"Sensor woi ... sensor! Ada anak di bawah umur ini," protes Sisil pada sahabat dan suaminya yang berciuman tepat di depan matanya.
Haidar melepas ciumannya, lalu menatap wajah sang istri sambil berkata, "Aku akan sangat merindukanmu," ucapnya. Ia tidak menanggapi ocehan Sisil yang sejak ia berciuman terus saja meneriakinya.
'Yah gue nggak dianggap," ucap Sisil dalam hatinya.
'Ya elah punya menantu lebay amat, cuma nggak ketemu beberapa hari aja udah kayak mau pergi bertahun-tahun,' cibir Bunda Anin pada menantunya.
Setelah ciuman panas itu, mereka pergi ke bandara diantar oleh Haidar. Disepanjang perjalanan tangannya tidak pernah melepas jemari lentik milik sang istri.
"Boo, kamu kenapa sih? Aku 'kan pergi cuma beberapa hari doang, lusa juga kamu nyusulin aku 'kan?" tanya Andin pada Haidar saat laki-laki itu tak henti-hentinya menciumi jemari sang istri.
"Aku nggak mau jauh darimu, walau hanya dua hari," jawab Haidar sambil menatap waj
"Bee, kamu hati-hati ya!" Haidar mencium kening sang istri dengan lembut. Tidak lupa mencium kedua anak kembarnya,"Daddy akan merindukan kalian," ucapnya sambil membelai lembut pipi sang anak yang terlihat sangat menggemaskan."Bunda, saya titip Andin dan anak-anak ya. Tolong jaga wanita cantik itu untuk saya!" ucapnya setelah menyalami sang mertua."Kamu tenang aja, nanti istrimu Bunda ikat dengan rantai," jawab Bunda Anin sambil tertawa pelan."Dikira aku si Doggy," gumam Andin sambil mendelikkan matanya pada sang bunda.Haidar dan lainnya tertawa mendengar ucapan sang mertua. "Sil, titip mereka ya!" kata Haidar sebelum pergi meninggalkan bandara."Siap, Bang!" jawab Sisil dengan tegas.Haidar pun segera pergi ke kantor. Ia yakin ada yang penting hingga asistennya menelpon berkali-kali."Cepatlah!" titah Haidar kepada sang pengawal yang sedang mengemudikan mobilnya."Baik, Tuan!"Haidar merogoh ponselnya un
Laki-laki tampan bertubuh tegap dengan dibalut setelan jas berwarna hitam, dipadukan kemeja berwarna putih berjalan menghampiri sang tamu.Ia duduk di samping Baron sambil menumpangkan kakinya, menyandarkan tubuh di sandaran sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sorot matanya tajam menatap dua orang manusia yang duduk di hadapannya."Ada apa kalian ke sini? Mau melamar kerja?" tanya Haidar sembari mengangkat satu sudut bibirnya mengejek dua laki-laki yang memakai setelan jas berwarna serba hitam.Ardi bangun dari duduknya, "Kurang ajar kamu manusia serakah! Perusahaan ini milik keluarga Mannaf, aku juga berhak atas semua ini!"Ardi terlihat sangat emosi, amarahnya membludak saat Haidar merendahkannya. Sedangkan Haidar duduk begitu tenang sambil tersenyum."Kamu benar!" sahut Haidar, "Ini perusahaan keluarga Mannaf, aku lah pewaris tunggal kekayaan keluarga Mannaf," jawab Haidar dengan sangat tenang."Aku juga bagian dari kelu
"Aku nggak bisa diam terus seperti ini sementara orang yang aku cintai sedang bersama dengan orang jahat," gumam Tari sambil meremas-remas jemarinya."Aku harus melihat suamiku." Tari membuka kunci pintu ruang kerja sang suami, lalu melongok melihat keadaan sekitar.Para pengawal Haidar berjaga di depan pintu ruang kerja sang CEO. Tari semakin yakin kalau suaminya dalam bahaya."Banyak pengawal di depan pintu, bagaimana caranya aku masuk?" Tari berpikir keras mencari alasan supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.Ia mondar-mandir sambil memijat batang hidungnya, "Kenapa otakku menjadi buntu di saat begini," gumamnya yang belum juga mendapatkan alasan yang kuat supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.Setelah beberapa menit, akhirnya ia mendapatkan cara supaya bisa masuk dengan mulus ke dalam ruangan yang dijaga ketat para pengawal Haidar.Tari melangkah keluar dari ruang kerja sang suami setelah mendapatkan ide. Ia berjalan cepa
