Selamat membaca."Mengapa hanya diam dan menatapku hm? Kamu masih tak sudi ku sentuh, Emabell?" Pertanyaannya membuat aku terdiam di tempatku, tak bisa menjawab atau menolaknya. Jadi, yang ku lakukan hanyalah diam menatap wajah Baginda yang rupanya masih sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengan dirinya."Baginda!" panggilku takut-takut. Ia menatapku, mendengarkanku dengan baik. "A-aku lapar!" ucapku, demi apapun. Aku tidak bisa mencari alasan yang jauh lebih baik dan jauh lebih meyakinkan daripada perutku yang kosong."Hm. Begitu ya!" ucapnya dingin tidak bisa aku mengerti—tetapi saat ia mengangkat tubuh telanjangku, membawaku masuk ke dalam air. Tanpa berekspresi apapun—aku hanya ingin kabur, tapi mengapa aku malah melingkarkan tanganku di lehernya seolah ini adalah hal biasa. "Tidak dalam kan?" tanyanya sesaat setelah kakiku menginjak lantai batu dalam air yang rasanya cukup licin."Em," jawabku. Sedang ia hanya duduk di dalam kolam, pinggiran kolam sembari menutup matanya
Selamat membaca.Dalam keheningan dimatanya dan mataku, ia mencoba membaca apa yang aku inginkan lewat netra mata ini. Lalu mengelus wajahku dengan satu tangannya sayang, menarik beberapa helai suraiku yang basah. Menghirupnya dalam-dalam, lalu berkata. "Kau berani bertanya saat kau tahu jawabannya Emabell?"DEG! Aku menelan saliva kasar, ketika Baginda melayangkan tatapan tajamnya padaku—anehnya aku takut, tapi saat orang lain yang melakukannya. Kenapa selalu saja ingin melawan, dan merasa kalau itu tidak benar."Emabell!"Suaranya membuat aku tersadar dari lamunanku. "Em, Baginda?""Apakah kamu mencintaiku? Atau kamu, hanya mencintai kekuatanku?"Genap sudah. Ia membalikan pertanyaanku, yang bahkan belum ia jawab. Dan aku tidak berani menuntut padanya. "Kamu tidak bisa jawab, aku juga tidak bisa jawab."Karena ini semua bukan berasal dari hati, tetapi sesuatu yang cenderung untuk dipaksakan. "Tetapi kali, tersenyumlah saat aku menjadikanmu milikku Emabell!" ujarnya padaku, sesaat
Selamat membaca.Diam tanpa melakukan apa-apa, mungkin adalah jalan terakhirku. Membiarkan Baginda mengerti, kalau aku tidak seberani itu padanya. Hanya saja, hari ini sedikit berbeda—jadi yang ku lakukan, hanyalah menundukkan kepalaku di depannya.Ia mendekat. "Aku hanya bercanda Emabell, angkat kepalamu sekarang!" Hah? Bercanda? Apakah nada suara dan tatapan membunuh yang baru saja ia perlihatkan padaku, bisa disebut sebagai sebuah candaan? Malah terdengar seperti sebuah ancaman yang meyakinkan. Ada-ada saja.***Berpakaian dengan layak, keluar dari gua tanpa memikirkan kejadian buruk yang menimpaku saat sampai di Rulyria—saking tak pedulinya, aku tidak sadar kalau semua mata kini tertuju ke arah langit Elydra."Lihatlah ke atas, Emabell!" Kafkan begitu takjub, aku mengikuti arah pandangan mereka. Dan terkejut, saat melihat ruang luas diatas sana kini berubah warna menjadi warna merah muda yang berkilau seolah ada jutaan mangkuk Glitter yang ditumpahkan di atas sana—terkagum-kagum
Selamat membaca.Damor menurunkanku, tetapi tetap menjagaku agar tak jatuh. Mengingat pohon yang yang kami pijaki saat ini sangatlah tinggi. Jauh lebih besar daripada pohon-pohon yang kulihat saat berada di Clossiana Frigga.Lalu aku menatap ke arah Baginda. Sembari merentangkan tanganku, seperti anak kecil yang meminta untuk dipeluk olehnya. Damor dan yang lainnya malah saling tatap akan sikapku barusan."Apa?" tanyaku bingung.***Beberapa saat kemudian. "Serius? Aku di tinggal sendirian? Di atas pohon? Baginda? Apa salahku?!" berseru sendirian, tak ada yang menemaniku karena jika mereka tetap tinggal. Maka Baginda akan membuat mereka tak bisa bertemu lagi denganku, dan anehnya. Mereka malah percaya.'hah' menghembuskan nafasku kasar. Menoleh ke arah kiri dan kanan, namun tak ada siapapun ataupun burung-burung yang berterbangan di sekitaran hutan yang luas dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi sampai ada yang menembus awan.Wush!Angin tiba-tiba saja berhembus menerpa wajahku, ya
