Sisil menoleh ke belakang sambil memejamkan matanya. Ia malu karena ketahuan sedang menguping. Sisil membuka mata saat sudah berhadapan dengan orang yang memergokinya.
“Bang Ar!” Sisil terkejut ternyata orang yang memergokinya adalah suami dari sahabatnya yang sedang mendesah di dalam kamar. “Lah kalau Bang Ar di sini, terus Andin nganu sama siapa?” gumam Sisil.
“Nganu?” Alis Haidar bertaut saat mendengar ucapan Sisil. “Maksud kamu apa?” tanya Haidar pada sahabat istrinya itu.
“Andin di dalam lagi mendesah,” ucap Sisil. “Ops.” Sisil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
Haidar langsung membuka pintu tanpa berbicara apa-apa lagi, kemudian ia menutupnya kembali dengan keras.
“Mampus gue! Kenapa gue bisa keceplosan gini,” kata Sisil sambil menepuk-nepuk bibirnya. “Lagian si Andin
Haidar mendekati Andin yang sedang duduk di sofa sambil memegang ponselnya. Kemudian ia duduk di depan istrinya.“Kata Sisil kamu lagi mendesah. Kamu lagi ngapain? Mendesah sama siapa?” tanya Haidar pada istrinya dengan serius. Sorot matanya tanjam menatap manik mata sang istri.Andin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan suaminya. “Jadi, dari tadi kamu mondar-mandir nggak jelas gara-gara itu? Niat hati mau jahilin Sisil kenapa kamu yang kena?” kata Andin sambil tertawa.“Kenapa kamu tertawa? Kamu kira lucu?” Haidar semakin kesal dengan istrinya.“Kamu lucu, kalau lagi cemburu,” sahut Andin sambil memegangi perutnya. Ia masih saja menertawakan suaminya. “Aku tuh mau ngeprank Sisil karena dari tadi dia kepoin malam pertama kita,” ucapnya masih dengan tawa.Andin tidak bisa berhenti tertawa karena suaminya sendiri
Haidar menganggukkan kepala, lalu membantu Andin untuk bangun. Andin segera masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Ia segera memeriksa pusat intinya.“Bener dugaan gue,” ucap Andin sambil tersenyum. “Kamu kurang beruntung, Boo,” imbuhnya sambil menahan tawa.Andin segera membersihkan diri. Hukumannya gagal karena sedang ada tamu bulanan. Setelah sepuluh menit ia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit tubuhnya.Haidar yang sedang duduk di pinggiran tempat tidur menghadap kamar mandi sambil memainkan ponselnya, mendongakkan kepala saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. “Kamu udah siap, Bee?” tanya Haidar sembari merentangkan tangannya menyambut sang istri.“Boo, hukumannya nanti aja ya, aku lagi kedatangan tamu,” kata Andin memelas. Ia menyesal karena tidak bisa melayani suaminya.“Tamu?” Ali
“Bee, kita keluar yuk!” ajak Andin setelah ia keluar dari ruang ganti dan sudah berpakaian santai. Sebenarnya ia bosan di kamar terus kalau tidak melakukan apa-apa, tapi karena ia merasa tidak nyaman saat berjalan, terpaksa ia mengurung diri di dalam kamar.Haidar mendekati istrinya, lalu, melingkarkan tangannya di pinggang sang istri. “Anu kamu udah nggak sakit kalau dibawa jalan?” tanya Haidar pada sang istri.“Nggak. Cuma berasa ada yang mengganjal aja sih,” jawab Andin sambil menarik-narik celananya.“Kenapa?” tanya Haidar sembari tertawa pelan melihat tingkah sang istri yang merasa tidak nyaman. Entah karena celananya yang kesempitan atau daerah sensitifnya yang terasa tidak nyaman.“Nggak nyaman,” jawab Andin sambil menyeringai.“Kamu ganti pake baju terusan aja, biar lebih nyaman!” titah Haidar pada pe