Haidar menunggu Tari di depan ruang IGD dengan gelisah. Ia khawatir terjadi sesuatu yang fatal terhadap sekretarisnya. Jika itu terjadi, ia akan merasa sangat bersalah.Haidar mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki yang berlari ke arahnya. Dia adalah Baron, sang asisten yang datang dengan penampilan yang kacau. Kemeja putih dan tangannya sudah berlumur darah, membuat Haidar berpikir kalau sang asisten telah membunuh orang.“Tuan, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Baron dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlari.“Saya belum tahu,” jawab Baron, “Sejak tadi belum ada Dokter yang keluar dari ruangan ini.”Haidar tidak berani bertanya tentang keadaan di kantor, ia tahu kalau sang asisten begitu terpukul dengan musibah yang terjadi pada istrinya.Baron dan Haidar menunggu sambil mondar-mandir dengan gelisah. Kedua laki-laki itu mempunyai pikiran yang sama dan kekhawatiran yang sama pula dengan s
Kini Tari sudah dipindah ke ruang perawatan, tapi sekretaris cantik itu belum sadarkan diri. Ia masih tertidur akibat pengaruh dari obat yang diminumnya."Tuan, terima kasih sudah menolong istri saya," ucap Baron dengan tulus, "Sebaiknya Tuan pulang saja, pakaian Tuan penuh dengan noda darah."Mendengar ucapan Baron, ia jadi teringat dengan nasib Ardi dan temannya.Haidar menegakkan tubuhnya, "Baron, bagaimana keadaan Ardi?" tanya Haidar kepada asistennya."Dia dibawa ke rumah sakit sebelum dibawa ke kantor polisi," jawab Baron, "Maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa mengendalikan diri, hingga Tuan Ardi babak belur, kalau pengawal tidak cepat masuk mungkin dia sudah tewas di tangan saya."Baron menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah karena telah melukai sepupu bos-nya. Saat itu dia benar-benar kalap kepada laki-laki yang telah melukai istrinya."Saya tidak peduli dengannya," sahut Haidar, "Saya hanya khawatir kalau kamu membunuh
Baron menggenggam jemari tangan sang istri, mengusap-usapnya dengan lembut. "Sayang, maafkan saya, tidak bisa menjagamu," ucapnya . Lalu, mencium tangan istrinya dengan lembut.Baron bangun dan berdiri, saat ia hendak mencium kening sang istri terdengar suara ketukan pintu. Ia berjalan mendekat untuk membukakan pintu."Nak! Kamu kenapa?" Bu Rumi terkejut saat melihat pakaian sang menantu banyak noda darah."Saya tidak apa-apa, Bu," jawab Baron "Mari Bu, Pak, silakan masuk!" Baron mempersilakan mertuanya untuk masuk terlebih dulu, dan mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Silakan duduk!" ucapnya dengan sopan."Ini pakaianmu, Nak, ganti dulu bajumu!" Bu Rumi menyerahkan paperbag berwarna hitam kepada sang menantu sebelum duduk."Terima kasih," ucap Baron sambil menerima paperbag, "Maafkan saya tidak bisa menjaga Tari!" Baron membungkukkan badannya di hadapan sang mertua."Sudahlah, Nak! Kamu jangan menyalahkan diri kamu, in
Andin tidak bisa tenang sebelum mendengar suara suaminya. Apalagi ia juga tahu kalau istri Baron jadi korban penusukan itu."Siapkan semuanya, kita ke Jakarta sekarang!" titah Andin pada pengawalnya.Ibu dua anak itu bergegas pulang. "Ra, aku pulang dulu! Masalah ini kita bahas besok!" pamit Andin pada manager Diras Kafe"Siap, Bos," sahut Ira.Andin segera pulang ke rumah untuk meminta izin pada sang bunda. "Bagaimana? Apa kita bisa pulang secepatnya?" tanya Andin pada pengawalnya saat sudah berada di dalam mobil, menuju rumah.Setelah beberapa menit, mobil mewah itu sampai di depan rumah Nenek Marisa. Andin langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya."Bunda, aku balik ke Jakarta ya, titip anak-anak. Mungkin besok pagi aku baru balik lagi ke sini," kata Andin setelah mencium pipi anak-anaknya."Apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat panik seperti itu?" tanya sang bunda yang belum tahu apa-apa."Ada k
Perlahan Tari membuka matanya, ia menoleh pada Andin dan tersenyum. “Mbak,” ucapnya pelan.“Mbak Tari mau minum?” tanya Andin pada istri dari asisten suaminya.Tari menganggukkan kepalanya perlahan, “Iya,” jawabnya.Andin mengambilkan air minum yang ada di atas nakas, lalu membantu Tari minum memakai sedotan.“Terima kasih, Mbak Andin,” ucap Tari sambil tersenyum, “Mbak bukannya ada di Bandung ya?” tanya Tari kepada istri sang bos.“Aku baru sampai,” jawab Andin, “Mbak Tari, maafkan kami ya, gara-gara masalah keluarga Mannaf, Mbak Tari jadi korban,” ucapnya dengan tulus sambil menggenggam jemari tangan Tari.“Harusnya saya yang minta maaf, tidak mengikuti perintah Tuan Haidar. Padahal setiap perintahnya pasti demi kebaikan. Termasuk dijodohkan dengan Tuan Baron. Saat itu saya bersyukur mengikuti perintahnya, Saya janji, mulai saat ini apa pun yang terja