"Hei! Anda tidak boleh kasar terhadap anak kecil!”Agatha memberikan tatapan nyalang pada Vania sambil meraih tangan Anna dan menyuruhnya berdiri di belakang tubuhnya. Melindungi gadis itu dari amukan Vania yang kini semakin memberikan tatapan marah. “Kamu jangan ikut campur! Dia anakku! Aku berhak melakukan apapun terhadapnya!” tegas Vania berusaha menarik tangan Anna. Tapi gadis itu memeluk Agatha erat. Membuat Vania semakin kesal. Agatha yang sadar tatapan perempuan itu segera mendorong pelan pundak Vania agar tidak mendekat. “Anda tidak lihat dia sedang ketakutan? Seharusnya seorang ibu bisa lebih memahami dari pada orang lain. Tolong jangan memaksa jika Anna tidak ingin bersama Anda.” Vania tersentak marah. Tangannya mengepal, tapi masih ia tahan, ia memilih balas mendorong bahu Agatha dengan sedikit keras. “Hei, jangan menasehatiku! Bisakah kamu tidak bersikap sok bijak, hah?! Aku ini ibu kandungnya asal kamu tahu! Memangnya kamu siapa sampai berani bersikap kurang ajar terha
Pria tersebut tersenyum lagi. "Saya tahu, tapi tidak semua orang bisa melakukan seperti yang Anda lakukan. Saya harap banyak orang bisa belajar dari Anda."Agatha merasa tersanjung mendengar kata-kata pria tersebut. Ia merasa bahwa tindakannya tidak sia-sia dan ia bisa memberikan contoh positif untuk orang lain."Terima kasih, saya akan berusaha untuk terus menjadi pribadi yang baik," ucap Agatha dengan senyum.Pria tersebut mengangguk dan pergi dari tempat itu. Agatha merasa bahagia dan merasa bahwa hari ini adalah hari yang baik. Ia merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu yang baik dan ia berharap bisa terus melakukannya di masa depan.Agatha melihat Anna masih menangis dan ia ingin membantu meredakan rasa sedihnya. Ia lalu mengajak Anna pergi membeli es krim sebagai penghibur."Anna, bagaimana kalau kita pergi membeli es krim? Kita bisa memilih rasa yang kita suka dan makan bersama-sama. Bagaimana menurutmu?" ucap Agatha dengan lembut.Anna mengangguk kecil dan menghapus air matany
"Jika ada perempuan yang mengaku ibu kandungmu, dia hanya berpura-pura,” imbuhnya lagi. Jayden terus mengusap kepala Anna. “Artinya dia orang gila.” Kejam. Itulah perkataan yang diucapkan Jayden. Tapi memang lebih baik seperti itu. Lebih baik Anna tidak tahu bahwa ibunya yang sebenarnya meninggalkan dirinya. Bahwa ibunya sendiri yang memang tidak menginginkan kehadirannya. Dan jika saat ini dia kembali lagi, Jayden tentu tidak akan membiarkannya merebut Anna yang dulu telah dibuang tanpa perasaan. "Aku menyayangi Tante agatha, aku tidak mau dia pergi meninggalkan kita. Papa harus melindungi Tante Agatha dan membuat dia terus berada di sisi kita," ucap Anna lagi.Jayden mengangguk, tanpa Anna meminta pun, ia sudah pasti akan melakukan itu. "Papa tentu tidak akan membiarkan Tante Agatha pergi. Dia sudah seperti keluarga kita, Anna. Papa pasti akan melindunginya." ***Di kamarnya, Jayden merasakan getaran ponselnya beberapa kali. Awalnya, ia mengabaikan, fokus menyelesaikan pekerjaan
"Anna, jika papa menyuruhmu untuk memilih di antara mereka, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Jayden tiba-tiba. Seketika Agatha mengangkat kepala dengan kaget."Hei! Apa-apaan kamu?" Vania membulatkan mata penuh amarah."Kenapa? Bukankah ini adil? Aku tidak berhak membuat keputusan tanpa persetujuan anakku. Dia juga berhak membuka suara, perempuan mana yang sekiranya ia suka dan pantas berada di dekatnya."Agatha meneguk ludahnya susah payah. Sungguh percakapan yang tidak ia duga. Apalagi baru saja Jayden menatapnya sekilas. Entah apa arti tatapannya itu, tapi jantung Agatha memang mudah baper. Vania mengepalkan tangannya dan menelan lagi emosinya. "Baiklah, lebih baik begini. Tapi apapun keputusan dia, kamu tidak boleh melanggarnya!""Tentu saja memang seperti itu. Karena pilihan Anna adalah pilihanku juga." Jayden tersenyum miring. "Apa aku harus melakukan itu, Pa?" tanya Anna pelan sambil mendongak menatap Jayden dengan keraguan."Iya, Sayang. Kamu harus melakukannya." Jayden me
