#1800hari_S2 bab1 2331
"Kesedihanku sudah seperti candu, bahkan ketika aku tidak merasa sedih aku mulai panik. Dan merasa agar tetap merasa sedih."***Sierra Suelita, yang berarti perbukitan bunga lily kecil. Gadis manis nan cantik, namun sayang ia berasal dari keluarga menengah ke bawah. Hidup bersandar dengan kedua kakaknya—Selena dan Seina.Tanpa ayah dan ibu, sebab kedua orang tua mereka telah lama meninggal dunia. Hidup di bawah tekanan ekonomi dan mengharuskan mereka untuk bekerja lebih giat lagi selama ini.Zucca Gervaso Hugo, yang berarti lelaki terhormat dengan otak cemerlang. Berwajah tampan berasal dari kalangan atas.Pernikahan di atas perjanjian, Sierra dan Zucca menikah beserta syarat tertulis di buat oleh Zucca. Perlahan membuat hidup Sierra seperti di penjara. Tentu saja, di mata keluarga dan masyarakat yang melihatnya, mengira pernikahan mereka adalah sebuah kebahagiaan.Banyak pesaing Sierra yang merasa iri dengannya, Zaneta Paloma salah satunya. Zaneta Paloma sudah sejak lama menginginkan sebuah pernikahan dengan Zucca, banyak cara pun sudah ia lakukan untuk meluluhkan hati Zucca yang sedingin es itu.Zaneta Paloma pun menghasut sang kakak dari Zucca—Zamora Nieva. Zaneta Paloma tahu, bahwa Zamora Nieva menyayangi Sierra.Sierra Suelita menikah dengan Zucca Gervaso Hugo atas permintaan dari Nyonya Yoana—ibunya Zucca—karena merasa berhutang nyawa dengan gadis cantik itu.Sierra Suelita tanpa sengaja menyelamatkan Nyonya Yoana saat ada pencopet, demi menyelamatkan wanita kaya itu, Sierra Suelita terkena tusukan benda tajam di bagian perutnya. Jika tidak cepat menolongnya, mungkin saja yang menjadi korban adalah orang kaya itu.***Sinar matahari pagi berhasil menyelinap masuk lewat celah tirai, menyilaukan mata Sierra Suelita—yang berarti perbukitan bunga lily kecil. Gadis manis nan cantik, namun sayang ia berasal dari keluarga menengah ke bawah.Gadis itu mengerjap beberapa kali untuk bisa menyesuaikan cahaya yang menerpa wajahnya, sebelum kesadarannya benar-benar terkumpul.Setelah matanya benar-benar terbuka, gadis itu terperanjat hampir melompat dari tempat tidurnya. Bagaimana mungkin dia bangun kesiangan? Bodoh! Dia memekik mengacak-acak rambutnya sendiri."Bu Silvie pasti akan marah-marah lagi ini, mah!" rutuknya.Sierra Suelita gegas mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya, lalu segera ke kamar mandi. Keadaan rumah kontrakan itu terlihat sepi, dua kakaknya sudah bekerja lebih dulu."Pasti uang makan hari ini bakalan dipotong lagi," katanya lagi.Dua tiga gayung berhasil membahasi tubuhnya. Gadis itu tidak benar-benar mandi, waktunya hanya tersisa beberapa menit lagi. Ini semua karena semalam ia mengambil lembur di tempat lain. Sierra Suelita bekerja paruh waktu sebagai buruh cuci piring pada salah satu rumah makan besar tak jauh dari rumahnya.Setelah memakai baju, gadis itu langsung berangkat ke pasar tanpa mengisi perutnya. Dia bekerja pada Bu Silvie, juragan sayur di tempat tinggalnya.Sierra Suelita berlari tanpa henti, napasnya tersengal dan mulai lelah. Dia merasakan panas terbakar di dalam dadanya. Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil oksigen ke dalam paru-parunya.Semua orang menyapanya, gadis itu membalasnya dengan sebuah senyuman. Wajah dan tubuhnya sudah bermandikan keringat, membasahi bajunya. Sebentar lagi dia akan sampai, hanya satu belokan saja.Dia berhenti sejenak, napasnya tersengal seperti orang kehabisan udara. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Sierra Suelita merasakan panas terbakar dari dalam dadanya yang menjalar dengan cepat. Dengan rakus, dia menghirup udara sebanyak-banyaknya memasukkannya ke dalam paru-parunya. Lalu kembali berlari ke arah pasar.Saat langkahnya semakin dekat, teriakan seseorang yang ia kenali terdengar melengking. "Telat lagi! Setiap hari selalu telat, udah gak bisa ditolerin lagi ini, mah!" hardik Bu Silvie saat melihat Sierra Suelita baru saja datang.Gadis itu sudah telat 15 menit, bosnya tidak mau tau."M-maaf, Bu. Saya kesiangan lagi," kata Sierra Suelita dengan napas terengah-engah."Enak aja! Kerja