“Boo, kamu ngapain sih halangin jalan aku?” tanya Andin pada suaminya. Ia bergeser ke kanan unttuk mencari jalan lain, tapi Haidar kembali menghalangi jalannya.
“Kamu belum jawab,” kata Haidar sambil meraih tangan sang istri.
“Terserah kamu mau bawa pasukan militer juga nggak apa-apa,” jawab Andin sambil mengempaskan tangan suaminya. “Emangnya kalau aku nolak, kamu mau ikutin mau aku? Nggak ‘kan?” imbuh Anin sembari melipat tangannya di bawah dada.
“Kamu marah? Bee, aku cuma nggak mau kamu-”
“Aku nggak marah suamiku,” sahut Andin dengan manis. “Ini aku senyum ‘kan?” kedua jari telunjuk Andin di tempelkan di pipi sembari melengkungkan sudut bibirnya dengan lebar.
“Jangan begitu! Aku jadi geli lihatnya.” Haidar tertawa melihat tingkah istrinya sembari melepas tangan Andin dar
“Pa, aku ke belakang dulu ya.” Haidar pamit pada Papa Mahendra sebelum ia jadi bahan ledekan keluarga istrinya. “Keluarga ini bener-bener gesrek semua,” batin Haidar sembari melenggang pergi meninggalkan istri dan papanya.Haidar menghampiri Aldin dan Sisil yang sedang bersantai di saung gajebo. “Boleh aku gabung?” tanya Haidar kepada kakak iparnya.“Iya, Bang silakan,” sahut Aldin dengan ramah. Walaupun ia kakak ipar Haidar, tapi Aldin tetap memanggil abang karena usia adik iparnya itu jauh lebih tua darinya.“Kamu udah baikan, Sil?” tanya Haidar pada Sisil yang sedang duduk di samping Aldin.“Udah, Bang, aku cuma kelelahan aja,” jawab Sisil sembari tersenyum.“Makanya kamu harus jaga kesehatan. Makan teratur, istirahat yang cukup! Masih muda kok udah sakit-sakitan.” Aldin terlihat sangat peduli
Setelah berpamitan pada orang tuanya, Andin dan Haidar pulang karena sang mami sudah menunggunya di rumah.“Bee, besok aku ke luar kota, kamu pergi kuliah diantar bodyguardku aja ya. Nanti kamu ajak Sisil nginep di rumah,” kata Haidar sambil menoleh pada Andin yang duduk di sampingnya, lalu ia kembali fokus pada kemudinya. “Tadi aku udah bilang ke dia,” imbuhnya.Andin memiringkan badannya menghadap sang suami. “Ke luar kota?” Andin terkejut dengan ucapan suaminya yang mendadak pergi ke luar kota. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Andin pada suaminya. Ia tidak rela kalau harus ditinggalkan oleh sang suami.“Aku lupa,” jawab Haidar. “Cuma sehari aja, aku ada kerjaan yang benar-benar nggak bisa ditunda. Aku juga nggak mau berjauhan terlalu lama dengan bidadariku ini.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.
“Bi, Mami di mana?’ tanya Andin saat berpapasan dengan Bi Susi.“Nyonya pergi, Non. Katanya nanti balik lagi,” jawab Bi Susi dengan sopan.“Ya udah, Bi, makasih ya,” ucapnya sambil tersenyum. “Bi, tolong buatin aku es susu ya, nanti antar ke kamarku jangan ke kamar tuan,” titah Andin pada Bi Susi.Setelah meminta tolong pada Bi Susi, Andin segera pergi ke kamarnya. Ia segera masuk kamar dan menguncinya.“Kenapa aku nggak rela, dia pergi ke luar kota, padahal ‘kan dia mau pergi kerja,” gumamnya sembari merebahkan tubuhnya di kasur.Haidar mencari Andin di kamar, tapi tidak menemukannya. Kemudian ia keluar dari kamar untuk mencari sang istri di tempat lain. “Apa mungkin dia ada di sini?” gumam Haidar saat berada di depan pintu kamar istrinya.“Bee!” panggil Haidar sa
Setelah menelpon asistennya, Haidar duduk di samping Andin. “Bee, besok aku nggak jadi ke luar kota,” kata Haidar sambil menggenggam tangan istrinya. “Udah ya jangan marah lagi.” Haidar mencium tangan istrinya dengan mesra.Ia rela kehilangan apa pun, asalkan istrinya bahagia. Bahkan ia sudah tidak peduli lagi dengan kekayaan orang tuanya.“Senyum dong, Sayang.” Haidar menjawil dagu istrinya sambil tersenyum.Andin hanya diam membisu, tidak ada reaksi apa pun. Ia merasa dirinya terlalu egois. Suaminya membatalkan perjalanan bisnis hanya karena dirinya.“Bee, kamu masih marah?” tanya Haidar karena istrinya masih saja diam membisu. “Maaf ya, lain kali aku akan bilang dari jauh-jauh hari kalau mau pergi ke luar kota,” imbuhnya sambil terus menciumi tangan sang istri.“Boo ….”“I
Haidar bangun, lalu membopong Andin. “Ayo, ke kamar kita!”Andin mengalungkan tangannya pada leher Haidar. Lalu ia mengecup bibir suaminya dengan lembut.“Bee, jangan coba-coba bangunin jagoanku ya, bahaya kalau dia bangun dan nyari sumur keramatnya,” kata Haidar sambil menggelitiki pinggang istrinya.“Ampun, Bee!” Andin meronta dalam gendongan suaminya sambil tertawa terbahak-bahak.“Diam, Bee! Nanti kamu jatuh, di bawah banyak pecahan gelas.” Haidar berjalan sangat hati-hati saat melewati pintu.“Bi!” teriak Haidar pada pelayan di rumahnya.Bi Narti yang kebetulan sedang membersihkan ruangan keluarga, langsung menghampiri tuannya. “Iya, Tuan,” sahut Bi Narti dengan napas yang ngos-ngosan karena sehabis lari tergopoh-gopoh agar cepat menghadap majikannya.&ldqu
Andin kembali meletakkan koper itu, lalu membalikkan badannya menghadap sang suami. “Kenapa?” alisnya bertaut sambil menatap sang suami. Dalam pikirannya muncul kalau sang suami sudah ada yang mengurusnya di luar kota.“Aku akan langsung pulang setelah kerjaanku selesai,” jawab Haidar dengan lembut, ia paham kalau sang istri punya prasangka buruk terhadapnya.Andin merasa lega mendengar jawaban suaminya. “Kalau kerjaanmu belum selesai, apa kamu akan terus memakai baju yang sama di esok hari? Bawalah pakaian ganti untuk jaga-jaga!”“Terserah kamu aja istriku. Aku manut patut padamu bidadari hatiku,” ucap Haidar sambil tersenyum manis.“Bagus!” Andin mengacungkan jempolnya pada sang suami. Kembali ia mengambil koper yang sudah ia buka. Andin memasukkan tiga setel pakaian, satu setel pakaian kerja, satu setel pakaian santai dan satu setel pakai
Andin dan Haidar menghabiskan waktu mereka di dalam kamar. Mereka menghabiskan waktu hanya berdua saja sebelum sang suami pergi ke luar kota untuk perjalanan bisnisnya. Keduanya hanya keluar untuk makan malam dan kemudian kembali masuk ke dalam kamar setelah selesai.“Kenapa aku sangat berat melepas suamiku pergi ke luar kota,” ucap Andin dalam hatinya.“Bee, kamu udah tidur?” Haidar bertanya karena tidak ada suara dari wanita cantik yang berada dalam pelukannya.Andin merasa sangat nyaman berada dalam dekapan suaminya. Kehangatan tubuh sang suami membuat pikirannya lebih santai, tanpa terasa ia memejamkan matanya.Haidar menciumi rambut sang istri yang sudah terlelap dalam dekapannya. “Aku sangat tergila-gila padamu istriku. Jangan pernah tinggalkan aku, Sayang! Aku bisa gila kalau harus kehilanganmu. Aku akan tetap mempertahankanmu apa pun yang terjadi.”
Dengan langkah gontai, Andin berjalan menuju kamar. Gurat kesedihan terpancar di wajah cantiknya. Ia merasa sangat sedih, sang suami yang belum lama menutup luka hatinya kini telah pergi tanpa pamit padanya.Walaupun suaminya hanya pergi untuk melakukan perjalanan bisnis, akan tetapi ia merasa sedih seolah-olah tidak akan pernah bertemu lagi dengan sang suami.Andin memutar kenop pintu dengan malas, didorongnya daun pintu dengan perlahan, lalu menutup pintu dan menguncinya, ia berjalan gontai menuju tempat tidur. Kemudian menjatuhkan tubuhnya di kasur dengan posisi telungkup."Boo, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu." Tidak terasa bulir bening merembes dari sudut matanya. "Kenapa hati ini terasa sakit, apa gue terlalu mencintainya? Hingga gue nggak mau jauh darinya walau hanya sehari aja," gumamnya dalam hati.Andin terus saja menangisi sang suami yang pergi tanpa pamit.Padaha