Tari menyemburkan kopi dari dalam mulutnya kepada Baron yang duduk behadapan dengannya. Ia terkejut mendengar suara tuannya yang tiba-tiba berdiri di belakang Baron tanpa disadari oleh kedua anak manusia itu.
“Maaf, Tuan.” Entah untuk siapa kata maaf itu ia ucapkan, yang pasti ia merasa bersalah kepada dua laki-laki yang berada di hadapannya. “Maafkan saya, Tuan!”
Haidar terbahak-bahak melihat pertunjukkan dari calon pengantin itu. “Kalian benar-benar serasi,” ucapnya sembari melipat tangannya di depan dada.
Baron langsung bangun dari duduknya, menundukkan kepala di hadapan laki-laki yang mempunyai kekuasaan penuh di kantor itu. “Tuan, maafkan kami,” ucapnya dengan tulus.
“Kalian harus dihukum!” ucap Haidar dengan tegas. Baron sudah biasa dengan sikap tuannya yang seperti itu, ia tahu tuannya bukan orang yang kejam, tapi bagi Tari dia adalah
Andin menutupi kemaluan dan bukit kembarnya dengan tangan. “Boo, kamu apa-apaan sih?” protes Andin sembari berlari ke tempat tidur. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang yang polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.“Kamu benar-benar terlihat seksi, Bee,” puji Haidar sembari tersenyum. Lalu ia berjalan menuju pintu kamar, dan menguncinya.Haidar membuka jas dan dasinya. Lalu, melemparkannya ke sembarang tempat. “Bee, aku sangat merindukanmu.” Haidar membopong ibu dua anak itu dan merebahkannya di tempat tidur.“Boo, kalau anak-anak nangis gimana?” Andin masih menyelimuti tubuhnya yang semok dengan selimut.“Udah ada Bibi, kamu jangan khawatir!” ucap Haidar sembari membuka kancing kemejanya satu persatu. “Bee, tolong bukain dong!” pinta Haidar yang masih berdiri di samping tempat tidur.
Andin ter kejut melihat sang jagoan suaminya. “Boo, kenapa dia jadi bongsor kayak gitu?” tanya Andin sembari mengedikkan bahunya.“Nggak aku apa-apakan, dari dulu juga emang segini, mungkin kamunya aja yang udah lama nggak lihat jadi lupa,” tutur Haidar.Dengan raut wajah yang bingung ia memerhatikan jagoannya dengan seksama, tidak ada yang berubah menurutnya. ‘Baru dua bulan saja dia udah lupa dengna jagoanku,’ batin Haidar.“Kok aku jadi ngeri ya,” ucap Andin. “Bee, kalau kamu belum siap, aku nggak akan memaksa,” balas Haidar sembari tersenyum. Lalu, ia pergi ke bawah pancuran shower.“Boo!” Andin mengikuti suaminya yang dia kira marah karena ia terkesan menolaknya. “Aku siap kok, tapi jangan di sini!” Andin memeluk suaminya dari belakang.Haidar membalikkan tub
“Menikah?” Andin memiringkan badannya ke kiri hingga berhadapan dengan suaminya. “Sejak kapan mereka pacaran?”Andin begitu penasaran dengan asisten suaminya itu. Orang kepercayaan keluarga Mannaf yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemani Haidar.“Aku melamar Tari tadi pagi,” ucap Haidar yang belum selesai berbicara, tapi sudah disela oleh istrinya.Andin menampar pipi suaminya dengan sangat kencang. Lalu, bangun dan terduduk. Tamparan yang sangat kuat sebab dirinya sedang emosi tingkat dewa mendengar sang suami melamar wanita lain. Pernyataan itu ia dengar dari mulut laki-laki yang menjadi ayah anak-anaknya itu yang membuat emosi wanita dengan dua anak itu memuncak seketika.“Astaga! Tenagamu kuat juga,” ucap Haidar sembari meraba pipinya yang terasa panas karena tamparan Andin. Pipi laki-laki dengan wajah yang tampan itu terlihat memerah, terdapa
"Boo! Sakit tahu!" Andin mengusap-usap pantatnya yang dipukul sang suami.Haidar tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan istrinya. "Aku gemes, Bee.""Yaelah punya laki stres begitu," gumam Andin sembari melilitkan handuk di tubuhnya. Lalu, keluar dari kamar mandi meninggalkan suaminya yang masih tertawa.Haidar keluar setelah melilitkan handuk di pinggangnya. Ia menyusul sang istri ke ruang ganti."Sakit, Ndut?" tanya Haidar pada istrinya yang sedang memakai baju."Pantatku nggak sakit, tapi hatiku sakit dibilang gendut." Andin memukuli lengan suaminya berkali-kali, "Katanya aku semok nggak gendut," lanjutnya sembari mengerucutkan bibir."Iya, istriku kamu semok, aku salah ucap. Maaf ya." Haidar memeluk istrinya dari belakang."Lepasin ah, aku lagi buru-buru, kasian si kembar, mungkin mereka laper." Andin melepaskan pelukan su