seenak jidat kamu aja, upah hari ini dan uang makan terpaksa saya potong!"Upah hariannya saja kadang tidak mencukupi kebutuhan pribadinya, ini ditambah lagi tidak mendapat uang makan dan upah untuk hari ini. Terpaksa kerja sia-sia gadis itu."Baik, Bu."Sierra Suelita harus berpuasa lagi hari ini, tidak mungkin memaksakan diri untung berhutang makanan di warteg pasar.Salah satu teman kerjanya selalu memberikan sebagian nasi bungkus miliknya untuk gadis itu, tetapi Sierra Suelita juga tau kalau Fabio juga membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mengangkut bahan-bahan baku yang berat.Fabio adalah laki-laki yang baik, dia sudah lama menyukai Sierra Suelita. Namun, dia tidak berani mengungkapkan perasaannya."Lembur lagi?" tanya Fabio menatap kasihan pada gadis berambut panjang itu.Sierra Suelita hanya mengangguk, mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar.Fabio tidak habis pikir, untuk apa Sierra Suelita mati-matian mencari uang? Karena setaunya, orang tua gadis itu sudah lama tiada. Sedangkan dua kakaknya juga bekerja. Jadi, tidak ada tanggungan lain yang harus dia perjuangkan.Dari kejauhan terdengar suara teriakan seseorang, jerit sana sini begitu riuh. Keadaan pasar menjadi kacau, ada pencopetan lagi di gerai ATM depan pasar. Memang di sana adalah tempatnya sarang pencopet, mereka tak pandang bulu dalam memilih target. Kali ini, korbannya adalah wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar.Sierra menatap lekat dan mengerutkan dahinya ke arah Fabio, pria itu mengedikan bahunya tanda ia tidak tau. Gegas, mereka langsung ke TKP. Sementara Bu Silvie berteriak-teriak memanggil dua pegawainya yang sudah berlari."Woy! Kembali kalian! Akan kupecat kalian!!" jerit Bu Silvie._Dua pencopet sedang menawan wanita kaya itu, satu menodongkan pisau ke lehernya, satu lagi mengamankan tas wanita itu."Woy! Lepasin ibu itu!" Sierra melempar batu ke arah dua preman yang tak lain adalah pencopet tadi."Gak usah ikut campur urusan kita, deh, lu!" bentak salah satunya.Fabio menarik lengan Sierra saat gadis itu ingin menghampiri para preman itu. Wanita kaya itu sudah ketakutan, matanya menatap nanar kepada Sierra Suelita."Jangan ikut campur urusan Bang Badrun," bisik Fabio."Ini masalah nyawa. Aku gak bisa diem aja ngeliat yang, kek, gini!" Sierra menepis kasar tangan Fabio hingga terlepas."Cukup, Bang! Kasian ibu itu! Lehernya sudah berdarah dikit!" teriak Sierra.Akibat memberontak, tak sengaja pisau kecil itu menggores kulit leher Nyonya Yoana. Ya, wanita kaya itu bernama Yoana. Hari ini adalah hari kesialan baginya, terjebak dalam situasi seperti ini."Tolong, lepasin saya. Kalau kalian ingin uang, saya akan berikan." Nyonya Yoana mengiba.Dua preman itu menertawainya, di saat yang lengah ... Sierra mengambil kesempatan itu untuk menolong wanita kaya itu. Dia menggigit tangan kekar Badrun—kepala preman di pasar itu—dengan sangat kuat."Aaaaarrrghhh!" Teriakan panjang membuat pasar menjadi hening seketika.Melihat Badrun kesakitan, Eko pun langsung menjambak rambut gadis itu, menyeretnya kemudian menamparnya berulang kali. Tak sampai di situ, Sierra mencoba melawan namun sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan mereka.Semua orang yang ada di pasar tidak ada yang berani memisahkan mereka, ataupun sekedar menolong gadis itu. Tapi tidak dengan Fabio yang mencoba mendorong tubuh kekar Eko. Badrun kembali menyergap Nyonya Yoana dan menghampiri Sierra yang masih tersungkur."Dasar perempuan si4l! Berani lu, ya, sama kita, hah!" Badrun menendang keras bagian belakang Sierra. Hingga dia merasakan seperti ada yang mau keluar dari dalam tenggorokannya. Tak lama, darah menetes dari sudut bibirnya.Sierra merasakan seneb (sesak) di bagian dalam tubuhnya. Badannya sudah gemetar, tetapi dia terus menguatkan dirinya untuk menolong wanita berwajah ayu itu.Fabio membantunya berdiri, sementara Eko terus memukuli mereka. Di saat yang bersamaan, Badrun pun menendang bagian tubuh Fabio dan juga Sierra tanpa ampun.Gadis itu kembali menggigit kuat tangan Badrun, tangan satunya memukul kepala Sierra tanpa