Andin menerima uluran tangan suaminya, ia turun dengan hati-hati karena bagian pusat intinya masih terasa perih. “Aku keceplosan,” sahut Andin sembari menyeringai setelah ia duduk di sofa yang ada deket jendela. Di depannya sudah tersedia banyak makanan yang bundanya bawakan.
Andin dan Haidar makan dengan lahapnya. “Masakan Bunda sama enaknya dengan masakan kamu,” kata Haidar setelah mengelap mulutnya dengan tisu.
Mereka seperti orang kelaparan, makanan yang dibawakan sang bunda ludes seketika. Maklum saja mereka habis bertempur dari malam sampai siang hari. Tenaga mereka sudah terkuras habis akibat pertempuran itu.
“Boo, aku ngantuk,” kata Andin setelah menghabiskan semua makan siangnya.
“Jangan tidur sehabis makan!” sahut Haidar pada sang istri.
“Ta-
Ucapan Andin terpotong saat pintu kamar terbuka tiba-t
Sisil mendekati Andin, ia duduk di samping sahabatnya itu. Sisil memerhatikan tubuh perempuan yang sudah seperti saudara baginya dengan teliti.“Widih … tato lo keren banget, Din,” ledek Sisil sambil menyingkap baju bagian atas sahabatnya. “Di dalam lebih banyak lagi motifnya,” kata Sisil sambil tertawa pelan.“Lo, apa-apan sih!” Andin menepis tangan Sisil. “Ntar lo pengin ditato kayak gini juga,” kata Andin sembari mengangkat bajunya supaya sedikit menutupi dada bagian atas.Tidak sampai di situ saja. Sisil pun meyibakkan rambut Andin yang tergerai menghalangi leher bagian sambing.“Bujug busyet!” Sisil menggelengkan kepala melihat stempel kepemilikan di leher sahabatnya. “Ternyata Bang Ar ahli membuat tato,” ucapnya sambil manggut-manggut.“Badan gue jadi bermotif kayak batik,” kata Andin
“Apanya yang basah?” tanya Sisil pada sahabatnya. Ia pindah tempat duduk ke tempat semula yaitu di samping Andin. Gadis mungil itu semakin penasaran dengan cerita tentang malam pertama sahabatnya.“Anu gue basah, gue inget semalam, jadi pengin lagi dianuin,” kata Andin sambil memejamkan matanya mengingat-ingat pertempuran semalam. “Kalau anu kita dijilatin, itu enak banget, Sil. Sumpah dah gue ketagihan dijilat.” Andin menyapu bibirnya dengan lidah sambil mendesah manja.Ia sengaja memanas-manasi Sisil karena dari tadi sahabatnya itu terus mendesaknya untuk menceritakan pengalaman malam pertama.“Ih si bego, kenapa juga lo ceritainnya sampai mendesah begitu. Gue ‘kan jadi pengin nyobain juga,” sergah Sisil sambil menoyor kepala Andin.Andin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Sisil. “Tadi ‘kan lo yang maksa buat ceritain malam pert
Sisil terkejut mendengar ucapan sahabatnya. “Maksud lo, Aldin udah punya cewek?” tanya Sisil yang merasa patah hati saat mendengar ia hanya wanita ke tiga dalam hidup laki-laki pujaan hatinya.“Iyalah. Bunda sama gue,” jawab Andin sembari tersenyum. Ia sudah tahu kegelisahan sahabatnya itu saat mendengar ia hanya wanita ke tiga Aldin. “Eh lupa bukan yang ke tiga. Masih ada Oma, Nenek, Mami sama Mama,” lanjut Andin sembari tersenyum.Sisil menghela napas lega saat Andin menyebutkan wanita istimewa dalam hidup Aldin. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak tentang laki-laki dingin yang menjerat hatinya.“Oh iya, hampir lupa, ada salam dari ibu,” kata Sisil. “Katanya semoga kamu cepet sembuh,” imbuh Sisil sambil tersenyum.“Ibu? Emangnya kapan lo pulang?” tanya Andin pada sahabatnya.“Tadi pagi gue pulang, teru