Andin melepas pelukannya, lalu menatap wajah tampan pemilik hatinya. "Boo, Apa keluarga Mbak Tari setuju dengan keputusanmu?" tanya Andin pada suaminya."Orang tua Tari tidak ada, hanya ada Tante dan Omnya saja," jawab Haidar sembari merogoh ponselnya. "Kita telpon Baron," ucapnya.Haidar ingin memastikan kalau Baron dan Tari benar-benar melakukan perintahnya."Kamu di mana?" tanya Haidar tanpa basa-basi lagi."Saya di rumah Tari, Tuan," jawab Baron dari balik teleponnya."Hmmm." Haidar langsung memutus panggilan teleponnya setelah mendapat jawaban dari asistennya itu.Baron baru sampai di rumah Tari ketika tuannya menelpon. Ia masih di dalam mobil ketika menjawab panggilan dari Tuan Muda keluarga Mannaf itu."Apa itu, Tuan?" tanya Tari sedikit ragu.Baron menoleh pada wanita cantik di sampingnya sembari menatapnya tajam.
"Ayah kenapa baru datang?" tanya Merry pada Baron."Ayah kerja, Nak." Baron mengelus wajah calon anaknya. "Ayah nyari uang yang banyak untuk kamu.""Mobil tadi, beneran punya Ayah? Aku boleh ikut naik mobil Ayah nggak?" tanya gadis kecil itu. Ia biasa hidup sederhana tidak pernah dimanjakan dengan kemewahan. Sehingga ia sangat antusias saat tahu ayahnya mempunyai kendaraan seperti ayah teman-temannya.Upah Tari sebagai sekretaris perusahaan Mannaf grup memang tidak sedikit, dan itu digunakan untuk mencicil rumah yang ia tempati sekarang dan biaya hidup sehari-hari. Sedangkan omnya hanya bekerja sebagai pedagang bakso keliling.Baron menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Iya, Nak," jawab Baron sembari tersenyum. "Bagaimana kalau sekarang kita ke Mall, kamu mau 'kan?""Mau, Yah." Merry bersorak sambil jingkrak-jingkrak. Anak itu merasa sangat bahagia karena mempunyai se
Laki-laki yang terlihat dingin dan angkuh ternyata mempunyai hati selembut sutra. Ketulusan hati Baron telah meluluhkan hati seorang wanita yang tidak pernah mau membuka hatinya kembali setelah kejadian pahit menimpa hidupnya.Ia begitu menutup diri dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Ditinggal sang kekasih dalam keadaan hamil dan dibuang oleh keluarga besarnya sendiri, membuat Tari berhati-hati menjalin hubungan dekat dengan seorang pria.Namun, melihat putri semata wayangnya begitu bahagia bersama laki-laki yang dijodohkan oleh bos besarnya membuat ia yakin untuk membuka hati kembali."Nak, apa Ayah boleh bicara sebentar berdua dengan Ibu?" tanya Baron kepada gadis kecil yang duduk di pangkuannya."Boleh, Ayah." Merry segera turun dari pangkuan Baron. Lalu, menghampiri neneknya. "Ayo, Nek kita nunggu Kakek di luar!" ajak Mery pada pada wanita paruh baya itu."Iya, Sayang." Tante Rumi bangun dari duduknya, meninggalkan Tari dan Baron berdua di ru
Ketika Baron sedang mencium tangan Tari, ponselnya berdering. Ia langsung melepas tangan calon istrinya, lalu mengambil benda pipih itu dari saku kemejanya."Iya, Tuan," sahutnya saat sambungan telepon itu terhubung. Baron kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja setelah sang tuan memutus sambungan teleponnya.Haidar hanya menyuruhnya untuk melakukan fitting baju esok hari bersama keluarga Tari dan keluarga Mannaf."Ya ampun, Boo, kalau ngasih info tuh yang jelas. Kamu yakin Baron denger apa yang kamu ucapin?" tanya Andin pada sang suami yang mengucapkan satu kalimat saja saat menelpon, dan langsung menutup sambungan teleponnya dengan cepat."Dia udah jawab iya," sahut Haidar pada sang istri yang protes terhadap perlakuan suaminya kepada Baron."Seenggaknya pake basa-basi dulu atau tanya yang lain gitu," ucap Andin yang masih protes tentang sikap suaminya.