henti. Wanita itu terbebas sementara, dia kasihan melihat seorang gadis yang dipukuli habis-habisan demi menolongnya. Padahal, bisa saja mereka enggan menolong seperti yang lainnya hanya menonton tanpa berniat menbantu.Tentu saja, mereka mencari aman. Nyonya Yoana segera menelepon layanan polisi 110 atau call centre.Mendengar korban menelepon polisi, dua preman itu segera melarikan diri bersama barang curiannya. Nyonya Yoana tidak mempedulikannya, dia segera menghampiri Fabio dan Sierra yang sudah babak belur.Wajah mereka sudah berlumur darah segar, bengkak dimana-mana. Mereka masih bernapas, hanya saja sudah lemas."Sabar, ya. Polisi dan ambulans akan segera datang. Terima kasih banyak, kalian sudah mau membantu saya," kata wanita itu sambil terisak.Mata Sierra perlahan menutup dan tersenyum tipis sebelum dia benar-benar menutup matanya. Sementara Fabio sudah tidak sadarkan diri sejak tadi."Tolong! Siapa pun tolong bantu saya." Nyonya Yoana bangkit berdiri, memohon kepada semua orang yang sedang menonton bahkan ada yang merekam diam-diam sejak tadi.Tidak ada satu orang pun yang sudi membantu. Mereka tidak ingin menjadi saksi, memilih untuk membubarkan diri dari kerumunan."Dasar kalian gak punya hati!" pekiknya kesal.Tak lama, suara sirine polisi terdengar. Buru-buru wanita itu berjalan cepat menghampiri polisi itu. Tak lama, mobil ambulans pun datang. Sebelumnya memang nyonya itu yang menceritakan ada dua korban pemukulan."Pak, tolong Pak cepetan!""Tenang, Bu." Salah seorang polisi membantu supir ambulans untuk mengangkat tubuh Sierra dan Fabio ke atas tandu yang akan diletakkan pada brankar ambulans.Sementara polisi satunya meminta keterangan dari Nyonya Yoana serta saksi-saksi lainnya."Mari ibu ikut saya," kata polisi satunya."Tapi, Pak, apa sebaiknya kita urus mereka dulu?" jawab nyonya itu sambil menoleh ke arah ambulans."Mereka aman, nanti kita akan melihat kondisi mereka setelah ibu memberi keterangan terlebih dahulu."Mau tidak mau, nyonya itu mengikuti perintah dari pihak yang berwajib. Sepanjang perjalanan, hatinya kacau memikirkan nasib dua orang yang tak berdosa itu.Awalnya, nyonya itu tidak sengaja melewati pasar Kamboja. Karena hari ini dia tidak memakai supir, tidak membawa uang chas dan kebetulan ada mesin ATM di dekat pasar, akhirnya Nyonya Yoana turun berniat untuk menarik uang. Namun sayangnya, ada dua pasang mata yang sejak tadi mengintai dirinya tanpa sepengetahuannya.Ban bocor itu karena ulah dua preman itu. Untungnya lagi, ponselnya tidak dimasukkan ke dalam tasnya. Kalau tidak, dia tidak bisa melaporkan kejadian itu.Setelah panjang lebar memberikan kesaksian, nyonya itu pun meminta ijin kepada kepala polisi untuk ke rumah sakit melihat keadaan Sierra dan Fabio.Dengan panik, Nyonya Yoana menelepon suaminya dan menceritakan kejadian naas tadi yang menimpa dirinya. Tanpa menunggu lama, suaminya pun langsung menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh istrinya itu.Dua pasien itu masih berada di ruangan IGD sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap."Ma! Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya suaminya, Fernando Hugo Gervaso. Suaminya begitu khawatir melihat perban di leher istrinya.Siapa yang tidak mengenal Fernando Hugo Gervaso—terkecuali mereka orang-orang miskin dari kalangan bawah—seorang investor terkenal dan juga pembisnis yang ambisius. Keluarga konglomerat nomor satu di Indonesia dan nomer lima di Asia."Aku gak apa-apa, Pa. Tapi dua orang itu yang terluka parah," katanya. Nyonya itu menggigit bibir bawahnya karena terlalu cemas dengan keadaan penolongnya.Dari kejauhan, seorang laki-laki berseragam dokter berjalan menghampiri mereka."Loh, Fer. Yoana? Kok, kalian ada di sini? Ada apa? Apa Zucca dirawat di sini?" Dokter itu mencerca suami istri itu dengan banyak pertanyaan.Dia adalah Dokter Brian Attala, dokter keluarga Gervaso dan juga sahabat sejati Nyonya Yoana."Bukan. Tadi Yoana kecopetan di pasar Kamboja, terus ada dua anak muda yang nolongin tapi babak belur.""Terus itu leher kenapa?""Cuma tergores sedikit," ujar Nyonya Yoana