“Kenapa mereka belum bangun juga?” gumam Bunda Anin saat mereka pulang dari pasar.
Bunda Anin dan asisten rumah tangganya baru saja pulang dari pasar. Ia pergi ke pasar setelah menyuapi sang mama. Mereka belanja banyak ikan segar. Bunda Anin ingin memasak ikan bakar untuk menantu kesayangannya.
“Bi, tolong siangin ikannya ya! Bumbunya biar saya aja yang buat, setelah itu Bibi ngerjain yang lain aja, saya mau ke kamar Mama dulu.” Bunda Anin pergi ke kamar sang mama untuk mengantarkan jajanan pasar yang mamanya pesan.
“Ma … Pa … !” panggil Bunda Anin setelah berada di dalam kamar sang mama, tapi kedua orang tuanya tidak ada. “Mereka ke mana?” gumamnya.
Kemudian ia keluar dari kamar orang tuanya untuk mencari mereka di tempat lain, tapi tidak ketemu juga. “Aku telepon Tyas aja kali ya, siapa tahu Mama ke sana,” gumamnya
Haidar mengerjapkan mata, tidurnya terusik karena suara dering ponsel yang terus berdering tanpa henti.“Siapa sih yang nelpon, ganggu aja,” gerutunya sambil mengucek mata yang terasa perih. Tangan kanannya meraba-raba nakas untuk mengambil ponsel. Sementara tangan kirinya digunakan sebagai bantalan kepala sang istri.“Siapa yang nelpon? Angkat aja, mungkin penting,” sahut Andin dengan suaranya yang parau. Matanya masih terpejam, tangannya memeluk erat tubuh sang suami.“Halo,” sapa Haidar dengan suara khas bangun tidur.“Ar!” bentak Papi Mannaf pada Haidar. “Kamu lagi di mana? Kenapa nggak ke kantor? Hari ini ada meeting penting, tapi kamu nggak ngantor tanpa bilang dulu sama Papi,” cerocos Papi Mannaf, memarahi putranya.“Aku lagi bikin cucu buat Papi,” jawab Haidar dengan santainya.Pa
Setelah selesai memasak, Bunda Anin membangunkan anak dan menantunya yang belum keluar kamar sejak semalam sampai siang hari. Ia khawatir mereka kelaparan karena dari pagi belum terisi apa pun.“Dek, bangun! Ini udah siang Sayang. Kalian nggak pada laper?” teriak Bunda Anin sembari mengetuk pintu kamar anaknya. “Ar!” panggil Bunda Anin pada menantunya.“Bee, Bunda manggilin.” Haidar membelai pipi sang istri yang berisi dengan lembut. “Aku buka pintu dulu ya.” Haidar mengangkat kepala istrinya. Lalu ditaruhnya secara perlahan di bantal.Kemudian ia turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamarnya. “Pagi, Bun,” sapanya setelah membuka pintu, sang mertua telah berdiri di depan pintu kamarnya.“Ini udah hampir malam, Ar,” sahut Bunda Anin sembari tersenyum meledek menantunya. “Kalian cepet turun, ini udah waktunya mak
“Aku lihat sebentar ya,” bujuk Haidar. Kemudian ia kembali menyingkap selimut yang menutupi tubuh bagian bawah Andin setelah mendapatkan izin dari istrinya. Ia menatap daerah keramat dengan belahan memanjang ke bawah yang menjadi candu bagi jagoannya itu.Andin membuka kakinya lebar-lebar supaya Haidar bisa melihat dengan jelas tanpa menyentuhnya. Tapi itu malah membuat Haidar sulit menelan ludahnya.“Jangan dibuka terlalu lebar, nanti jagoanku pengin masuk,” sahut Haidar sembari tersenyum. “Udah nggak bengkak kayak semalam, Bee. Mau dikompres lagi nggak?” tanya Haidar pada istrinya setelah melihat daerah keramat sang istri.Andin langsug merapatkan kembali kakinya. “Jagoanmu ikat, mulai sekarang jangan sembarang masuk lubang kalau ia lagi bangun,” kata Andin yang sudah mulai posesif dengan suaminya.“Astaga, Bee. Aku belum pernah masuk lubang lai
