Ketika Baron sedang mencium tangan Tari, ponselnya berdering. Ia langsung melepas tangan calon istrinya, lalu mengambil benda pipih itu dari saku kemejanya.
"Iya, Tuan," sahutnya saat sambungan telepon itu terhubung. Baron kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja setelah sang tuan memutus sambungan teleponnya.
Haidar hanya menyuruhnya untuk melakukan fitting baju esok hari bersama keluarga Tari dan keluarga Mannaf.
"Ya ampun, Boo, kalau ngasih info tuh yang jelas. Kamu yakin Baron denger apa yang kamu ucapin?" tanya Andin pada sang suami yang mengucapkan satu kalimat saja saat menelpon, dan langsung menutup sambungan teleponnya dengan cepat.
"Dia udah jawab iya," sahut Haidar pada sang istri yang protes terhadap perlakuan suaminya kepada Baron.
"Seenggaknya pake basa-basi dulu atau tanya yang lain gitu," ucap Andin yang masih protes tentang sikap suaminya.
<
Haidar merebahkan kembali tubuh seksi istrinya ke tempat tidur empuk miliknya. Lalu mencium bibir wanita cantik yang terlihat seksi dan semakin menggoda untuk melumatnya. Ia melakukannya dengan perlahan, lalu disesapi bibir manis itu dengan penuh cinta.Kedua anak manusia yang dimabuk asmara sedang melepas rindu kembali. Padahal baru saja mereka melepaskan rasa yang bergejolak setelah dua bulan tidak berhubungan. Kini mereka menikmati kembali hubungan suami istri itu.Haidar melucuti pakaian sang istri hingga ibu muda itu sudah polos tanpa ada sehelai benang pun di tubuhnya. Tubuh yang semakin berisi yang membuat Haidar semakin bergairah melihatnya.Laki-laki tampan itu menciumi perut sang istri sampai daerah keramat di bawah perut. Ketika lidah Haidar hendak bermain-main di daerah terlarang itu, Andin menghentikannya.“Boo, langsung tancap gas aja, jangan kelamaan manasinnya! Nanti mereka kebu
Setelah selesai menyusui Gara, Andin kembali menaruh bayi pertamanya di ranjang bayi. âBoo, aku mau mandi dulu, kamu jagain mereka ya!â perintah Andin pada suaminya. âTakutnya mereka nangis.â Andin sengaja menjadikan anaknya sebagai alasan untuk menghindari suaminya supaya tidak mandi bersama. âKalau sampai mandi bareng-bareng yang ada dia minta nambah lagi,â batin Andin sembari tersenyum, melenggang menuju kamar mandi. âJangan lama-lama ya, Semok! Aku juga pengin cepat-cepat mandi,â ujar laki-laki yang hanya mengenakan boxer berwarna hitam. âIya,â sahut Andin sebelum masuk kamar mandi. Sementara di rumah Tari. Baron dan yang lainnya sedang bersiap-siap hendak pergi ke Mall untuk mengajak Merry jalan-jalan. âSemua sudah siap?â Baron menoleh ke kursi belakang, di mana calon anak dan mertuanya duduk. Sementara Tari duduk di kursi depan di samping calon suaminya. &
"Ayah nggak bohong 'kan?" tanya Merry pada Baron."Tanya ibumu juga! Kalau Ayah, sanggup memberimu adik bayi yang banyak," jawab Baron sembari melirik sang calon istri yang duduk di sampingnya. Mereka kini sedang duduk santai di kedai es krim.'Dia benar-benar menjebakku,' batin Tari sembari melirik calon suaminya. Kini ibu muda itu menatap anaknya. "Iya, Sayang. Kita berdoa saja supaya Ayah dan Ibu bisa memberimu adik bayi," ucapnya sembari mengelus lengan anaknya."Hore ... terima kasih Ibu." Merry memeluk ibunya dan mencium pipi wanita cantik itu. "Kapan Ibu dan Ayah bisa memberiku seorang adik bayi?" lanjutnya sembari menatap Ayah dan ibunya secara bergantian."Nanti, Nak, kalau Ayah dan Ibu sudah menikah," jawab Baron sembari tersenyum."Owh begitu ya. Jadi, Ayah dan Ibu harus menikah dulu kalau mau dapat adik bayi?" Merry menghampiri ayahnya. "Bukannya dulu Ayah sudah menik
"Terima kasih, Nak," ucap Pak Deni sembari menepuk bahu Baron. "Bapak titip Tari dan Merry sama kamu. Tolong bahagiakan mereka! Bapak percaya sama kamu," lanjutnya sembari menyeka buliran bening yang menggenang di pelupuk matanya."Iya, Pak, saya akan membahagiakan mereka. Terima kasih sudah memercayai saya," balas Baron sembari tersenyum ramah pada calon mertuanya.Pak Deni dan Baron sedang duduk di ruang tunggu sebuah toko mainan terbesar untuk menunggu Merry , Ibu dan neneknya memilih boneka untuk gadis kecil itu."Nak, Bapak cuma omnya Tari bukan bapak kandungnya. Jadi, kamu harus meminta restu beliau untuk memintanya menjadi wali nikah," tutur Pak Deni yang merupakan adik kandung dari ayahnya Tari."Kakak kandung Bapak sudah meninggal setahun lalu," jawab Baron dengan sangat hati-hati. "Maafkan saya, sebelumnya saya sudah menyelidiki tentang Tari. Saya minta maaf sudah lancang," ucap Baron dengan tulus sembari menundukkan kepalanya."Nggak apa