kemudian."Pasien yang belum lama masuk itu?" Dokter Brian Attala bertanya kembali."Iya. Kasihan, aku gak tau kalau gak ada mereka, entah gimana nasibku.""Dari sekian banyak pedagang dan pembeli di pasar Kamboja, ga ada satu pun yang mau membantu. Mungkin mereka tidak ingin terlibat dan menjadi sasaran dua preman itu kali, ya.""Itulah manusia, Yo. Sebentar, aku akan memeriksa keadaan mereka dulu, ya."Dokter Brian Attala gegas menuju ruang IGD."Anaknya cantuk, Pa. Gimana kalo kita jodohins sama Zucca?""Mama ini, kita aja belum tau siapa anak itu, Ma.""Loh, bisa aja, loh, Pa. Mereka itu ga peduli sama keselamatan mama, bisa aja, kan, mereka memilih untuk diam pura-pura gak tau seperti yang lainnya? Coba deh papa pikir, ya, mereka sampai dipukuli seperti itu, apa untungnya coba?""Ya, bisa aja, kan, mereka pura-pura nolong? Padahal ada maunya? Kita gak bisa menebak hati seseorang, Sayang." Tuan Fernando menggenggam tangan istrinya, satu tangannya lagi menepuk-nepuk punggung tangan istrinya."Dan lagi, apa mungkin Zucca mau dijodohkan seperti itu? Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Sayang." Laki-laki berwajah oriental itu menyambung kembali kata-katanya."Papa coba lihat aja, deh, gimana bentuk wajah mereka!" Kesal karena suaminya berburuk sangka kepada dua penyelamatnya, Nyonya Yoana berjalan ke ruang IGD menyusul Dokter Brian Attala.Nalurinya sebagai seorang wanita mengatakan bahwa gadis itu memang tulus menolong. Maka dari itu, dia berniat menjodohkan anak bungsunya kepada Sierra Suelita.Keadaan mereka baik-baik saja setelah melewati pemeriksaan, Sierra dan Fabio sudah di pindahkan ke ruang rawat inap VVIP.Bu Silvie, tidak begitu peduli dengan dua karyawannya yang dihajar babak belur oleh dua preman—Badrun dan Eko—karena tidak ingin terkena masalah nantinya.Hari semakin gelap, Sierra dan Fabio belum kembali sadar. Nyonya Yoana meminta salah satu perawat untuk berjaga di ruangan mereka sebelum ia kembali ke rumah sakit.Nyonya Yoana ingin membicarakan rencananya kepada putra semata wayangnya. Wanita itu merasa sangat berhutang budi kepada Sierra._Sementara di rumah kontrakan kecil, Seina dan Selena cemas menunggu adiknya yang belum kembali juga. Sampai akhirnya, pada jam 1 malam keduanya mendatangi tempat kerja adiknya."Kita ke rumah makan Teamo aja, yuk." Selena mengajak adiknya untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja.Sudah lewat satu jam Sierra belum juga kembali, itu yang membuat mereka cemas. Biasanya, sebelum jam 12 malam Sierra sudah sampai di rumah."Iya. Hatiku gelisah terus soalnya. Takut kenapa-napa," jawab Seina.Mereka gegas ke rumah makan tak jauh dari tempat tinggal mereka dengan berjalan kaki. Hanya tujuh kilometer saja jarak dari rumah mereka.Sesampainya di sana, rumah makan itu sudah tutup dan sepi sekali. Selena dan Seina pun panik."Tutup? Terus, Sierra ke mana, Kak?" kata Seina cemas."Ponselnya juga mati, gak biasanya Sierra, kek, gini." Selena mencoba menghubungi nomor telepon adiknya berulang kali."Apa kita lapor polisi aja?""Nanti ribet urusannya, lagian apa mereka mau mendengar laporan kita? Kita orang miskin, Dek.""Terus? Kita harus, kek, gimana?""Kita tunggu aja di rumah, semoga aja Sierra baik-baik aja."Dengan berat hati, dua kakak beradik itu kembali pulang ke rumah kontrakan. Perasaan takut menyergap hati mereka. Bagaimana jika hal buruk terjadi pada adik bungsunya? Selena dan Seina seakan lupa bertanya kepada Bu Silvie, mereka hanya teringat dengan tempat kerja terakhir Sierra saja.Hari ini, mungkin adalah hari terburuk untuk Zucca Gervaso Hugo. Sang penerus Hugo Grup dan Stava Diamond, perusahan yang bergerak di bidang bisnis dan perhotelan, serta market-market lainnya yang ada di seluruh dunia. Nyonya Yoana sudah menyampaikan niatnya kepada Zucca, pria tampan berhidung mancung itu pun menolak dengan tegas keputusan sepihak yang diambil oleh ibunya. Dia tidak mau menerima permohonan itu. Namun, Nyonya Yoana pun mengancam jika Zucca tidak menurut maka dia akan mencopot hak warisnya. "Gak bisa gitu, dong, Ma! Zucca belum mau menikah. Apalagi dengan orang yang baru saja Mama temui. Kenal juga belum, kita mana tau dia sengaja menyewa dua preman itu untuk menodong Mama dan pura-pura menyelamatkan. Basi! Trik murahan itu sering terjadi, Ma." Panjang lebar Zucca bicara, ibunya tetap tidak mau mendengarkan anaknya. "Ya, sudah. Kamu gak mau pun gak apa-apa, hak waris akan mama berikan kepada yayasan." "Ma! Ini gak adil!" "Apanya yang gak adil? Ini cukup adil, Zucca
