Haidar tampak berpikir, bagaimana caranya kalau sang istri yang senuut-senut. “Ya udahlah, kamu aja yang ngompres.” Haidar naik ke atas tempat tidur. Lalu merebahkan tubuhnya di samping sang istri.
Andin memiringkan tubuhnya menghadap Haidar. “Boo, kamu tidur aja, pasti kamu capek!” titah Andin pada suaminya.
Haidar juga memiringkan tubuh menghadap istrinya. Mereka tidur saling berhadapan.
“Kamu aja yang tidur duluan! Aku nggak capek karena habis mengisap madu istriku ini,” ucap Haidar sambil menjawil dagu istrinya.
“Setelah dapat suntikan vitamin dari kamu, aku jadi lemas,” kata Andin. “Boo, tolong celupkan lagi ke air hangat, anuku sakit kalo bangun.” Andin menyerahkan handuk kecil yang dia ambil dari selangkangannya.
Haidar bangun untuk merendam kembali handuk kecil itu. Setelah memerasnya, ia memberikan handuk itu pa
“Nggak usah ganggu mereka. Mungkin mereka habis bikin adonan, makanya belum bangun,” kata Ayah Rey sambil tertawa pelan. “Kita ‘kan dulu gitu, kalau abis berantem pasti berakhir di ranjang,” imbuhnya sembari mengedipkan satu matanya ke arah sang istri.“Ayah sama Bunda, kebiasaan deh,” protes Aldin pada kedua orang tuanya. “Ayo, Sil, kita berangkat! Aku antar kamu pulang.” Aldin menarik tangan Sisil yang masih duduk di meja makan.Sisil pun bangun dari duduknya. Setelah berpamitan dengan Ayah dan Bunda Aldin, mereka segera pergi.Bunda Anin duduk kembali di kursi di samping sang suami. “Ayah tahu kalau Adek sama Haidar habis berantem?” tanya Bunda pada suaminya.“Ehm …,” jawab Ayah Rey setelah nyeruput kopinya.“Kok Bunda nggak tahu mereka berantem,” kata Bunda Anin. “Cerita don
“Kenapa mereka belum bangun juga?” gumam Bunda Anin saat mereka pulang dari pasar.Bunda Anin dan asisten rumah tangganya baru saja pulang dari pasar. Ia pergi ke pasar setelah menyuapi sang mama. Mereka belanja banyak ikan segar. Bunda Anin ingin memasak ikan bakar untuk menantu kesayangannya.“Bi, tolong siangin ikannya ya! Bumbunya biar saya aja yang buat, setelah itu Bibi ngerjain yang lain aja, saya mau ke kamar Mama dulu.” Bunda Anin pergi ke kamar sang mama untuk mengantarkan jajanan pasar yang mamanya pesan.“Ma … Pa … !” panggil Bunda Anin setelah berada di dalam kamar sang mama, tapi kedua orang tuanya tidak ada. “Mereka ke mana?” gumamnya.Kemudian ia keluar dari kamar orang tuanya untuk mencari mereka di tempat lain, tapi tidak ketemu juga. “Aku telepon Tyas aja kali ya, siapa tahu Mama ke sana,” gumamnya
Haidar mengerjapkan mata, tidurnya terusik karena suara dering ponsel yang terus berdering tanpa henti.“Siapa sih yang nelpon, ganggu aja,” gerutunya sambil mengucek mata yang terasa perih. Tangan kanannya meraba-raba nakas untuk mengambil ponsel. Sementara tangan kirinya digunakan sebagai bantalan kepala sang istri.“Siapa yang nelpon? Angkat aja, mungkin penting,” sahut Andin dengan suaranya yang parau. Matanya masih terpejam, tangannya memeluk erat tubuh sang suami.“Halo,” sapa Haidar dengan suara khas bangun tidur.“Ar!” bentak Papi Mannaf pada Haidar. “Kamu lagi di mana? Kenapa nggak ke kantor? Hari ini ada meeting penting, tapi kamu nggak ngantor tanpa bilang dulu sama Papi,” cerocos Papi Mannaf, memarahi putranya.“Aku lagi bikin cucu buat Papi,” jawab Haidar dengan santainya.Pa
Setelah selesai memasak, Bunda Anin membangunkan anak dan menantunya yang belum keluar kamar sejak semalam sampai siang hari. Ia khawatir mereka kelaparan karena dari pagi belum terisi apa pun.“Dek, bangun! Ini udah siang Sayang. Kalian nggak pada laper?” teriak Bunda Anin sembari mengetuk pintu kamar anaknya. “Ar!” panggil Bunda Anin pada menantunya.“Bee, Bunda manggilin.” Haidar membelai pipi sang istri yang berisi dengan lembut. “Aku buka pintu dulu ya.” Haidar mengangkat kepala istrinya. Lalu ditaruhnya secara perlahan di bantal.Kemudian ia turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamarnya. “Pagi, Bun,” sapanya setelah membuka pintu, sang mertua telah berdiri di depan pintu kamarnya.“Ini udah hampir malam, Ar,” sahut Bunda Anin sembari tersenyum meledek menantunya. “Kalian cepet turun, ini udah waktunya mak
