Kai menepuk-nepuk tangan Luna yang masih menutup mulutnya. "Hei lepaskan!" berontak laki-laki itu."Kenapa kau menjadi panik dan ketakutan begitu?" tanya Hana.Bagaimana ya menjelaskannya. Apakah Luna harus membuat skenario baru lagi. Tapi karena ia tidak pernah mengarang cerita, membuatnya kesusahan sendiri."Jadi gini, akhh." Menghembuskan napas Luna melipat satu tangan, dan satu tangannya lagi ia letakkan dibibir. Sedang berpikir dan mencari alasan yang masuk akal.Hana dan Kai hanya perlu menunggunya. Lagipula mereka sedang berolahraga kemudian tidak sengaja bertemu Luna. Berniat menyapa saja. Tapi entah jika Kai keceplosan mengatakan yang tidak-tidak."Tapi bukankah wajah lelaki Rolls Royce itu tampak familiar?" Kai mulai berpikir. Kemudian tatapannya kembali pada Aiden yang sedang menunggu di dekat sungai."Benar, siapa ya?" Hana bertanya-tanya. Mengingat momen demi momen dalam hidupnya."Ah itu bukankah pemilik Silk Splurge!" Kai memekik cukup keras. Tapi untungnya jarak mereka
Semenjak titah dari Aiden yang tidak memperbolehkannya memasak itu terucap. Luna tidak pernah lagi pergi ke dapur. Laki-laki itu memutuskan untuk memperkerjakan koki pribadi, namanya David Lucius. Merupakan adik dari Artha Lucius koki pribadi Giselle.Ngomong-ngomong keduanya gagal berlibur di hari weekend kemarin karena lebih memilih mengunjungi rumah yang akan mereka beli. Melihat-lihat unit dengan suasana yang nyaman. Luna sudah menemukan pilihan. Tetapi kata Aiden rumah yang Luna pilih telalu kecil. Padahal menurut Luna rumah itu sudah lebih dari cukup.Aiden beniat untuk membangun rumah dan membeli tanah di lokasi yang strategis. Dimana pemandangan hijau terlihat dan udara yang sejuk. Seperi kediaman Wilson.Jadi Luna menurut saja, lagipula yang menangani semua biaya juga Aiden.Pagi ini Luna tidak terlalu terburu-buru untuk menyiapkan sarapan. Perempuan itu hanya bersiap untuk dirinya dan tentu menyiapkan baju Aiden. Tidak lupa memasangkan dasi untuk suaminya.Aiden sendiri menik
Luna langsung buru-buru menuju rumah sakit. Mengatakan pada Kai dan Hana ia perlu pergi dulu ada sesuatu yang genting dan minta menyampaikannya pada Bu Mega nanti. Sedang soal Aiden, Luna meminta suaminya untuk menunggu. Dengan alasan Luna masih menangani pasien. Yulio bisa ditangani yang lain jika sudah tidak dapat menahan rasa sakitnya. Ponsel Luna berdering lagi. Kali ini dari Selena. "Hei! Kenapa kau tidak bilang suamimu itu ada di rumah sakit?" tanya Selena dengan nada panik dan suara yang berbisik. "Aku juga baru dihubungi oleh Aiden. Katanya perut sekretarisnya sedang sakit, aku disuruh memeriksanya. Apa mereka tidak sengaja melihatmu?" "Hampir, aku langsung bersembunyi. Aku masih ada pasien, kau bawa snelli kan?" tanya Selena karena ia tidak bisa meminjamkan snellinya. Mendengar itu Luna lansung memeriksa tasnya. Untungnya ada. Snelli yang sudah lama bersarang di dalam tas. Terlipat dan mungkin sudah kusut berbentuk lipatan tersebut. "Ah.. ada sih. Ngomong-ngomong aku h
Luna tertidur setelah menghabiskan makanan yang dipesankan oleh Yulio. Perempuan itu telah membersihkan diri dan berganti baju. Aiden mendadak menyuruh Yulio memesan piyama tidur untuk istrinya juga. Aiden mengangkat tubuh istrinya, membawanya ke kamar yang ada di ujung ruangan agar Luna lebih nyaman dan pulas lagi tidurnya. Kemudian laki-laki itu kembali ke meja kerja memeriksa laporan keuangan dan laba yang ia peroleh atas kerja sama Silk Splurge dengan Bellagas. Selain itu permasalahan kebakaran kemarin juga masih diselidiki. Aiden juga masih harus menyusun strategi bisnis barunya dengan Zack. Baru juga diingatkan, sahabatnya itu sudah tiba. Membuka pintu ruangan Aiden begitu Yulio telah selesai melapor pada bosnya bahwa ada tamu yang datang. Aiden membiarkan meski sedang mengerjakan banyak pekerjaan. Tetapi kebetulan juga Zack datang ketika dirinya butuh membicarakan masalah bisnis baru itu. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Zack memulai dengan obrolan ringan dulu. Lelaki itu te
