tidak boleh kasar terhadap anak kecil!”Agatha memberikan tatapan nyalang pada Vania sambil meraih tangan Anna dan menyuruhnya berdiri di belakang tubuhnya. Melindungi gadis itu dari amukan Vania yang kini semakin memberikan tatapan marah. “Kamu jangan ikut campur! Dia anakku! Aku berhak melakukan apapun terhadapnya!” tegas Vania berusaha menarik tangan Anna. Tapi gadis itu memeluk Agatha erat. Membuat Vania semakin kesal. Agatha yang sadar tatapan perempuan itu segera mendorong pelan pundak Vania agar tidak mendekat. “Anda tidak lihat dia sedang ketakutan? Seharusnya seorang ibu bisa lebih memahami dari pada orang lain. Tolong jangan memaksa jika Anna tidak ingin bersama Anda.” Vania tersentak marah. Tangannya mengepal, tapi masih ia tahan, ia memilih balas mendorong bahu Agatha dengan sedikit keras. “Hei, jangan menasehatiku! Bisakah kamu tidak bersikap sok bijak, hah?! Aku ini ibu kandungnya asal kamu tahu! Memangnya kamu siapa sampai berani bersikap kurang ajar terha