“Aku lihat sebentar ya,” bujuk Haidar. Kemudian ia kembali menyingkap selimut yang menutupi tubuh bagian bawah Andin setelah mendapatkan izin dari istrinya. Ia menatap daerah keramat dengan belahan memanjang ke bawah yang menjadi candu bagi jagoannya itu.Andin membuka kakinya lebar-lebar supaya Haidar bisa melihat dengan jelas tanpa menyentuhnya. Tapi itu malah membuat Haidar sulit menelan ludahnya.“Jangan dibuka terlalu lebar, nanti jagoanku pengin masuk,” sahut Haidar sembari tersenyum. “Udah nggak bengkak kayak semalam, Bee. Mau dikompres lagi nggak?” tanya Haidar pada istrinya setelah melihat daerah keramat sang istri.Andin langsug merapatkan kembali kakinya. “Jagoanmu ikat, mulai sekarang jangan sembarang masuk lubang kalau ia lagi bangun,” kata Andin yang sudah mulai posesif dengan suaminya.“Astaga, Bee. Aku belum pernah masuk lubang lai
“Aargh! Sakit, Boo, tapi nikmat,” ucap Andin saat mendapat serangan mendadak dari suaminya. Bukannya marah, tapi Andin malah mendesah.Haidar tertawa mendengar racauan Andin karena ia meremas-remas bukit kenikmatannya dengan gemas. Tangan Haidar terus bermain di puncak bukit sang istri. Ia memilinnya hingga ujung bukit itu mengeras. Andin menggelinjangkan tubuhnya saat merasakan kenikmatan yang luar biasa.Andin bagaikan kena sengatan listrik, terasa panas di sekujur tubuhnya. Napasnya menderu hebat sambil mengeluarkan desahan-desahan manja.“Boo, boleh aku megang si jagoan?” tanya Andin. Napasnya tersengal-sengal mendapat serangan kenikmatan dari sang suami.“Boleh, Sayang,” sahut Haidar. “Mainkan sesuka kamu biar jagoanku puas,” bisik Haidar di telinga istrinya dengan mesra.Andin berbalik badan, ia duduk menghadap suaminya. Dengan gemas Andin memainkan kepala jagoan suaminya, sesekali ia me
Setelah selesai bercinta, Andin dan Haidar segera membersihkan diri. “Bee, kamu bisa jalan nggak?” tanya Haidar pada istrinya.“Bisa,” jawab Andin. “Tapi, seperti ada yang mengganjal di dalam sini.” Andin menunjuk daerah keramatnya yang sudah tertutup handuk.Haidar tersenyum sambil membelai pipi Andin. Lalu ia membopong sang istri keluar dari kamar mandi.“Boo, aku juga bisa jalan kok,” kata Andin sambil merangkulkan tangannya di leher sang suami.“Supaya benihku cepat tumbuh, kamu jangan sampai kelelahan.” Haidar meyahuti ucapan istrinya sambil tersenyum.“Kalau aku hamil, perutku gendut, badanku tambah melar, apa nanti kamu masih menyukaiku?” tanya Andin dengan serius sambil menatap wajah suaminya.“Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu cantik dan seksi, tapi aku menyukaimu kare
Bunda Anin dan Bi Marni membawa makan siang untuk Andin dan Haidar karena anak dan menantunya itu tidak kunjung turun untuk makan siang.“Maaf, Bunda. Jadi merepotkan,” ucap Haidar. Ia merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan mertuanya.“Kalau kalian sakit malah lebih merepotkan Bunda,” balas Bunda Anin. “Maaf, Bun,” ucap Haidar sembari menundukkan kepalanya.“Bunda maafkan, tapi bikin cucu yang banyak untuk Bunda dan Ayah,” sahut Bunda Anin. Lalu ia dan Bi Marni masuk sambil membawa nampan berisi makan siang untuk Andin dan Haidar. Mereka menaruhnya di meja yang ada di kamar itu.“Siap, Bunda,” jawab Haidar dengan semangat. “Kalau perlu sehari tiga kali aku bikin cucu untuk Bunda,” gumamnya dalam hati sembari menahan senyumnya.Haidar menggaruk kepala bagian belakang. &ldquo