Bara menjatuhkan ponselnya saat mendengar suara sang daddy. Untung saja ia sedang berada di atas tempat tidur, jadi ponselnya baik-baik saja, walau terlepas dari genggaman tangannya.
'Pantas aja nggak kedengeran ada orang masuk, ternyata pintunya nggak ditutup,' ucap Bara dalam hati sembari menoleh pada pintu yang terbuka lebar. 'Perasaan tadi ditutup,' batinnya yang semakin bingung.
Dari seberang telepon, Gara terkekeh geli melihat raut wajah adiknya yang masih tertangkap kamera.
'Maaf Bara, aku tidak bisa membantumu karena aku sedang banyak kerjaan,' batin Gara sebelum memutuskan panggilan videonya.
Gara yakin pasti daddy-nya marah mendengar Bara berbicara seperti itu. Maka dari itu ia buru-buru mematikan sambungan teleponnya untuk menghindari omelan sang daddy.
"Bukan itu maksud aku, Dad." Segera Bara mengambil ponselnya yang tergeletak di kasur. Pandangannya tidak lepas dari wajah sang daddy. "Abang yang bilang kalau ...."
Bara beralih m
Bara terkejut melihat sang mommy yang tiba-tiba muncul di sampingnya. "Mommy ngagetin aku aja.""Kamu meragukan pesona Mommy?"Andin melipat tangannya di bawah dada sembari memelototi sang anak."Bukan begitu, Mom. Aku cuma heran aja, Daddy yang sangar begitu bisa takluk sama Mommy yang lembut, dan seperti bidadari ini."Bara menjawil dagu sang mommy sembari tertawa geli. 'Lembut apanya ya,' batin Bara sembari menahan senyum."Sama aja Bara!" sergah sang mommy. "Kamu lagi nelepon siapa?" Andin penasaran sejak tadi Bara terus memegangi ponselnya dan mengarahkan kamera ke wajahnya, tapi tidak ada orang yang nampak dari ponsel itu."Aku lagi nelepon Abang," jawabnya."Mana sini Mommy lihat!" Andin menadahkan tangannya meminta ponsel yang ada di tangan anaknya. "Kenapa anak itu tidak mau menelpon Mommy?""Abang lagi sibuk, Mom. Dia nelpon aku cuma mau meledek aku aja." Bara menyerahkan ponselnya kepada sang mommy.Andi
Setelah satu bulan Anisa menghilang, Bara semakin jarang pulang ke rumah. Laki-laki muda itu sibuk mencari kekasihnya ke sana ke mari.Hingga sang mommy harus turun tangan menangani kafe di bantu Naya, istri dari sepupunya. Bara sudah jarang ke kafe untuk melakukan pekerjaannya. Ia tidak bisa fokus bekerja selama kekasihnya belum ditemukan.Setiap hari Bara pulang ke rumah Anisa, dan tidur di rumah itu. Ia berharap gadis pujaan hatinya pulang untuk mengambil sesuatu atau kembali tinggal di rumah itu, tapi setelah sebulan wanita itu tidak muncul juga."Sayang, kamu di mana? Aku sangat merindukanmu. Apa kamu juga merindukanku?" Bara terbaring di tempat tidur sang kekasih sembari menatap langit-langit kamar itu.Mengenang kenangan manis bersama ketika memadu kasih membuat Bara semakin tersiksa. Rindunya semakin berat, ia tidak tahu lagi harus mencari Anisa ke mana untuk melepas rindunya.Tidak ada petunjuk sama sekali. Anisa tidak me
"Bara!" teriak Haidar.Ia berlari menghampiri anaknya, ketika masuk ke dalam rumah Anisa melihat Bara sudah tergeletak di ambang pintu kamar.Rumah Anisa sederhana, dan tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman untuk ditinggali. Oleh sebab itu Haidar bisa langsung melihat anaknya tergeletak ketika ia masuk."Angkat dia ke tempat tidur!" titah Haidar kepada pengawalnya.Laki-laki itu menyingkir untuk memberikan jalan kepada pengawalnya supaya mereka lebih leluasa mengangkat tubuh Bara.Kemudian ia menyuruh salah satu pengawalnya untuk segera menelpon ambulan.Empat pengawal yang selalu setia kepadanya dengan sigap mengangkat tubuh laki-laki jangkung itu, dan membaringkannya di tempat tidur.Sedangkan satu pengawal yang biasa menjadi supir Haidar, bergegas menelpon ambulans sesuai perintah sang tuan.Bara masih sadarkan diri ketika sang daddy datang, tapi ia tidak bisa berbicara karena badannya terlalu lemah. Tubuhnya seakan