.Kediaman Gervaso Hugo. Semua orang sibuk menghias halaman dengan bunga-bunga indah, di dalam ruangan tak kalah indahnya bertabur lampu tampak begitu mewah. Tampak mereka begitu bersemangat dan bahagia menyambut acara besar nanti. Temanya adalah outdoor. Bunga lily sesuai dengan arti nama Sierra bertabur indah. Semua tampak begitu sukacita, tetapi tidak untuk Zucca. Ibunya sudah mempersiapkan semuanya hampir 90 persen, padahal waktu masih tiga hari lagi. Undangan virtual telah disebar ke berbagai kolega dan keluarga. Meskipun virtual, siapa pun yang tidak mendapatkan undangan tersebut, tidak akan bisa masuk ke pesta nanti. Di dalam kamar, Zucca terlihat kesal. Dia yang terbiasa rapih dan bersih, kini menbiarkan kamarnya seperti kapal pecah. Buku-buku berserak di lantai, botol-botol minuman beralkohol pun tak kalah berantakan. Pecahan beling di mana-mana. Tidak ada pilihan lagi selain menjadi boneka hidup, pikirnya. Dia bersumpah akan membuat gadis itu menyesal telah menikah dengan
" Perubahan diri memerlukan perjuangan, bukan sekedar duduk diam. Berjuanglah demi perubahan diri, dan perbaiki keinginan kita. Serta, berikan ruang untuk perubahan." ~ Eneas Gervaso ~ ***** Pernikahan pun dilaksanakan begitu meriah, ribuan pengunjung yang tak henti-hentinya memadati ruangan. Zucca dan Sierra, baru saja bertemu hari ini. Tepatnya di atas pelaminan mereka, tanpa tegur sapa atau pun saling memperkenalkan diri.Sierra merasa asing, seperti patung di atas pelaminan. Hanya mertua dan kakak iparnya yang menerima dirinya. Tatapan tajam sang suami dirasakannya. Terlihat jelas bahwa Zucca tidak menyukai ataupun menerima dirinya, masuk ke dalam keluarga Gervaso. Sierra hanya melihat senyum kebahagiaan dari kedua kakaknya dan juga Nyonya Yoana, suaminya, dan putrinya.Pernikahan ini memang atas permintaan Yoana, sebagai bentuk balas budi. Karena nyawanya pernah diselamatkan oleh gadis cantik itu. "Jangan memamerkan gigimu, bodoh! Bersiaplah biasa aja, kau hanya boleh menundu
Shopping Bersama Kakak ipar" Sepertinya memang lebih pantas untuk sekedar mengagumi, bukan untuk memiliki." ~ Sierra Suelita ~ ***Usai berbelanja, Zamora Nieva mengantarkan Sierra pulang ke rumah adiknya. Sementara dirinya kembali ke hotel tempatnya menginap. Sepanjang perjalanan, Sierra tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada kakak iparnya. "Sudah, ini tidak ada arti apa-apa. Jangan terlalu berlebihan begitu, deh."Zamora Nieva dengan ramah memberitahukan kepada adik iparnya itu, untuk tidak mengucapkan terima kasih berulang kali kepada siapa pun. Karena akan menjatuhkan martabat keluarga besarnya."Tapi, Kak—""Santai aja. Totalan segini hanya recehan bagi kami," kelakarnya lagi. Merasa sangat tidak enak hati, akhirnya Sierra hanya mengulas senyum. Dalam hatinya, dia amat bahagia. Ponsel mahal keluaran terbaru pun telah dibelikan oleh Zamora Nieva. "Ya, sudah. Aku langsung ke hotel, ya." Zamora Nieva berdiri di samping pintu mobilnya saat telah sampai di halaman rum
"Jangan terlalu ambil hati dengan ucapan seseorang, kadang manusia punya mulut tapi belum tentu punya otak." ~ Zamora Nieva ~ ***Setelah puas melamun, Sierra masuk ke dalam ruangan kamar. Lampu telah menyala entah sejak kapan, mungkin si pria kanebo yang menyalakannya. Gadis itu merasakan tubuhnya tidak enak, hidungnya mengeluarkan embusan panas saat bernapas. Ya, sepertinya dia akan sakit. Sementara di ruangan kerja—hanya terhalang oleh dinding kamar—sepasang mata memperhatikan pergerakan gadis itu. Sesekali dia mendengus kesal serta mengumpat kecil. "Cih! Dasar kampungan!" Umpatan itu berkali-kali dilontarkan saat melihat Sierra bersiap berbaring di atas sofa."Bagaimana mungkin aku terjebak di dalam situasi seperti ini dengan gadis jorok itu?!" Zucca merasa begitu menyesali keadaannya, tetapi dia tidak ingin kehilangan hak warisnya. "Hebat! Dia bisa menipu mama dengan wajah polosnya. Cih! Kita lihat aja, sampai kapan dia akan bertahan di sini! Aku tidak akan memberikannya upa