Selamat membaca.Mengambil sikap waspada, aku hendak berdiri tapi Baginda menahanku dengan tatapan setenang lautan yang dipenuhi oleh monster besar dan menakutkan. "Baginda," Ucapanku berhenti saat ia menyodorkan air yang ditampung pada daun."Minum!" Aku melakukannya. Meminum apa yang ia sodorkan padaku, sesaat sebelum untuk! Uhuk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk saat melihat beberapa orang berpakaian serba hitam dengan tengkorak yang melingkar di sepanjang leher mereka. Menelan saliva kasar—sebab tengkorak yang melingkar itu adalah adalah tengkorak manusia."Makanan!" ujar mereka sinis, sembari menatap ke arahku dengan mata yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebiru langit—indah, tapi itu menunjukan adanya bahaya. Sebelum mereka memberi hormat pada Baginda. "Salam yang mulia Darka! Senang melihat Anda mampir di hutan tidak indah ini. Bersama manusia, apakah dia hadiah!""Dia milik Baginda!"Penjelasan Almosa membuat mereka tertawa. "Ah, teman tidur?" tebak mereka. "Sepertinya bukan, emmm
Selamat membaca.Ketika hari lainnya menyapa, tak terasa kami sudah sampai di kerajaan Rulyria yang tampak segan saat melihatku berada bersama dengan Baginda—dan tatapan yang mereka berikan itu, mengartikan sebuah kerinduan atau mungkin sebuah kemarahan."Salam yang mulia." Menatap ke arahku sinis. "Ku lihat putri kami berhasil kembali pada majikannya padahal kami mengurusnya dengan baik. Memberikan tempat tinggal yang layak, dan kebebasan untuk bepergian kemana-mana!" Sindirnya."Sejak kapan Emabell menjadi putri kalian?!" sambung Almosa tak kalah sinis. Mereka seperti berperang dengan pandangan mereka masing-masing. "Dan kami disini untuk perang, waktu tempat. Kami serahkan pada negeri kalian!""Perang?" ulangnya menatap ke arahku tak henti-hentinya, begitu juga dengan sang ratu yang sedang mencoba untuk memanipulasi otakku tetapi Baginda menghalangi segala kekuatan buruk itu dengan hanya diam saja—dan kurasa ratu Rah Esyca sadar akan hal itu."Ya?""Perang apa? Kami tidak melakukan
Selamat membaca.'hahaha' dia tertawa jahat menatap kami yang terpojok. "Kalian menginginkan perang, kalau begitu mari berperang Baginda. Hari ini, di tempat ini pada waktu ini!" pecundang—hanya itu yang bisa aku pikirkan mengenai raja Herdian. Sikapnya itu, tidak menunjukan cerminan seorang pejuang, karena memang seperti itulah dia.Sesekali menatapku yang tak berdaya, ia menyeringai karena aku begitu mudah untuk dikendalikan. Egoku, ambisiku pada kedamaian malah menjadikan itu sebagai kelemahan mereka.Tetapi dalam situasi saat ini. Baginda dan yang lainnya malah diam saja, justru tersenyum sinis saat mendengar ucapan yang mereka tunggu-tunggu itu. Baginda menggendongku, tepat saat prajurit Rulyria. Keluar untuk mengepung kami, setelah itu aku melihat Damor maju seorang diri. Dengan tangan yang terangkat, sesuatu yang berwarna hitam keunguan keluar dari kedua tangannya—menembus pertahanan lawan, membuat teriakan itu terdengar sangat nyata.Raja Herdian terdiam. Dari sini, aku bisa
Selamat membaca.DEG! Apa yang baru saja pria itu katakan? Apakah tiba-tiba saja ia berubah menjadi pemimpin yang tidak punya hati lagi—aku salah karena mempercayainya secepat ini, aku salah karena mengatakan cinta lebih cepat tanpa ingat kalau aku dalam posisi saat ini. Semua adalah karena Baginda, pikiran brengseknya itu.Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Aku mau Kafkan Baginda!"Tetapi sebuah tangan mencekalku dengan kuatnya, badanku seolah respon menoleh ke arah Baginda yang sedang melayangkan tatapan nyalangnya padaku. Dan di sisi lain, Kafkan menahan satu tanganku dengan tangannya yang sangat dingin, meski tubuhnya terlihat terbakar perlahan-lahan."Yang mulia, saya mohon!" ucap Kafkan.Ar menahan bahu Baginda, menggelengkan kepalanya singkat. Seolah-olah berkata pada Baginda untuk tidak melakukan apapun padaku, sebab ini berada di Rulyria dan raja dan Ratu Herdiant melihatnya.Aku ketakutan saat tangan itu menahanku—aku takut, kalau nantinya kepercayaan yang coba ku ban