Andin dan Haidar berjalan cepat menghampiri para pengawalnya yang sampai lebih dulu karena mengawal mobil ambulans yang membawa Bara."Bagaimana keadaan anak saya?" tanya Haidar kepada pengawalnya setelah mereka berhadapan dengan para laki-laki tegap itu."Tuan muda sedang ditangani," jawabnya dengan sopan.Haidar beralih menatap sang istri yang terus menitikkan air mata, ia mengajak istrinya duduk di bangku yang berjajar di ruang tunggu.Laki-laki itu merangkul bahu sang istri yang duduk di sampingnya sembari membelai lembut rambut wanita cantik itu."Bee, jangan menangis lagi! Bara, anak yang kuat. Dia tidak akan kenapa-kenapa."Wanita yang sudah tidak muda lagi itu terus menangis dalam dekapan suaminya. Ia sangat takut terjadi sesuatu kepada anak kesayangannya."Aku akan berusaha menemukan Anisa secepatnya," ucap Haidar untuk menenangkan sang istri.Andin menegakkan duduknya, menghapus air mata yang membasahi pipinya,
Haidar teringat putranya, Gara. Dia orang yang sangat teliti, tidak mungkin menjalin hubungan dengan orang yang belum dikenalnya.Pria tua itu yakin kalau Gara sudah menyelidiki tentang Anisa sebelum ia menjadikannya seorang kekasih."Kalian urus anak dan istri saya!" titah Haidar pada pengawalnya. Lalu, ia segera pergi dengan satu pengawal yang mengikuti langkah cepatnya."Antar saya pulang!" titah Haidar setelah masuk ke dalam mobilnya."Baik, Tuan."Kendaraan mewah itu melesat di jalanan. Haidar pun mengeluarkan ponselnya yang ada di saku jas. Ia berusaha menghubungi anaknya, tapi tidak ada jawaban."Mungkin dia sedang sibuk," ucapnya sembari memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku jas. DrrtttBenda pipih yang ada di saku jasnya bergetar, ia segera merogohnya. "Halo, Gara!"Haidar menerima panggilan telepon tanpa melihat dulu siapa yang menelpon."Bang Ar, ini aku, Naya," jawab seorang wan
"Apa dia mendapatkan kekuatan super setelah pingsan tadi? Kenapa suaranya semakin nyaring kalau lagi ngomel," gerutu Haidar sambil bangun dari duduknya. "Bi, bajunya mana?"Seorang pelayan perempuan berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sembari menjinjing koper kecil. "Ini, Tuan.""Bawa ke mobil!" titahnya kepada pelayan itu.Haidar pun melangkah pergi, tapi baru beberapa langkah ia sudah kembali lagi karena teringat kopinya yang sama sekali belum dia cicipi.Diambilnya cangkir berisi minuman yang hangat itu, lalu diseruputnya dengan penuh nikmat. "Nikmatnya."Ia segera pergi setelah menaruh cangkir itu ke tempatnya semula. Padahal ingin sekali ia bersantai sejenak untuk meminum kopi, melepas masalah keluarganya.Namun, laki-laki itu harus cepat-cepat kembali ke rumah sakit. Ia tidak mau singa betinanya mengamuk yang akan menambah pusing kepalanya."Setelah Anisa ketemu, kalian harus secepatnya menikah dan memberikan cucu y
"Bee, kamu istirahat ya!" Haidar membelai wajah sang istri dengan jarinya. "Aku nggak mau kamu sakit gara-gara memikirkan masalah anak kita.""Kamu juga harus istirahat! Aku nggak mau kamu sakit lagi." Andin menggenggam tangan suaminya, lalu mengecupnya dengan mesra. "Maafkan ucapanku tadi.""Bee, aku mencintaimu seperti ini. Aku malah takut cintamu sudah tidak seperti dulu lagi kalau kamu tiba-tiba berubah." Haidar tertawa pelan sembari menyubit pipi sang istri. "Jangan pernah berubah! Cintai aku sampai napas terakhirku.""Aku akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Cinta kita tidak akan pernah mati, cinta ini akan abadi sampai kita mengembuskan napas terahir, bahkan aku berharap supaya kita dipertemukan lagi di kehidupan yang baru."Haidar mengecup tangan istrinya sembari menatap wajah sang istri. Kemudian ia mengecup bibir wanita yang sangat ia cintai itu."Istirahatlah!"Haidar melangkahkan kakinya menuju sofa setelah Andin memej
“Aku minta satu orang pengawal yang berjaga di dalam untuk membantuku kalau aku ingin ke kamar mandi, tubuhku lemas sekali. Berjalan dari kamar mandi saja, kakiku sampai gemetaran.”“Pakai kursi roda saja,” usul sang daddy yang ditolak oleh Gara.“Aku masih bisa berjalan, walaupun masih lemas,” sahut Bara. Ia tidak mau terlihat lemah, walaupun tubuhnya lemas seperti tidak ada tenaga sama sekali.”“Tadi ‘kan Mommy sudah minta perawat untuk berjaga 24 jam di sini, tapi malah kamu suruh keluar,” ucap sang bunda.“Aku nggak mau dekat dengan wanita, aku mual jika berada di dekatnya,” jawab Bara setelah mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan setelah berjalan dari kamar mandi.“Hahaha … apa Mommy nggak salah dengar?”Andin tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat yang diucap