"Kenapa aku harus pergi darimu sayang?"Pertanyaan itu terus berputar dalam ingatan Luna. Terkadang ketika perempuan itu sedang tidak ada kegiatan. Seperti saat ini, ketika hanya duduk termenung buang air besar.Tok.. tok.."Sayang? Apa masih lama?" Tanya Aiden di luar sana mengetuk pintu.Luna langsung sadar dari lamunannya. Hari ini masakan koki David sangat enak, ekhm.. tepatnya setiap hari selalu enak dan Luna jadi ketagihan makan terus. Makanya perutnya sering penuh sekarang.Tak terasa ternyata weekend telah tiba. Kali ini agenda mereka tidak lagi batal. Semua baju-baju telah terkemas ke dalam koper. Siap untuk pergi berlibur. Sesuai permintaan Luna, Pulau Wight menjadi tujuan mereka berlibur. Aiden telah memesan tiket pesawat dan hotel termahal. "Lama ya?" tanya Luna dengan cengiran begitu keluar dari kamar mandi. "Iya, aku khawatir kau kenapa-napa." Aiden menarik tangan Luna untuk segera beranjak dari pintu kamar mandi. "Menurutmu baju kita sudah serasi?" tanya Aiden berce
Luna menahan napasnya, Aiden telah membuka mata meski tidak sepenuhnya sadar. Bibir suaminya itu lantas menciumi leher belakangnya. Dan semakin merapatkan pelukan. Berikutnya Aiden kembali tertidur membiarkan Luna membuka ponselnya. Lagi pula tidak ada rahasia seperti berpesan pada lawan jenis atau menyembunyikan foto-foto gadis lain. Luna juga langsung berfokus pada aplikasi chat yang kemudian membuka pesan Aiden dengan Yulio. Tampak membosankan karena hanya seputar meminta dokumen, mengirim dokumen, memerintahkan Yulio. Luna harus mencari kata kuncinya untuk menemukan apa yang ingin dia cari. Luna mulai mengetik kata Wilson dalam pencarian roomchat mereka. Perempuan itu terus menggulir pesan dari atas sampai bawah. Justru yang Luna temukan adalah perintah Aiden pada Yulio yang berisi untuk membeli Maserati Levante. "Tolong urus pembelian ini, kirimkan hari rabu nanti ke Apartemen dengan pita merah muda. Ini hadiah untuk istriku."Begitu kira-kira pesan yang Aiden tuliskan beserta
Luna langsung melepas pelukan dan menyambar ponselnya. Dalam otaknya perempuan itu harus buru-buru pergi membawa ponsel dan menjawab panggilan dalam radius 10 meter atau mungkin lebih. Tapi jika dilogika lagi, itu akan tampak mencurigakan daripada dirinya yang langsung menjawab telepon ditempat.Luna berpura-pura menghembuskan napasnya kasar dan memutar bola matanya. "Dia lagi," keluh Luna."Siapa? Kenapa tidak diangkat?" tanya Aiden melihat Luna menolak panggilan tersebut. Istrinya bahkan menyalakan mode silent di ponsel."Orang rumah sakit, yang sering aku minta tolong belikan makan itu.""Kenapa dia meneleponmu selarut ini?" tanya Aiden semakin bingung.Eh? Astaga.Alasan apalagi yang harus ia gunakan sekarang?Luna menaikkan bahu. "Aku rasa dia sedikit.."Aiden berdecak. "Blokir nomornya, kalau besok masih meminta uang padamu atau muncul dihadapanmu aku habisi." Aiden mengira bahwa Harris berniat genit pada Luna. Insting pria terhadap pria.Aiden beranjak dari kasur, moodnya sudah
