Haidar dan Baron kembali bekerja di ruangannya masing-masing.
"Halo, Bee. Nanti aku pulang telat ya. Kerjaanku masih banyak," kata Haidar melalui sambungan telepon.
"Iya, nggak apa-apa," jawab Andin singkat, "Semangat, Suamiku!" seru ibu muda itu sebelum memutus panggilan teleponnya.
"Kenapa udah ditutup aja? Sedang apa dia?" tanya Haidar sambil menatap layar ponsel yang menampakkan foto kedua jagoannya. "Ah sudah lah, mungkin dia sibuk dengan anak-anak."
Haidar memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jas berwarna abu tua. Ia melanjutkan kembali pekerjaannya yang sudah menumpuk.
Tiga orang di ruangan itu begitu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, hingga ia tidak sadar kalau langit sudah menggelap.
Haidar meregangkan otot-ototnya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya.
Ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Astaga! Aku sampai tidak sadar kalau sudah malam."
Laki-laki it
"Abang benar," sahut Tari, "Dulu sempat ingin menolak perjodohan itu, tapi takut dipecat. Dalam hatiku yang benar saja aku dijodohkan dengan es balok yang tiap hari selalu memerintahku seenaknya termasuk mengatur hal pribadiku juga, tapi ternyata Tuan menjodohkan aku dengan laki-laki yang begitu baik, Pangeran yang sudah aku tunggu-tunggu selama bertahun-tahun."Tari melingkarkan tangannya di pinggang sang suami, memeluknya dengan erat tubuh kekar itu. "Aku mencintaimu, Suamiku. Sungguh aku tergila-gila padamu. Jangan pernah berubah, dan jangan tinggalkan aku!"Baron memeluk istrinya sambil tersenyum, 'Sepertinya dia lupa kalau sedang marah pada saya,' ucapnya dalam hati.Baron menangkup wajah istrinya, lalu mengecup kening, pipi, dagu, dan hidung lancip wanita cantik itu berkali-kali. "Saya juga sangat mencintaimu, saya tidak akan meninggalkan kalian," ucapnya."Yah basah dah," ucap Tari sambil mengusap wajahnya yang dicium berkali-kali oleh sang suami.
"Bee, kamu dari mana?" tanya Haidar pada sang istri saat ia keluar dari mobil, ternyata Andin juga baru pulang. Entah dari mana, Haidar tidak mengetahuinya."Aku dari rumah Ayah," jawab Andin sambil tersenyum, "Maaf ya, aku nggak bilang dulu sama kamu. Aku takut mengganggu kerjaanmu." Andin melingkarkan tangannya di lengan kekar sang suami yang terbalut jas berwarna hitam."Tidak apa-apa, Bee," kata Haidar sambil mengusap-usap lengan istrinya.Sebenarnya Haidar sudah mengira kalau sang istri juga ikut andil dalam akuisisi perusahaan yang membantu Ardi."Boo, Besok aku pergi ke Bandung. Ada masalah di kafe jadi aku harus mengurusnya. Aku bawa anak-anak ya," izin Andin pada suaminya, "Bunda juga ikut ke sana kok.""Kamu berapa hari di sana?" tanya Haidar pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya."Seminggu," jawab Andin sembari tersenyum. "Pulangnya setelah resepsi pernikahan sahabatku.""Haidar menghentikan langkah kakinya. Ia men
"Apa mau dilanjut?" bisik Haidar di telinga sang istri.Andin menganggukkan kepalanya perlahan. "Apa kamu tidak capek mijitin aku? Kamu juga 'kan abis kerja?" tanya Andin pada laki-laki yang sedang memijat bahu dan punggung sang istri."Nggak apa-apa, Bee," jawab Haidar sambil terus memijat bahu istrinya, "Kamu lebih capek karena harus mengurus dua juniorku.""Beruntungnya aku menikah dengan Brondong alot," ucap Andin sambil menyandarkan kepalanya pada dada bidang sang suami.Kini Haidar memijat pelipis sang istri dengan lembut. "Sekali-sekali pergi lah ke salon! Manjakan tubuhmu, jangan terlalu fokus pada anak-anak. Kalau kamu sering kelelahan seperti gini, nanti kamu sakit, aku nggak mau bidadari mesumku sakit.""Hmm ... pijatanmu lebih enak dari pijatan orang lain," kata Andin pelan sembari memejamkan mata.Sebenarnya ia tidak terlalu suka berlama-lama di salon. Ia lebih suka dipijat oleh pelayan Bi Marni, salah satu pelayan d