Meskipun dilanda kemarahan, Jayden tetap tenang dan tegas. "Vania, itu tidak mungkin. Anna sudah memilih, dan kehadiranmu di sini hanya akan membuatnya sulit. Kami harus melanjutkan hidup tanpamu."Vania terus menangis, merasa putus asa. Ia mencoba lagi untuk memohon. "Aku hanya ingin memberitahunya, Jayden. Aku ingin Anna tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya. Beri aku kesempatan terakhir."Jayden menggeleng dan membalas dengan geram. "Itu tidak akan mengubah apa-apa, Vania! Anna sudah membuat pilihannya. Kamu harus menerima kenyataan ini dan pergi."Vania terus merayu dengan mata berkaca-kaca, tetapi Jayden tetap tidak tergoyahkan. Keputusan sudah diambil, dan ia tidak akan membiarkan Vania merusak kedamaian dan kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan. Jayden pun melangkah pergi tanpa peduli dengan panggilan Vania berulang kali."Tenangkan dirimu, ini mungkin sulit, tapi—""Enyahlah dari hadapanku, perempuan sialan!" bentak Vania saat Agatha menyentuh pundaknya. Ia langsung menepisnya
[“Anak sialan! Bawa pergi perempuan gila ini dari rumahku!”] Jayden segera menjauhkan ponselnya dari telinga saat suara memekakkan itu terdengar berteriak marah dari Jonathan di seberang. Ia mengernyit tak paham. Apalagi tidak biasanya pria berbicara melalui telepon. “Siapa maksud Anda?” tanya Jayden, kemudian ia bisa mendengar suara dengkusan keras di sana. ["Ibu dari anak haram itu! Dia ke sini memohon-mohon seperti orang gila!"] Mata Jayden reflek melebar. “Apa? Vania ada di sana?” [“Usir dia dari sini sekarang juga!”] Setelah itu telepon ditutup secara sepihak oleh Jonathan. Helaan napas panjang dari mulut Jayden langsung terdengar. Sungguh, ia benar-benar terkejut dan tidak menyangka Vania akan melakukan hal nekat itu dengan pergi ke rumahnya. Tanpa berlama-lama lagi malam itu juga Jayden segera memasukkan ponselnya ke saku lalu berjalan keluar kamar. Ia hanya berpamitan kepada Anna dan Agatha bahwa Jonathan memanggilnya karena ada urusan pekerjaan. Dengan kecepatan tinggi
"Dan kami juga merasa begitu, Jayden. Kami ada di sini untuk saling mendukung. Mari kita hadapi semuanya bersama-sama."Jayden tersenyum lega karena Agatha bisa mengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar. "Terima kasih, Agatha. Kamu selalu bisa membaca hatiku tanpa banyak kata. Aku beruntung memiliki kamu di ini."Agatha tersenyum lembut, menyatakan dukungan tanpa perlu banyak bicara. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama dalam ketenangan, menemukan kenyamanan satu sama lain di tengah badai kehidupan."Aku bersyukur kamu tidak membeli alkohol lagi. Karena jika kamu sampai melakukan itu, maka aku akan memarahimu dan membuang semua minuman itu."Jayden tersenyum kecil. "Aku mengerti, Agatha. Kamu selalu menjadi pengingatku. Terima kasih karena selalu ada untukku, bahkan di saat-saat sulit seperti ini."Agatha pun tersenyum, lalu menawarkan makanan karena ia tahu Jayden belum makan malam. Kebetulan Agatha juga sudah masak dan masih menyisakan untuk Jayden. Agatha membawa piring b
"Kamu tahu dia menggambar apa?” tanya Agatha penasaran. Sambil ia membuka rice cooker untuk mengecek nasi. “Aku tidak melihatnya dari dekat, takut menganggu. Aku kira kamu sudah lebih dulu tahu?” Agatha menggeleng. “Aku langsung ke dapur tadi. Tapi memang akhir-akhir ini dia tampak serius. Sepertinya dia menggambar sesuatu yang berbeda dari biasanya. Aku bahkan dilarang melihatnya.” “Memang biasanya apa yang dia gambar?” Jayden cukup menyesal tidak pernah melihat hasil gambaran Anna karena terlampau sibuk. “Sudah aku udah duga kamu tidak tahu. Sepertinya kamu harus sedikit meluangkan waktu untuk menanyai soal hobi dan kesukaan Anna.” Sudut bibir Jayden tertarik sebelah. “Tugas kamu memang salah satunya memberitahu apa yang tidak aku tahu. Aku rasa Anna jauh lebih terbuka denganmu."Agatha menghela napas. Ia menjadi teringat saat masa kecilnya dulu di mana yang menanyai soal hobinya adalah sang ibu. Ayahnya termasuk kategori yang tidak peka alih-alih tidak terpikirkan untuk menany