Perebutan stroberi itu akhirnya dimenangkan oleh Aiden. Luna menyadari bahwa suaminya telah banyak berkorban. Lagi pula di dalam lemari es masih banyak stroberi. Jadi ya sudah tidak apa Aiden bisa memiliki roti dan stroberi tersebut. Dan keduanya bisa makan dengan tenang dan segera beristirahat. Seperti yang Aiden katakan sejak hari pertama keduanya menjadi suami istri. Aiden akan memberikan bunga untuk Luna setiap pagi. Hingga saat ini laki-laki itu masih memberinya bunga. Luna mencium aroma bunga tulip pagi ini, warnanya ungu muda lembut dan cantik. Begitu Aiden selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Luna langsung berterima kasih. "Terima kasih Aiden."Aiden tersenyum. Yulio sudah memesan bunga pada Flo Florist untuk mengirim bunga yang berbeda setiap hari dengan buket yang rapi dan indah. Jadi otomatis sudah ada yang mengantar bunga saat pagi. "Kau tidak segera bersiap?" tanya Aiden karena Luna tampak santai tidak seperti biasanya yang
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya
Keduanya saling menceritakan satu sama lain. Dimana Aiden membuka jati dirinya sebagai seorang pengusaha, dan Jong Min mengatakan bahwa profesinya adalah seorang dokter. "Jadi kau seorang dokter?"Jong Min mengangguk menunjukkan lesung pipinya. "Belajar sangat tidak mudah. Bagaimana mungkin ada manusia menghafal buku setebal lima belas senti."Aiden tertawa melihat wajah Jong Min yang putus asa. "Hei buktinya kau bisa. Kau mematahkan pikiran burukmu itu.""Benar juga, aku hampir kehilangan mobilku jika tidak segera menghafal."Lagi-lagi Aiden tertawa. "Ibumu menyitanya.""Benar sekali. Kau sering begitu juga? Ibu mu menyita kartu? atau mobil ketika kau menjadi bebal." Jong Min begitu ingin tahu. Yang ia lihat Aiden tampak seperti lelaki baik-baik. "Aku tidak pernah menjadi bebal. Ketika tua aku baru bebal.""HAHAHAHA.." Kini giliran Jong Min yang tertawa. "Apa yang menjadi keributan pak tua ini?""Sial," umpat Aiden dengan sisa senyumnya. Tangannya meraih gelas kecil yang telah beri
Aiden dan Giselle menuju hotel dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Giselle tertangkap basah, masih memiliki harapan untuk bertemu dengan Luna. Sebetulnya, perasaan Giselle lebih sakit melihat anak semata wayangnya terus larut dalam kesedihan. Tetapi jika hanya Luna yang menjadi kebahagiaan Aiden ia akan turut serta mengabulkannya. Hari telah gelap. Aiden melambaikan tangan sebagai sirat pamitnya untuk Giselle. Membiarkan Ibunya untuk beristirahat dulu hari ini. Aiden juga perlu istirahat. Semakin hari rasanya semakin berat. Ia masih belum menemukan Luna. Mendapatkan informasinya saja tidak. Terkadang, ia berpikir untuk menyerah saja. Mengubur kenangan mereka dan melanjutkan hidupnya. Namun disisi itu, Aiden juga sempat berpikir bagaimana jika ia menikah lagi dan ketika sudah mau memulai hidup baru Luna kembali dihadapannya tanpa ia cari. Aiden tidak ingin menyesal lagi untuk kehilangan Luna. Hal seperti tadi tak seharusnya mampir ke pikirannya. Laki-laki itu lantas m
"Tapi mungkin kau bisa mencari tahu melalui Selena. Barangkali lepasnya Luna hanya akal-akalannya saja." Robert memberi saran dan itu terdengar masuk akal. Akhirnya setelah berbincang lama dan membahas hal lain, tanpa sadar keduanya menjadi dekat lagi. Hmm lebih tepatnya melupakan yang telah terjadi. Robert datang ke Korea juga tidak dengan tangan kosong. Ia membawakan Aiden seperti jinjingan berisi sepatu mahal, beserta dokumen dokumen yang Aiden perlukan. Seperti yang Robert tahu, temannya itu sedang merintis bisnis dibidang keuangannya. Jdi Robert membantu memberikan nama nasabah yang dulunya pernah menjadi nasabahnya. Hal itu berguna, jikamana spam iklan Perusahaan Aiden masuk ke nomor nasabah. "Terima kasih." Aiden tersentuh. Lihat bukan? Tanpa perlu ia membalas dendam, Robert akan tahu sendiri letak kesalahannya dan penyesalannya. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan balas dendam. Itu khusus untuk orang-orang yang paham. "Aku kembali dulu. Semoga kau segera menem