Andin mengangguk sambil tersenyum. "Kenapa kamu bertanya dulu, biasanya juga main hajar aja." "Kamu 'kan lagi capek," sahut Haidar sambil terus berjalan menuju kamarnya. "Iya sih, tapi kalau kamu mau, aku nggak bisa menolak, Boo," kata Andin sambil mengeratkan pelukannya. Sadar dengan berat tubuhnya yang semakin melebar, ia khawatir sang suami tidak kuat membopongnya saat menapaki anak tangga. "Tenang aja, Bee," kata Haidar sambil terkekeh melihat raut wajah istrinya yang terlihat takut terjatuh. "Kamu takut jatuh ya?" "Jatuh di pelukanmu itu sangat nikmat, tapi kalau jatuh di tangga nikmatnya beda," balas Andin sambil terkekeh. Andin memutar kenop pintu dan mendorongnya dengan perlahan, lalu menguncinya setelah mereka masuk. Haidar menurunkan sang istri di tempat tidur. Sang istri terlihat sangat mengantuk, ia jadi tidak tega mengganggunya. "Ini udah larut, ayo kita tidur! Besok pagi-pagi sekali kamu harus berangkat 'k
Tari menjambak rambut sang suami, membenamkan semakin dalam wajah laki-laki yang telah menikahinya itu. Bahkan ia menjepit kepala Baron saat laki-laki itu menyesapi lahan garapannya dengan buas.Baron semakin bringas saat mendengar desahan istrinya. Laki-laki itu seakan tidak peduli dengan erangan wanita cantiknya.Semakin Tari bereaksi, dirinya akan semakin liar beraksi. Tidak sampai di situ, laki-laki itu malah mengganjal bemper sang istri dengan bantal supaya lidahnya lebih leluasa lagi mengobok-obok lubang keramat sang istri.Setelah merasa puas menyedot madu dari lubang keramat itu, ia bangun, lalu mengangkat kedua kaki sang istri dan menaruhnya di pundaknya.Ia segera memasukan senjata keperkasaannya, dan menggerakkannya maju mundur. Gunung kembar sang istri berayun naik turun seiring dengan hentakkan pinggul Baron.Tari menggigit bibir bawahnya, tangannya meremas sprei yang sudah acak-acakan. Tempat tidur itu sudah sangat berantakan.
Tari mengangguk sambil tersenyum. Baron pun membantu sang istri bangun setelah ia turun dari tubuh seksi sang istri."Sayang, apa ini kamu sakit?" tanya Baron pada Tari sambil mengusap lahan gundul itu dengan telapak tangannya.Tari menggeleng cepat sambil menepis tangan suaminya, "Mungkin karena sudah terbiasa, sekarang nggak sakit lagi, cuma perih sedikit kalau buang air kecil," jawab Tari dengan pelan. Ia masih merasa malu menjawab pertanyaan suaminya."Kenapa? Apa hanya lidahku saja yang boleh menyentuh ini?" tanya Baron sambil menggendong Tari dan membawanya ke kamar mandi.Baron menurunkan sang istri di bawah pancuran shower. Lalu memutar kran hingga tubuh mereka tersiram air yang menyembur dari shower."Abang, aku ingin memuaskanmu ... apa boleh?" tanya Tari sambil mengusap wajahnya yang tersiram air."Saya tidak mendengarnya," sahut Baron.Tari merangkulkan tangannya di leher sang suami, lalu berjinjit dan berbicara dengan ker
Andin membuka mata, memicingkan mata menatap jam dinding di kamarnya. "Nggak salah tuh?" Wanita cantik itu mengucek matanya untuk memperjelas penglihatan. Barangkali penglihatannya salah karena baru saja membuka matanya. Ternyata jarum jam itu tetap sama. Lalu, ia mengambil ponselnya, mungkin jam dindingnya yang ngawur. "Sama," kata Andin. Ia pun segera turun dari tempat tidurnya, bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia keluar setelah beberapa menit setelah berada di dalam kamar mandi. Andin segera masuk ke ruang ganti, lalu segera berpakaian. Setelah itu ia kembali menghampiri suaminya. "Boo, bangun!" Andin mencium pipi sang suami dengan mesra. "Kamu kerja nggak, Boo?" tanya Andin pada suaminya. "Hmm ... sekarang jam berapa?" tanya Haidar dengan suara khas bangun tidur. Suara laki-laki tampan itu terdengar sangat seksi di telinganya. "Sudah jam delapan, Suamiku," bisik Andin sambil menggigit daun telinga suamin
"Sensor woi ... sensor! Ada anak di bawah umur ini," protes Sisil pada sahabat dan suaminya yang berciuman tepat di depan matanya.Haidar melepas ciumannya, lalu menatap wajah sang istri sambil berkata, "Aku akan sangat merindukanmu," ucapnya. Ia tidak menanggapi ocehan Sisil yang sejak ia berciuman terus saja meneriakinya.'Yah gue nggak dianggap," ucap Sisil dalam hatinya.'Ya elah punya menantu lebay amat, cuma nggak ketemu beberapa hari aja udah kayak mau pergi bertahun-tahun,' cibir Bunda Anin pada menantunya.Setelah ciuman panas itu, mereka pergi ke bandara diantar oleh Haidar. Disepanjang perjalanan tangannya tidak pernah melepas jemari lentik milik sang istri."Boo, kamu kenapa sih? Aku 'kan pergi cuma beberapa hari doang, lusa juga kamu nyusulin aku 'kan?" tanya Andin pada Haidar saat laki-laki itu tak henti-hentinya menciumi jemari sang istri."Aku nggak mau jauh darimu, walau hanya dua hari," jawab Haidar sambil menatap waj