"Hidup itu tidak selalu berjalan mulus seperti yang kita inginkan, ada banyak kegagalan dan jatuh bangun pastinya. Semua itu adalah cara kerja Tuhan untuk menguatkan mental seseorang. Bukan karena Tuhan tidak sayang dengan kita."_Di tepi laut yang penuh dengan sampah, tak membuat Fabio dan Seina kembali pulang. Mereka sudah terbiasa dengan situasi kotor dan bau seperti itu. Bahkan, ada beberapa gubuk yang menjadi tempat pembuangan sisa-sisa makanan dalam tubuh pada manusia alias WC umum. Tentunya, kotoran dari sisa-sisa dalam tubuh langsung jatuh ke dalam air laut tersebut. "Ada masalah lagi sama Selena?" Fabio membuka percakapan saat melihat Seina telah tenang. Gadis itu menoleh sesaat ke arahnya, lalu menatap laut kembali. Terdengar embusan berat keluar dari mulutnya. "Hufh.""Selena masih minta uang sama Sierra. Dia marah karena Sierra gak bisa kasih lagi," ucap Seina tanpa menoleh. Fabio berdeham, "Hem. Kenapa Selena gak pernah bisa berubah, ya. Terus, Sierra diungkit seperti
Benci yang tertanam _Seina mengirim pesan kepada Sierra. Karena Selena tidak kunjung membalas pesannya, Seina memutuskan untuk ke rumah Fabio. Menunggu di sana sepertinya akan lebih bagus, dari pada menunggu seorang diri di sini akan terasa memakan waktu. ***Hari ini, kedua orang tua Zucca dan kakaknya—Zamora Nieva—akan datang berkunjung, tentu saja untuk menemui menantu kesayangan dan sekalian mereka akan berpamitan pulang. Zucca dan Sierra telah menunggu kedatangan mereka layaknya sepasang pengantin baru, duduk di sofa ruang tamu dengan senyum yang dipaksakan."Hari ini, mama papa dan kakak akan datang. Bersikaplah seperti wanita anggun dan berkelas." Suara Zucca terdengar seperti ancaman bagi Sierra, terdengar begitu datar."Seperti apa?" tanya Sierra dengan bingung.Belum sempat Zucca melanjutkan ucapannya, mereka pun telah sampai. Segera Zucca dan Sierra beradu akting, Zucca memeluk bahu kecil Sierra, dan tangan Sierra pun berada di pinggang Zucca."Wahhh, waaah, wahhh, kita d
"Selain diri sendiri yang berjuang, siapa lagi?" ~ Amoy Shanghai ~ ***(Serba Salah)"Zucca itu adalah suaminya, sudah seharusnya bertanggung jawab dengan semua kebutuhan istrinya, Paloma." Zamora Nieva menimpali. Paloma semakin kesal mendengarnya, dia pun pamit pulang sambil menahan emosi."Aku pulang dulu, deh, Tan. Kak." "Kok, buru-buru amat?""Iya, ada yang harus aku kerjakan. Terima kasih jamuan makan malamnya, Tan." Zaneta Paloma mencium pipi dua perempuan itu. Dia sengaja menginjak kaki Sierra dengan kuat. Sierra menahannya, sengaja tidak berteriak sakit. Dia tidak mau terlihat lemah di mata Zaneta Paloma. Dia sedikit meringis ketika ujung heels menancap di bagian punggung kakinya. Mendengar rintihan kecil, Zaneta Paloma pun tersenyum puas."Cika!" seru Nyonya Yoana memanggil asisten pribadi Sierra. "Iya, Nyonya." Cika datang beberapa detik kemudian. "Tolong panggilkan Zucca," titahnya kemudian. "Baik, Nyonya." Tak lama, dua pria berbeda generasi pun datang ke ruang tam
Malam yang Indah___Hujan turun begitu deras malam ini membuat suasana semakin dingin, Zamora kini telah berpindah kamar. Bukan lagi di kamar pelayan, tetapi telah satu pintu dengan Tuan Raffa. "Kau hanya boleh membawa selimut, tidur di balkon dan jangan masuk jika tidak ada perintah dari ku. Apa kau mengerti?" "Tapi, Tuan ... bagai mana kalau saya ingin ke kamar mandi?" Zamora dengan cepat memberikan sebuah pertanyaan yang masuk diakal. Benar juga apa yang di katakan oleh Tuan muda Raffi, Zamora adalah gadis yang pintar. "Apa kau sebocor itu jika sudah terlelap?" Zamora mengangguk lugu. "Menyusahkan. Baiklah, kesempatan hanya ada dua kali. Pergunakan sebaik mungkin." Prayoga Raffa menaruh kedua tangan nya di pinggang. "Ingat. Kau hanya punya kesempatan masuk ke kamar mandi dua kali. Selebih nya tahan sampai besok pagi. Mengerti?!" "Mengerti." Zamora menghela napas kasar berkali kali, udara malam ini begitu dingin menusuk tulang. Bagai mana mungkin ia akan tidur di ruangan t