“Boo, kamu ngapain sih halangin jalan aku?” tanya Andin pada suaminya. Ia bergeser ke kanan unttuk mencari jalan lain, tapi Haidar kembali menghalangi jalannya.“Kamu belum jawab,” kata Haidar sambil meraih tangan sang istri.“Terserah kamu mau bawa pasukan militer juga nggak apa-apa,” jawab Andin sambil mengempaskan tangan suaminya. “Emangnya kalau aku nolak, kamu mau ikutin mau aku? Nggak ‘kan?” imbuh Anin sembari melipat tangannya di bawah dada.“Kamu marah? Bee, aku cuma nggak mau kamu-”“Aku nggak marah suamiku,” sahut Andin dengan manis. “Ini aku senyum ‘kan?” kedua jari telunjuk Andin di tempelkan di pipi sembari melengkungkan sudut bibirnya dengan lebar.“Jangan begitu! Aku jadi geli lihatnya.” Haidar tertawa melihat tingkah istrinya sembari melepas tangan Andin dar
“Pa, aku ke belakang dulu ya.” Haidar pamit pada Papa Mahendra sebelum ia jadi bahan ledekan keluarga istrinya. “Keluarga ini bener-bener gesrek semua,” batin Haidar sembari melenggang pergi meninggalkan istri dan papanya.Haidar menghampiri Aldin dan Sisil yang sedang bersantai di saung gajebo. “Boleh aku gabung?” tanya Haidar kepada kakak iparnya.“Iya, Bang silakan,” sahut Aldin dengan ramah. Walaupun ia kakak ipar Haidar, tapi Aldin tetap memanggil abang karena usia adik iparnya itu jauh lebih tua darinya.“Kamu udah baikan, Sil?” tanya Haidar pada Sisil yang sedang duduk di samping Aldin.“Udah, Bang, aku cuma kelelahan aja,” jawab Sisil sembari tersenyum.“Makanya kamu harus jaga kesehatan. Makan teratur, istirahat yang cukup! Masih muda kok udah sakit-sakitan.” Aldin terlihat sangat peduli
Setelah berpamitan pada orang tuanya, Andin dan Haidar pulang karena sang mami sudah menunggunya di rumah.“Bee, besok aku ke luar kota, kamu pergi kuliah diantar bodyguardku aja ya. Nanti kamu ajak Sisil nginep di rumah,” kata Haidar sambil menoleh pada Andin yang duduk di sampingnya, lalu ia kembali fokus pada kemudinya. “Tadi aku udah bilang ke dia,” imbuhnya.Andin memiringkan badannya menghadap sang suami. “Ke luar kota?” Andin terkejut dengan ucapan suaminya yang mendadak pergi ke luar kota. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Andin pada suaminya. Ia tidak rela kalau harus ditinggalkan oleh sang suami.“Aku lupa,” jawab Haidar. “Cuma sehari aja, aku ada kerjaan yang benar-benar nggak bisa ditunda. Aku juga nggak mau berjauhan terlalu lama dengan bidadariku ini.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.
“Bi, Mami di mana?’ tanya Andin saat berpapasan dengan Bi Susi.“Nyonya pergi, Non. Katanya nanti balik lagi,” jawab Bi Susi dengan sopan.“Ya udah, Bi, makasih ya,” ucapnya sambil tersenyum. “Bi, tolong buatin aku es susu ya, nanti antar ke kamarku jangan ke kamar tuan,” titah Andin pada Bi Susi.Setelah meminta tolong pada Bi Susi, Andin segera pergi ke kamarnya. Ia segera masuk kamar dan menguncinya.“Kenapa aku nggak rela, dia pergi ke luar kota, padahal ‘kan dia mau pergi kerja,” gumamnya sembari merebahkan tubuhnya di kasur.Haidar mencari Andin di kamar, tapi tidak menemukannya. Kemudian ia keluar dari kamar untuk mencari sang istri di tempat lain. “Apa mungkin dia ada di sini?” gumam Haidar saat berada di depan pintu kamar istrinya.“Bee!” panggil Haidar sa
Setelah menelpon asistennya, Haidar duduk di samping Andin. “Bee, besok aku nggak jadi ke luar kota,” kata Haidar sambil menggenggam tangan istrinya. “Udah ya jangan marah lagi.” Haidar mencium tangan istrinya dengan mesra.Ia rela kehilangan apa pun, asalkan istrinya bahagia. Bahkan ia sudah tidak peduli lagi dengan kekayaan orang tuanya.“Senyum dong, Sayang.” Haidar menjawil dagu istrinya sambil tersenyum.Andin hanya diam membisu, tidak ada reaksi apa pun. Ia merasa dirinya terlalu egois. Suaminya membatalkan perjalanan bisnis hanya karena dirinya.“Bee, kamu masih marah?” tanya Haidar karena istrinya masih saja diam membisu. “Maaf ya, lain kali aku akan bilang dari jauh-jauh hari kalau mau pergi ke luar kota,” imbuhnya sambil terus menciumi tangan sang istri.“Boo ….”“I