Tari menjambak rambut sang suami, membenamkan semakin dalam wajah laki-laki yang telah menikahinya itu. Bahkan ia menjepit kepala Baron saat laki-laki itu menyesapi lahan garapannya dengan buas.
Baron semakin bringas saat mendengar desahan istrinya. Laki-laki itu seakan tidak peduli dengan erangan wanita cantiknya.
Semakin Tari bereaksi, dirinya akan semakin liar beraksi. Tidak sampai di situ, laki-laki itu malah mengganjal bemper sang istri dengan bantal supaya lidahnya lebih leluasa lagi mengobok-obok lubang keramat sang istri.
Setelah merasa puas menyedot madu dari lubang keramat itu, ia bangun, lalu mengangkat kedua kaki sang istri dan menaruhnya di pundaknya.
Ia segera memasukan senjata keperkasaannya, dan menggerakkannya maju mundur. Gunung kembar sang istri berayun naik turun seiring dengan hentakkan pinggul Baron.
Tari menggigit bibir bawahnya, tangannya meremas sprei yang sudah acak-acakan. Tempat tidur itu sudah sangat berantakan.
Tari mengangguk sambil tersenyum. Baron pun membantu sang istri bangun setelah ia turun dari tubuh seksi sang istri."Sayang, apa ini kamu sakit?" tanya Baron pada Tari sambil mengusap lahan gundul itu dengan telapak tangannya.Tari menggeleng cepat sambil menepis tangan suaminya, "Mungkin karena sudah terbiasa, sekarang nggak sakit lagi, cuma perih sedikit kalau buang air kecil," jawab Tari dengan pelan. Ia masih merasa malu menjawab pertanyaan suaminya."Kenapa? Apa hanya lidahku saja yang boleh menyentuh ini?" tanya Baron sambil menggendong Tari dan membawanya ke kamar mandi.Baron menurunkan sang istri di bawah pancuran shower. Lalu memutar kran hingga tubuh mereka tersiram air yang menyembur dari shower."Abang, aku ingin memuaskanmu ... apa boleh?" tanya Tari sambil mengusap wajahnya yang tersiram air."Saya tidak mendengarnya," sahut Baron.Tari merangkulkan tangannya di leher sang suami, lalu berjinjit dan berbicara dengan ker
Andin membuka mata, memicingkan mata menatap jam dinding di kamarnya. "Nggak salah tuh?" Wanita cantik itu mengucek matanya untuk memperjelas penglihatan. Barangkali penglihatannya salah karena baru saja membuka matanya. Ternyata jarum jam itu tetap sama. Lalu, ia mengambil ponselnya, mungkin jam dindingnya yang ngawur. "Sama," kata Andin. Ia pun segera turun dari tempat tidurnya, bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia keluar setelah beberapa menit setelah berada di dalam kamar mandi. Andin segera masuk ke ruang ganti, lalu segera berpakaian. Setelah itu ia kembali menghampiri suaminya. "Boo, bangun!" Andin mencium pipi sang suami dengan mesra. "Kamu kerja nggak, Boo?" tanya Andin pada suaminya. "Hmm ... sekarang jam berapa?" tanya Haidar dengan suara khas bangun tidur. Suara laki-laki tampan itu terdengar sangat seksi di telinganya. "Sudah jam delapan, Suamiku," bisik Andin sambil menggigit daun telinga suamin
"Sensor woi ... sensor! Ada anak di bawah umur ini," protes Sisil pada sahabat dan suaminya yang berciuman tepat di depan matanya.Haidar melepas ciumannya, lalu menatap wajah sang istri sambil berkata, "Aku akan sangat merindukanmu," ucapnya. Ia tidak menanggapi ocehan Sisil yang sejak ia berciuman terus saja meneriakinya.'Yah gue nggak dianggap," ucap Sisil dalam hatinya.'Ya elah punya menantu lebay amat, cuma nggak ketemu beberapa hari aja udah kayak mau pergi bertahun-tahun,' cibir Bunda Anin pada menantunya.Setelah ciuman panas itu, mereka pergi ke bandara diantar oleh Haidar. Disepanjang perjalanan tangannya tidak pernah melepas jemari lentik milik sang istri."Boo, kamu kenapa sih? Aku 'kan pergi cuma beberapa hari doang, lusa juga kamu nyusulin aku 'kan?" tanya Andin pada Haidar saat laki-laki itu tak henti-hentinya menciumi jemari sang istri."Aku nggak mau jauh darimu, walau hanya dua hari," jawab Haidar sambil menatap waj
"Bee, kamu hati-hati ya!" Haidar mencium kening sang istri dengan lembut. Tidak lupa mencium kedua anak kembarnya,"Daddy akan merindukan kalian," ucapnya sambil membelai lembut pipi sang anak yang terlihat sangat menggemaskan."Bunda, saya titip Andin dan anak-anak ya. Tolong jaga wanita cantik itu untuk saya!" ucapnya setelah menyalami sang mertua."Kamu tenang aja, nanti istrimu Bunda ikat dengan rantai," jawab Bunda Anin sambil tertawa pelan."Dikira aku si Doggy," gumam Andin sambil mendelikkan matanya pada sang bunda.Haidar dan lainnya tertawa mendengar ucapan sang mertua. "Sil, titip mereka ya!" kata Haidar sebelum pergi meninggalkan bandara."Siap, Bang!" jawab Sisil dengan tegas.Haidar pun segera pergi ke kantor. Ia yakin ada yang penting hingga asistennya menelpon berkali-kali."Cepatlah!" titah Haidar kepada sang pengawal yang sedang mengemudikan mobilnya."Baik, Tuan!"Haidar merogoh ponselnya un