Sisil menoleh ke belakang sambil memejamkan matanya. Ia malu karena ketahuan sedang menguping. Sisil membuka mata saat sudah berhadapan dengan orang yang memergokinya.“Bang Ar!” Sisil terkejut ternyata orang yang memergokinya adalah suami dari sahabatnya yang sedang mendesah di dalam kamar. “Lah kalau Bang Ar di sini, terus Andin nganu sama siapa?” gumam Sisil.“Nganu?” Alis Haidar bertaut saat mendengar ucapan Sisil. “Maksud kamu apa?” tanya Haidar pada sahabat istrinya itu.“Andin di dalam lagi mendesah,” ucap Sisil. “Ops.” Sisil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.Haidar langsung membuka pintu tanpa berbicara apa-apa lagi, kemudian ia menutupnya kembali dengan keras.“Mampus gue! Kenapa gue bisa keceplosan gini,” kata Sisil sambil menepuk-nepuk bibirnya. “Lagian si Andin
Haidar mendekati Andin yang sedang duduk di sofa sambil memegang ponselnya. Kemudian ia duduk di depan istrinya.“Kata Sisil kamu lagi mendesah. Kamu lagi ngapain? Mendesah sama siapa?” tanya Haidar pada istrinya dengan serius. Sorot matanya tanjam menatap manik mata sang istri.Andin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan suaminya. “Jadi, dari tadi kamu mondar-mandir nggak jelas gara-gara itu? Niat hati mau jahilin Sisil kenapa kamu yang kena?” kata Andin sambil tertawa.“Kenapa kamu tertawa? Kamu kira lucu?” Haidar semakin kesal dengan istrinya.“Kamu lucu, kalau lagi cemburu,” sahut Andin sambil memegangi perutnya. Ia masih saja menertawakan suaminya. “Aku tuh mau ngeprank Sisil karena dari tadi dia kepoin malam pertama kita,” ucapnya masih dengan tawa.Andin tidak bisa berhenti tertawa karena suaminya sendiri
Haidar menganggukkan kepala, lalu membantu Andin untuk bangun. Andin segera masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Ia segera memeriksa pusat intinya.“Bener dugaan gue,” ucap Andin sambil tersenyum. “Kamu kurang beruntung, Boo,” imbuhnya sambil menahan tawa.Andin segera membersihkan diri. Hukumannya gagal karena sedang ada tamu bulanan. Setelah sepuluh menit ia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit tubuhnya.Haidar yang sedang duduk di pinggiran tempat tidur menghadap kamar mandi sambil memainkan ponselnya, mendongakkan kepala saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. “Kamu udah siap, Bee?” tanya Haidar sembari merentangkan tangannya menyambut sang istri.“Boo, hukumannya nanti aja ya, aku lagi kedatangan tamu,” kata Andin memelas. Ia menyesal karena tidak bisa melayani suaminya.“Tamu?” Ali
“Bee, kita keluar yuk!” ajak Andin setelah ia keluar dari ruang ganti dan sudah berpakaian santai. Sebenarnya ia bosan di kamar terus kalau tidak melakukan apa-apa, tapi karena ia merasa tidak nyaman saat berjalan, terpaksa ia mengurung diri di dalam kamar.Haidar mendekati istrinya, lalu, melingkarkan tangannya di pinggang sang istri. “Anu kamu udah nggak sakit kalau dibawa jalan?” tanya Haidar pada sang istri.“Nggak. Cuma berasa ada yang mengganjal aja sih,” jawab Andin sambil menarik-narik celananya.“Kenapa?” tanya Haidar sembari tertawa pelan melihat tingkah sang istri yang merasa tidak nyaman. Entah karena celananya yang kesempitan atau daerah sensitifnya yang terasa tidak nyaman.“Nggak nyaman,” jawab Andin sambil menyeringai.“Kamu ganti pake baju terusan aja, biar lebih nyaman!” titah Haidar pada pe
“Boo, kamu ngapain sih halangin jalan aku?” tanya Andin pada suaminya. Ia bergeser ke kanan unttuk mencari jalan lain, tapi Haidar kembali menghalangi jalannya.“Kamu belum jawab,” kata Haidar sambil meraih tangan sang istri.“Terserah kamu mau bawa pasukan militer juga nggak apa-apa,” jawab Andin sambil mengempaskan tangan suaminya. “Emangnya kalau aku nolak, kamu mau ikutin mau aku? Nggak ‘kan?” imbuh Anin sembari melipat tangannya di bawah dada.“Kamu marah? Bee, aku cuma nggak mau kamu-”“Aku nggak marah suamiku,” sahut Andin dengan manis. “Ini aku senyum ‘kan?” kedua jari telunjuk Andin di tempelkan di pipi sembari melengkungkan sudut bibirnya dengan lebar.“Jangan begitu! Aku jadi geli lihatnya.” Haidar tertawa melihat tingkah istrinya sembari melepas tangan Andin dar