“Aargh! Sakit, Boo, tapi nikmat,” ucap Andin saat mendapat serangan mendadak dari suaminya. Bukannya marah, tapi Andin malah mendesah.Haidar tertawa mendengar racauan Andin karena ia meremas-remas bukit kenikmatannya dengan gemas. Tangan Haidar terus bermain di puncak bukit sang istri. Ia memilinnya hingga ujung bukit itu mengeras. Andin menggelinjangkan tubuhnya saat merasakan kenikmatan yang luar biasa.Andin bagaikan kena sengatan listrik, terasa panas di sekujur tubuhnya. Napasnya menderu hebat sambil mengeluarkan desahan-desahan manja.“Boo, boleh aku megang si jagoan?” tanya Andin. Napasnya tersengal-sengal mendapat serangan kenikmatan dari sang suami.“Boleh, Sayang,” sahut Haidar. “Mainkan sesuka kamu biar jagoanku puas,” bisik Haidar di telinga istrinya dengan mesra.Andin berbalik badan, ia duduk menghadap suaminya. Dengan gemas Andin memainkan kepala jagoan suaminya, sesekali ia me
Setelah selesai bercinta, Andin dan Haidar segera membersihkan diri. “Bee, kamu bisa jalan nggak?” tanya Haidar pada istrinya.“Bisa,” jawab Andin. “Tapi, seperti ada yang mengganjal di dalam sini.” Andin menunjuk daerah keramatnya yang sudah tertutup handuk.Haidar tersenyum sambil membelai pipi Andin. Lalu ia membopong sang istri keluar dari kamar mandi.“Boo, aku juga bisa jalan kok,” kata Andin sambil merangkulkan tangannya di leher sang suami.“Supaya benihku cepat tumbuh, kamu jangan sampai kelelahan.” Haidar meyahuti ucapan istrinya sambil tersenyum.“Kalau aku hamil, perutku gendut, badanku tambah melar, apa nanti kamu masih menyukaiku?” tanya Andin dengan serius sambil menatap wajah suaminya.“Aku menyukaimu bukan hanya karena kamu cantik dan seksi, tapi aku menyukaimu kare
Bunda Anin dan Bi Marni membawa makan siang untuk Andin dan Haidar karena anak dan menantunya itu tidak kunjung turun untuk makan siang.“Maaf, Bunda. Jadi merepotkan,” ucap Haidar. Ia merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan mertuanya.“Kalau kalian sakit malah lebih merepotkan Bunda,” balas Bunda Anin. “Maaf, Bun,” ucap Haidar sembari menundukkan kepalanya.“Bunda maafkan, tapi bikin cucu yang banyak untuk Bunda dan Ayah,” sahut Bunda Anin. Lalu ia dan Bi Marni masuk sambil membawa nampan berisi makan siang untuk Andin dan Haidar. Mereka menaruhnya di meja yang ada di kamar itu.“Siap, Bunda,” jawab Haidar dengan semangat. “Kalau perlu sehari tiga kali aku bikin cucu untuk Bunda,” gumamnya dalam hati sembari menahan senyumnya.Haidar menggaruk kepala bagian belakang. &ldquo
Andin menerima uluran tangan suaminya, ia turun dengan hati-hati karena bagian pusat intinya masih terasa perih. “Aku keceplosan,” sahut Andin sembari menyeringai setelah ia duduk di sofa yang ada deket jendela. Di depannya sudah tersedia banyak makanan yang bundanya bawakan.Andin dan Haidar makan dengan lahapnya. “Masakan Bunda sama enaknya dengan masakan kamu,” kata Haidar setelah mengelap mulutnya dengan tisu.Mereka seperti orang kelaparan, makanan yang dibawakan sang bunda ludes seketika. Maklum saja mereka habis bertempur dari malam sampai siang hari. Tenaga mereka sudah terkuras habis akibat pertempuran itu.“Boo, aku ngantuk,” kata Andin setelah menghabiskan semua makan siangnya.“Jangan tidur sehabis makan!” sahut Haidar pada sang istri.“Ta-Ucapan Andin terpotong saat pintu kamar terbuka tiba-t
Sisil mendekati Andin, ia duduk di samping sahabatnya itu. Sisil memerhatikan tubuh perempuan yang sudah seperti saudara baginya dengan teliti.“Widih … tato lo keren banget, Din,” ledek Sisil sambil menyingkap baju bagian atas sahabatnya. “Di dalam lebih banyak lagi motifnya,” kata Sisil sambil tertawa pelan.“Lo, apa-apan sih!” Andin menepis tangan Sisil. “Ntar lo pengin ditato kayak gini juga,” kata Andin sembari mengangkat bajunya supaya sedikit menutupi dada bagian atas.Tidak sampai di situ saja. Sisil pun meyibakkan rambut Andin yang tergerai menghalangi leher bagian sambing.“Bujug busyet!” Sisil menggelengkan kepala melihat stempel kepemilikan di leher sahabatnya. “Ternyata Bang Ar ahli membuat tato,” ucapnya sambil manggut-manggut.“Badan gue jadi bermotif kayak batik,” kata Andin