“Menikah?” Andin memiringkan badannya ke kiri hingga berhadapan dengan suaminya. “Sejak kapan mereka pacaran?”
Andin begitu penasaran dengan asisten suaminya itu. Orang kepercayaan keluarga Mannaf yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemani Haidar.
“Aku melamar Tari tadi pagi,” ucap Haidar yang belum selesai berbicara, tapi sudah disela oleh istrinya.
Andin menampar pipi suaminya dengan sangat kencang. Lalu, bangun dan terduduk. Tamparan yang sangat kuat sebab dirinya sedang emosi tingkat dewa mendengar sang suami melamar wanita lain. Pernyataan itu ia dengar dari mulut laki-laki yang menjadi ayah anak-anaknya itu yang membuat emosi wanita dengan dua anak itu memuncak seketika.
“Astaga! Tenagamu kuat juga,” ucap Haidar sembari meraba pipinya yang terasa panas karena tamparan Andin. Pipi laki-laki dengan wajah yang tampan itu terlihat memerah, terdapa
"Boo! Sakit tahu!" Andin mengusap-usap pantatnya yang dipukul sang suami.Haidar tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan istrinya. "Aku gemes, Bee.""Yaelah punya laki stres begitu," gumam Andin sembari melilitkan handuk di tubuhnya. Lalu, keluar dari kamar mandi meninggalkan suaminya yang masih tertawa.Haidar keluar setelah melilitkan handuk di pinggangnya. Ia menyusul sang istri ke ruang ganti."Sakit, Ndut?" tanya Haidar pada istrinya yang sedang memakai baju."Pantatku nggak sakit, tapi hatiku sakit dibilang gendut." Andin memukuli lengan suaminya berkali-kali, "Katanya aku semok nggak gendut," lanjutnya sembari mengerucutkan bibir."Iya, istriku kamu semok, aku salah ucap. Maaf ya." Haidar memeluk istrinya dari belakang."Lepasin ah, aku lagi buru-buru, kasian si kembar, mungkin mereka laper." Andin melepaskan pelukan su
Andin melepas pelukannya, lalu menatap wajah tampan pemilik hatinya. "Boo, Apa keluarga Mbak Tari setuju dengan keputusanmu?" tanya Andin pada suaminya."Orang tua Tari tidak ada, hanya ada Tante dan Omnya saja," jawab Haidar sembari merogoh ponselnya. "Kita telpon Baron," ucapnya.Haidar ingin memastikan kalau Baron dan Tari benar-benar melakukan perintahnya."Kamu di mana?" tanya Haidar tanpa basa-basi lagi."Saya di rumah Tari, Tuan," jawab Baron dari balik teleponnya."Hmmm." Haidar langsung memutus panggilan teleponnya setelah mendapat jawaban dari asistennya itu.Baron baru sampai di rumah Tari ketika tuannya menelpon. Ia masih di dalam mobil ketika menjawab panggilan dari Tuan Muda keluarga Mannaf itu."Apa itu, Tuan?" tanya Tari sedikit ragu.Baron menoleh pada wanita cantik di sampingnya sembari menatapnya tajam.
"Ayah kenapa baru datang?" tanya Merry pada Baron."Ayah kerja, Nak." Baron mengelus wajah calon anaknya. "Ayah nyari uang yang banyak untuk kamu.""Mobil tadi, beneran punya Ayah? Aku boleh ikut naik mobil Ayah nggak?" tanya gadis kecil itu. Ia biasa hidup sederhana tidak pernah dimanjakan dengan kemewahan. Sehingga ia sangat antusias saat tahu ayahnya mempunyai kendaraan seperti ayah teman-temannya.Upah Tari sebagai sekretaris perusahaan Mannaf grup memang tidak sedikit, dan itu digunakan untuk mencicil rumah yang ia tempati sekarang dan biaya hidup sehari-hari. Sedangkan omnya hanya bekerja sebagai pedagang bakso keliling.Baron menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Iya, Nak," jawab Baron sembari tersenyum. "Bagaimana kalau sekarang kita ke Mall, kamu mau 'kan?""Mau, Yah." Merry bersorak sambil jingkrak-jingkrak. Anak itu merasa sangat bahagia karena mempunyai se
Laki-laki yang terlihat dingin dan angkuh ternyata mempunyai hati selembut sutra. Ketulusan hati Baron telah meluluhkan hati seorang wanita yang tidak pernah mau membuka hatinya kembali setelah kejadian pahit menimpa hidupnya.Ia begitu menutup diri dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Ditinggal sang kekasih dalam keadaan hamil dan dibuang oleh keluarga besarnya sendiri, membuat Tari berhati-hati menjalin hubungan dekat dengan seorang pria.Namun, melihat putri semata wayangnya begitu bahagia bersama laki-laki yang dijodohkan oleh bos besarnya membuat ia yakin untuk membuka hati kembali."Nak, apa Ayah boleh bicara sebentar berdua dengan Ibu?" tanya Baron kepada gadis kecil yang duduk di pangkuannya."Boleh, Ayah." Merry segera turun dari pangkuan Baron. Lalu, menghampiri neneknya. "Ayo, Nek kita nunggu Kakek di luar!" ajak Mery pada pada wanita paruh baya itu."Iya, Sayang." Tante Rumi bangun dari duduknya, meninggalkan Tari dan Baron berdua di ru