Sedikit Rasa Prayoga Raffa baru saja keluar dari ruangan meeting. Deni mengikuti dari belakang. Lelaki itu tampak begitu serius saat melakukan pekerjaan. "Untuk beberapa hari ke depan, seperti nya kita akan sibuk." Pria tampan itu merogoh saku jas nya, mengambil sebuah kotak hitam kecil berbahan beludru, berisi sepasang cincin di dalam nya. Menatap nya sekilas lalu memasukkan nya kembali sebelum Deni melihat benda itu. "Benar, Tuan. Bahkan sampai akhir pekan nanti." Asisten setia itu mengingatkan kembali jadwal padat mereka. "Pelayan itu ... bukan. Maksud ku, istri ku. Kapan dia boleh pulang?" Mendengar kata kata yang tak biasa seperti itu, sontak saja membuat Deni terkejut dan menahan senyum di dalam hati nya. "Oh, dia sudah bisa pulang nanti sore, Tuan. Saya sudah menyuruh Boy untuk menjemput nya." Baru saja ia ingin berbicara kembali, telepon berdering. Nesya Amanda yang menelpon. Prayoga Raffa langsung mengheningkan suara ponsel nya. Lima panggilan tak terjawab dari mode
Cemburu___Sebuah mobil mendarat di halaman yang begitu luas melewati gerbang tinggi. Pintu mobil terbuka, seorang pemuda keluar mobil sport hitam milik nya. Berjalan menelusuri jalan menuju pintu utama kediaman keluarga Kuncoro. Tiba tiba saja langkah nya terhenti ketika melihat seorang wanita paruh baya tersenyum kepada nya. Senyuman ternyaman yang selalu ia dapatkan selama 28 tahun ini. "Akhir nya kamu pulang juga," ucap wanita itu dengan suara begitu lembut. "Ma ... ngapain di situ?" tanya Prayoga Raffa berjalan cepat dan memeluk ibu nya yang sedang menyiram tanaman angrek. "Biasa, lagi merawat bunga cantik ini." "Kan, bisa suruh Lasmi yang menyiram?" Prayoga Raffa memeluk erat ibunya, seolah sudah puluhan tahun tak bertemu. "Kamu tidur di sini, kan?" Nyonya Handayani bertanya tanpa membalas ucapan anak nya. "Iya. Raffa kangen sama masakan Mama." Baru juga dua hari mereka tidak bertemu, tetapi ibu dan anak itu merasakan rindu yang teramat dalam. "Adik mu, ya, yang menyur
*** Zamora mengelus perut datar nya, "Apakah kamu baik baik aja di dalam sana, Nak?" "Aku berjanji, akan membawa kalian pergi dari sini. Aku tidak akan meninggalkan mu bersama dengan Tuan muda dingin itu, meski pun sebenar nya memang dia adalah ayah mu." Zamora melirik jam dinding, kini jarum jam telah menunjuk ke angka satu siang. Gadis itu terus menghibur diri, entah kenapa dia merasa sedih dan kecewa. "Tuan Raffa menolak ku, maka nya dia tidak pulang." Lagi lagi dia berbicara sendiri di depan kaca. Masih memakai kemeja yang kebesaran, tidak tau ingin melakukan apa lagi gadis itu pun membaringkan tubuh nya kembali di atas kasur mewah. "Sarapan Tuan muda pasti sudah dingin, lebih baik aku memakan nya dari pada kebuang." Tiba tiba dia bangkit dari posisi tidurnya, bergegas ke dapur untuk menghabiskan sarapan yang ia buat tadi. Saat suapan terakhir hampir mendarat ke dalam mulut nya, derap langkah seseorang terdengar semakin dekat. Pintu terbuka, tetapi Zamora masih belum menya
#1800hari_S2_29 1024_Setelah merasa lebih baik, Seina menceritakan kepada kakaknya tentang kejadian yang baru saja ia alami."Cerita pelan pelan, ada apa, sih?" desak Selena penasaran. "Ta-tadi, tadi ada yang lempar tanah Kak." Seina mencoba mengatur napas, dia benar benar ketakutan sekali. Selena memang melihat banyak tanah seperti tanah kuburan di sekitar pintu, bahkan mengenai baju Seina. "Siapa yang melempar? Terus, kenapa kamu bisa sampai tiduran di sini?" Seina melanjutkan cerita nya sambil terisak, dia melihat dengan jelas ada sesosok yang menatap nya dengan tajam. Akan tetapi, karena sangking terlalu takut nya dia sampai terjatuh lemas. "Maksud kamu, di sini ada setan gitu? Ha ha ha, mana mungkin jaman sekarang masih ada demit, Seina!" Selena berkata sesumbar begitu lantang. "Kak! Gimana nanti kalo sesosok itu datang ke sini lagi, hah? Kakak jangan sesumbar!" hardik Seina kesal. Bagai mana mungkin Selena bisa berkata seperti itu? Sedangkan sebelum nya tadi dia sempat