"Tari, saya disuruh ke rumah Tuan besar segera. Kita ke sana dulu ya, setelah dari sana saya antar kalian pulang," bisik Baron di telinga calon istrinya.Tari menganggukkan kepalanya tanda setuju, ia tidak bisa membuka mulutnya karena jantungnya terasa berdebar-debar saat wajah calon suaminya berada sangat dekat."Nak, kita pulang sekarang ya." Baron langsung menggendong gadis kecil itu tanpa menunggu jawab an dari anak kecil itu. Mereka pun keluar dari toko mainan dengan segera.Merry merasa kecewa, tapi anak kecil itu hanya diam saja tanpa berani protes. Ia takut kalau sang ayah akan pergi meninggalkannya lagi kalau ia tidak menuruti perintahnya."Pak, kita ke rumah Tuan besar dulu ya. Setelah urusan saya selesai, baru saya antar pulang," ujar Baron pada calon mertuanya ketika mereka sudah berada di dalam mobil."Iya, Nak. Terserah kamu aja," balas Pak Deni dengan ramah.Merry tidak banyak bicara seperti biasanya. Ia hanya duduk diam semba
"Maaf, Tuan, beliau orang tua Tari, keluarga baru saya," sahut Baron dengan sangat sopan."Owh ini orang tuanya Tari." Mami Inggit bangun dari duduknya. "Kebetulan sekali, silakan duduk Pak, Bu," ucap Mami Inggit dengan ramah."Terima kasih, Nyonya," balas Tante Rumi kepada Mami Inggit."Jangan panggil Nyonya! Udah kayak anak itu aja, susah banget manggil saya dengan sebutan Mami." Mami Inggit melirik pada Baron yang hendak duduk di samping suaminya."Baik, Bu," balas Tante Rumi dengan sopan.Tante Rumi duduk dekat Mami Inggit, Merry dan Tari duduk di samping Tante Rumi. Sementara Baron dan Pak Deni duduk berdekatan dengan Papi Mannaf."Tari, kamu mau dekorasi pelaminan yang seperti apa?" tanya Mami Inggit kepada calon istri Baron sembari menyodorkan beberapa gambar dekorasi pelaminan yang terlihat mewah."Saya ikut aja, Nyonya," jawab Tari dengan sopan."Kamu yang akan menikah, kamu harus pilih yang kamu suka, saya nggak
"Acaranya di rumah saya saja, Tuan. Resepsi biasa, jangan terlalu mewah yang penting orang terdekat tahu kami menikah." Kini Baron yang berbicara. Ia memberanikan diri mengungkapkan keinginannya, tidak seperti biasa yang akan selalu menerima apa pun yang diberikan Tuan besar."Baiklah, saya akan penuhi permintaan pertamamu," jawab Papi Mannaf sembari terkekeh.Selama ini Baron tidak pernah meminta sesuatu ataupun menolak usul dari sang tuan, kini di hari bahagianya ia mengutarakan keinginannya."Tapi, untuk gaun pernikahan kamu harus setuju dengan usul Mami, besok kita fitting baju di butik langganan saya," tegas Mami Inggit. "Nanti Tari bilang aja mau model seperti apa," jelas Mami Inggit pada calon istri Baron.Walaupun butiknya ia yang menentukan, tapi untuk model gaun pengantinnya, itu ia serahkan kepada sang pengantin."Iya, Nyonya," jawab Tari dengan sopan. "Sebelumny
Setelah urusannya di rumah Tuan besar selesai, Baron segera mengantar keluarga calon istrinya pulang."Nak, kamu langsung tidur ya, besok pagi-pagi kita pindah ke rumah Ayah," kata Baron pada Merry yang ada dalam gendongannya hendak masuk ke dalam rumah setelah pulang dari rumah Tuan Mannaf."Iya, Ayah," jawab Merry sembari tersenyum manis pada ayahnya. Walaupun ia sedikit kecewa karena tidak jadi membeli boneka kesukaannya, tapi anak kecil itu tetap tersenyum. 'Nggak apa-apa deh nggak beli boneka juga, yang penting aku punya Ayah,' ucap Merry dalam hatinya. Lalu, mencium pipi ayahnya berulang-ulang."Kelihatannya kamu sangat bahagia atau sedang merayu Ayah?" canda Baron pada anak gadis berusia lima tahun yang ada dalam gendongannya.Merry tersenyum manis pada laki-laki yang ia kira ayah kandungnya. "Terima kasih udah menjadi Ayah aku. Walaupun Ayah baru datang padaku, tapi aku senang banget punya Ay