Ketika Baron sedang mencium tangan Tari, ponselnya berdering. Ia langsung melepas tangan calon istrinya, lalu mengambil benda pipih itu dari saku kemejanya."Iya, Tuan," sahutnya saat sambungan telepon itu terhubung. Baron kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja setelah sang tuan memutus sambungan teleponnya.Haidar hanya menyuruhnya untuk melakukan fitting baju esok hari bersama keluarga Tari dan keluarga Mannaf."Ya ampun, Boo, kalau ngasih info tuh yang jelas. Kamu yakin Baron denger apa yang kamu ucapin?" tanya Andin pada sang suami yang mengucapkan satu kalimat saja saat menelpon, dan langsung menutup sambungan teleponnya dengan cepat."Dia udah jawab iya," sahut Haidar pada sang istri yang protes terhadap perlakuan suaminya kepada Baron."Seenggaknya pake basa-basi dulu atau tanya yang lain gitu," ucap Andin yang masih protes tentang sikap suaminya.
Haidar merebahkan kembali tubuh seksi istrinya ke tempat tidur empuk miliknya. Lalu mencium bibir wanita cantik yang terlihat seksi dan semakin menggoda untuk melumatnya. Ia melakukannya dengan perlahan, lalu disesapi bibir manis itu dengan penuh cinta.Kedua anak manusia yang dimabuk asmara sedang melepas rindu kembali. Padahal baru saja mereka melepaskan rasa yang bergejolak setelah dua bulan tidak berhubungan. Kini mereka menikmati kembali hubungan suami istri itu.Haidar melucuti pakaian sang istri hingga ibu muda itu sudah polos tanpa ada sehelai benang pun di tubuhnya. Tubuh yang semakin berisi yang membuat Haidar semakin bergairah melihatnya.Laki-laki tampan itu menciumi perut sang istri sampai daerah keramat di bawah perut. Ketika lidah Haidar hendak bermain-main di daerah terlarang itu, Andin menghentikannya.“Boo, langsung tancap gas aja, jangan kelamaan manasinnya! Nanti mereka kebu
Setelah selesai menyusui Gara, Andin kembali menaruh bayi pertamanya di ranjang bayi. “Boo, aku mau mandi dulu, kamu jagain mereka ya!” perintah Andin pada suaminya. “Takutnya mereka nangis.” Andin sengaja menjadikan anaknya sebagai alasan untuk menghindari suaminya supaya tidak mandi bersama. ‘Kalau sampai mandi bareng-bareng yang ada dia minta nambah lagi,’ batin Andin sembari tersenyum, melenggang menuju kamar mandi. “Jangan lama-lama ya, Semok! Aku juga pengin cepat-cepat mandi,” ujar laki-laki yang hanya mengenakan boxer berwarna hitam. “Iya,” sahut Andin sebelum masuk kamar mandi. Sementara di rumah Tari. Baron dan yang lainnya sedang bersiap-siap hendak pergi ke Mall untuk mengajak Merry jalan-jalan. “Semua sudah siap?” Baron menoleh ke kursi belakang, di mana calon anak dan mertuanya duduk. Sementara Tari duduk di kursi depan di samping calon suaminya. &
"Ayah nggak bohong 'kan?" tanya Merry pada Baron."Tanya ibumu juga! Kalau Ayah, sanggup memberimu adik bayi yang banyak," jawab Baron sembari melirik sang calon istri yang duduk di sampingnya. Mereka kini sedang duduk santai di kedai es krim.'Dia benar-benar menjebakku,' batin Tari sembari melirik calon suaminya. Kini ibu muda itu menatap anaknya. "Iya, Sayang. Kita berdoa saja supaya Ayah dan Ibu bisa memberimu adik bayi," ucapnya sembari mengelus lengan anaknya."Hore ... terima kasih Ibu." Merry memeluk ibunya dan mencium pipi wanita cantik itu. "Kapan Ibu dan Ayah bisa memberiku seorang adik bayi?" lanjutnya sembari menatap Ayah dan ibunya secara bergantian."Nanti, Nak, kalau Ayah dan Ibu sudah menikah," jawab Baron sembari tersenyum."Owh begitu ya. Jadi, Ayah dan Ibu harus menikah dulu kalau mau dapat adik bayi?" Merry menghampiri ayahnya. "Bukannya dulu Ayah sudah menik