bab 28 _Setelah mengisi perut nya Sierra merasakan kantuk yang sangat luar biasa, gadis itu memutuskan untuk tidur sejenak sambil menunggu pemilik kamar kembali dari kantor nya. Beberapa jam kemudian, Zucca masuk ke dalam kamar nya dan melangkah ke ruang kerja nya. Pria itu belum menyadari ada seseorang di dalam kamar selain diri nya. Setelah puas berkutat dengan pekerjaan nya, Zucca merasakan badan nya begitu gerah meski pendingin ruangan menyala. Pria itu menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar nya, dia sungguh terkejut melihat Sierra sedang tertidur pulas di sofa. Sofa itu berdampingan dengan kamar mandi. Lelaki itu mengucek mata nya berulang kali, dia berpikir kalau salah lihat. "Hey! Bangun!" Zucca menendang nendang kaki Sierra. "Woy! Bangun!" teriak nya kencang. "Aaaarrrghh!" Sierra langsung membuka mata nya dan terkejut melihat keberadaan Zucca dengan mata tajam menatap nya. "Siapa yang menyuruh mu kembali, hah!" bentak nya kemudian. Padahal, dia sedikit lega ak
KEMBALI BERTEMU_"Non Sierra?!" pekik nya."Cika, apa kabar?" tanya Sierra seraya memeluk asisten nya itu."Non ke mana aja selama ini? Aku cemas sekali," tanya nya dengan terisak."Kita cerita di dalam aja, yuk.""Non sudah makan?" tanya Cika kembali. "Sudah. Tapi masih lapar," bisik nya lalu terkekeh."Ayo, kita ke dapur. Saya buatkan sup jagung untuk Non Sierra."_Sierra masuk ke dalam kamar tidur nya, kebetulan kamar ini memang tidak pernah terkunci meski tidak ada pemilik nya di dalam."Aku harus bagaimana ini? Apa kah aku harus menyapa nya terlebih dahulu dan meminta maaf? Atau ... aku berpura pura tidak melihat nya nanti?"Sierra berjalan mondar mandir di dalam kamar sambil menggigiti kuku ibu jari nya. Gadis itu benar benar merasa takut."Mata nya itu ... iiih, bikin bergidik ngeri aja." Sierra mengedikan bahu saat membayangkan tatapan tajam tuan muda itu.Tok tok tok!Sebuah ketukan pintu membuat Sierra kaget, "Kalo si kanebo gak mungkin ngetuk pintu, kan?" ucap nya sendir
Gejolak Hati."Menga lah bukan berarti kalah. Terkadang manusia tidak bisa membedakan mana arti makna tersebut."_Ryu mengantar pulang ke kediaman Gervaso. Di dalam mobil, Sierra merasakan jantung nya berdetak semakin cepat. Bukan karena dia sedang salah tingkah, tetapi karena takut menghadapi Zucca, suami kontrak nya itu."Ada apa?" tanya Ryu. "Takut." "Takut apa?""Takut suami ku akan marah. Apa yang akan terjadi dengan ku setelah ini, ya?" tanya Sierra, tatapan nya begitu cemas. Telapak tangan nya pun sudah mulai basah. "Tenangkan diri mu. Aku akan menunggu sampai kamu benar benar masuk ke dalam. Atau bahkan aku akan menunggu sampai malam tiba," jawab lelaki itu. Aneh. Sorot mata nya mampu membuat Sierra menjadi tenang. "Kalo terjadi sesuatu dengan ku, aku tidak akan menyesal." "Hush! Jangan ngomong sembarangan. Kamu akan baik baik aja, nanti aku bisa minta tolong ayah ku untuk mengecek keadaan kamu. Jangan lupa, kasih kabar setelah masuk ke dalam. Oke?""Terima kasih banyak
Bab 25 ( Pendekatan ).Beberapa hari menjalani perawatan intensif, perlahan lahan keadaan Zamora Anastasya mulai pulih. Sierra terus mencoba untuk mendekatkan diri pada perempuan muda itu. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Zamora?" Sierra duduk di sebelah ranjang pasien.Zamora masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Berulang kali dia menangis tanpa sebab, luka hati nya begitu dalam sampai sampai terlarut dalam kesedihan. "Zamora ... apa kau baik baik aja?" tanya Sierra kembali. Sierra mulai memahami keadaan Zamora Anastasya, kehilangan rasa percaya diri adalah sesuatu yang sulit.Zamora hanya menoleh dan menatap Sierra tanpa berkedip, mata nya memang menatap Sierra. Akan tetapi, pikiran nya entah sedang berlarian ke mana. Dengan sabar, Sierra tetap mendampingi gadis malang itu. Sudah dua minggu berlalu, Zamora masih betah berdiam tanpa berbicara. Langkah kaki terdengar mendekati ruang praktek di mansion itu. Sierra berdiri ke pintu dan membuka nya sebelum seseorang mengetuk p