Laki-laki tampan bertubuh tegap dengan dibalut setelan jas berwarna hitam, dipadukan kemeja berwarna putih berjalan menghampiri sang tamu.Ia duduk di samping Baron sambil menumpangkan kakinya, menyandarkan tubuh di sandaran sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sorot matanya tajam menatap dua orang manusia yang duduk di hadapannya."Ada apa kalian ke sini? Mau melamar kerja?" tanya Haidar sembari mengangkat satu sudut bibirnya mengejek dua laki-laki yang memakai setelan jas berwarna serba hitam.Ardi bangun dari duduknya, "Kurang ajar kamu manusia serakah! Perusahaan ini milik keluarga Mannaf, aku juga berhak atas semua ini!"Ardi terlihat sangat emosi, amarahnya membludak saat Haidar merendahkannya. Sedangkan Haidar duduk begitu tenang sambil tersenyum."Kamu benar!" sahut Haidar, "Ini perusahaan keluarga Mannaf, aku lah pewaris tunggal kekayaan keluarga Mannaf," jawab Haidar dengan sangat tenang."Aku juga bagian dari kelu
"Aku nggak bisa diam terus seperti ini sementara orang yang aku cintai sedang bersama dengan orang jahat," gumam Tari sambil meremas-remas jemarinya."Aku harus melihat suamiku." Tari membuka kunci pintu ruang kerja sang suami, lalu melongok melihat keadaan sekitar.Para pengawal Haidar berjaga di depan pintu ruang kerja sang CEO. Tari semakin yakin kalau suaminya dalam bahaya."Banyak pengawal di depan pintu, bagaimana caranya aku masuk?" Tari berpikir keras mencari alasan supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.Ia mondar-mandir sambil memijat batang hidungnya, "Kenapa otakku menjadi buntu di saat begini," gumamnya yang belum juga mendapatkan alasan yang kuat supaya ia bisa masuk ke dalam ruangan bos-nya.Setelah beberapa menit, akhirnya ia mendapatkan cara supaya bisa masuk dengan mulus ke dalam ruangan yang dijaga ketat para pengawal Haidar.Tari melangkah keluar dari ruang kerja sang suami setelah mendapatkan ide. Ia berjalan cepa
Haidar menunggu Tari di depan ruang IGD dengan gelisah. Ia khawatir terjadi sesuatu yang fatal terhadap sekretarisnya. Jika itu terjadi, ia akan merasa sangat bersalah.Haidar mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki yang berlari ke arahnya. Dia adalah Baron, sang asisten yang datang dengan penampilan yang kacau. Kemeja putih dan tangannya sudah berlumur darah, membuat Haidar berpikir kalau sang asisten telah membunuh orang.“Tuan, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Baron dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlari.“Saya belum tahu,” jawab Baron, “Sejak tadi belum ada Dokter yang keluar dari ruangan ini.”Haidar tidak berani bertanya tentang keadaan di kantor, ia tahu kalau sang asisten begitu terpukul dengan musibah yang terjadi pada istrinya.Baron dan Haidar menunggu sambil mondar-mandir dengan gelisah. Kedua laki-laki itu mempunyai pikiran yang sama dan kekhawatiran yang sama pula dengan s
Kini Tari sudah dipindah ke ruang perawatan, tapi sekretaris cantik itu belum sadarkan diri. Ia masih tertidur akibat pengaruh dari obat yang diminumnya."Tuan, terima kasih sudah menolong istri saya," ucap Baron dengan tulus, "Sebaiknya Tuan pulang saja, pakaian Tuan penuh dengan noda darah."Mendengar ucapan Baron, ia jadi teringat dengan nasib Ardi dan temannya.Haidar menegakkan tubuhnya, "Baron, bagaimana keadaan Ardi?" tanya Haidar kepada asistennya."Dia dibawa ke rumah sakit sebelum dibawa ke kantor polisi," jawab Baron, "Maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa mengendalikan diri, hingga Tuan Ardi babak belur, kalau pengawal tidak cepat masuk mungkin dia sudah tewas di tangan saya."Baron menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah karena telah melukai sepupu bos-nya. Saat itu dia benar-benar kalap kepada laki-laki yang telah melukai istrinya."Saya tidak peduli dengannya," sahut Haidar, "Saya hanya khawatir kalau kamu membunuh
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha