Setibanya di depan rumah sakit, sebuah ambulans berhenti tak jauh dari mereka. Suara sirene yang sebelumnya terdengar kini mereda, meninggalkan keheningan yang terasa berat. Perawat itu menghentikan kursi roda Nur, memastikan semuanya baik-baik saja.
Ambulans yang berhenti di depan rumah sakit itu memang ditujukan untuk mengangkut Excel. Petugas medis yang sebelumnya mendorong brankar keluar dari ruang ICU kini melangkah cepat ke arah ambulans, memastikan semuanya siap untuk perjalanan.Nur memejamkan mata, bibirnya bergetar lirih. "Ya Allah, jika Engkau masih berkenan memberiku waktu untuk bersamanya, lindungilah dia. Jangan biarkan dia pergi sebelum aku sempat mengucapkan betapa aku mencintainya. Berikanlah kekuatan untuknya, Ya Rabb, karena aku terlalu lemah untuk kehilangan dia. Di hatiku, kak Excel bukan hanya seorang suami, melainkan separuh napas yang aku butuhkan untuk bertahan. Dia telah menjadi candu yang tak bisa kulepaskan, meski sekejap saja.Lia tak menyangka sang adik terlihat begitu terpukul. Ia memandang Nur yang terus menggenggam tangan Excel, tubuhnya gemetar di tengah isaknya yang tak kunjung reda."Apa Nur begitu mencintai Excel?" batin Lia.Lia memeluk sang adik sambil menepuk lembut bahunya. "Sabar, Nur. Semua ini sudah takdir. Excel pasti ingin kamu kuat," ucap Lia, berusaha menghibur meski hatinya juga pilu.Nur menggeleng keras, wajahnya basah oleh air mata. "Tapi, Mbak, Kak Excel sudah janji kita akan bersama terus. Kebersamaan kita baru sebentar. Aku gak mau dia pergi secepat ini," isaknya dengan suara parau. Kepalanya bersandar di bahu Lia, tubuhnya lemah seolah tak sanggup menopang beban perasaan yang begitu berat.Lia menyeka keringat yang membanjiri kening sang adik. Namun, tiba-tiba tubuh Nur melemas, dan kesadarannya hilang."Nur! Nur, bangun!" pekik Lia panik sambil mengguncang pelan tubuh adiknya.Heri, yang sejak tadi hanya mematung, segera bergerak menghampiri. "Biar aku yang bawa dia!" katanya cep
Nur tertegun. Senyum bahagianya perlahan menghilang. "Kak... Ini aku, Nur... Istrimu..."Excel menggeleng pelan. "Aku... Aku enggak ingat," jawabnya, lalu menatap sekeliling dengan bingung.Dokter yang masih berada di dekat mereka segera memeriksa Excel lebih lanjut. "Ini kemungkinan efek dari mati suri. Otaknya mungkin mengalami trauma yang menyebabkan amnesia sementara," jelasnya.Nur menatap dokter dengan mata penuh kekhawatiran. "Amnesia? Apa itu berarti Kak Excel tidak akan ingat siapa pun dari kami?"Dokter menenangkan Nur. "Amnesia bisa bersifat sementara, Ibu. Dengan perawatan dan waktu, ingatannya mungkin akan kembali. Yang penting sekarang, kita pastikan kondisinya stabil dulu."Azka memegang tangan Excel, menggenggamnya erat. "Nak, kamu gak perlu khawatir. Kami akan ada di sini untukmu. Kami akan bantu kamu ingat semuanya."Excel memandang ayahnya dengan tatapan kosong. Nur duduk di sisi Excel, menggenggam tangannya dengan lembut."Kak Excel, enggak apa-apa kalau kamu engga
Dini hari setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, Nur bersiap untuk pulang ke kediaman Excel Mahendra.“Kak, aku pulang dulu ya. Kamu cepat sembuh, biar kita bisa pulang bersama,” ucap Nur lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan ruang rawat. Ia menatap wajah Excel yang masih tertidur pulas, napasnya teratur, seolah sedang bermimpi damai.Nur menggigit bibir bawahnya, menahan haru. Karena tak berani mencium suaminya, ia hanya mencium jari telunjuk dan jari manisnya sendiri, lalu menempelkannya lembut pada pipi Excel.“Kak, aku percaya kamu pasti akan ingat semuanya lagi,” bisik Nur dengan mata berkaca-kaca sebelum beranjak pergi.Langkah Nur pelan saat melewati koridor rumah sakit. Pikirannya penuh dengan kenangan bersama Excel, juga rasa cemas yang tak kunjung sirna. Setiap detik Excel masih terbaring di sana, hatinya terasa tercekat oleh ketakutan kehilangan.Saat Nur keluar dari pintu utama rumah sakit, udara dingin di
"Mbak, pengantinya mana kok enggak keluar-keluar. Apa memang gini caranya orang kota?" tanya Nur. Ia sudah merasa pegal duduk terlalu lama dan sudah tak sabar ingin mencicipi prasmanan. Sejak datang di acara pernikahan Excel, Nur sudah merasa lapar melihat makanan yang begitu menggugah selera meski sebelum berangkat mereka sudah sarapan, namun ia teringat ucapan sang kakak bahwa mereka boleh makan kalau akad sudah selesai. "Enggak juga sih, di undangan akad kan jam sembilan. Ini udah jam sepuluh lima menit," balas Lia sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Satu bulan yang lalu setelah wisuda, Nur Cahyani tiba di jakarta bersama kedua orang tuanya. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah di kota besar itu dan meraih cita-cita untuk menjadi dokter. Bermodal uang tabungan selama mengonten, tekadnya sudah bulat untuk meraih kesuksesannya. Apalagi kedua orang tuanya sangat mendukung, di tambah sang kakak ipar juga berjanji akan membantu memberi tambahan dana. Tetapi, untuk saat ini o
Tiba-tiba Diana, Mamanya Excel maju menghadang Nur sambil memakinya. "Heh, bocah ingusan. Kalau enggak niat bantuin jangan macem-macem, lagian kamu tidak pantas untuk putraku. Kamu tidak selevel dengan Veronika." Nur tersenyum getir, padahal niatnya baik. Di desa memang kejam tapi sekarang ia merasakan di kota jauh lebih kejam. Dan ia harus siap mental untuk mengarungi bahtera kerasnya hidup di Jakarta. "Mama ngomong apaan sih, bukannya mencari solusi ini malah memperkeruh keadaan. Mama mau menanggung malu kalau acara pernikahan ini sampai batal, Mama siap menerima gunjingan. Kalau Mama enggak bisa ngasih solusi sebaiknya diam saja!" sahut Azka tegas, Papanya Excel. Diana terdiam, bibirnya membrenggut dan memalingkan muka. Kini Azka beralih pada Nur, dengan tersenyum ramah. "Maafkan istri saya ya, Nur, dia hanya sedang terbawa emosi. Saya Azka, Papanya Excel." Azka mengulurkan tangan, Nur menyambut uluran tangan lelaki setengah baya yang nampak masih gagah itu. Nur Salim dengan so
Beruntung MUA yang dihubungi Diana langsung bisa menyanggupi dan langsung menuju hotel dimana meraka berada. Sedangkan Azka keluar menemui penghulu dan memberi tahu adanya perubahan mempelai pengantin wanita.Tak berapa lama pihak MUA datang membawa beberapa potong kebaya untuk Nur. "Ayo, Sayang, kita ke ruangan sebelah," ujar Diana menuntun Nur. Lia ikut mendampingi sang adik. Sedangkan Bambang dan Isna juga di rias oleh petugas MUA lainnya.Dengan sentuhan tangan MUA yang handal kini wajah Nur terlihat memukau dan mangklingi membuat Lia dan Diana tersenyum bangga."Masya Allah, cantik banget calon mantu Mama," puji Diana."Pasti Excel bakal enggak mengenali kamu deh, Nur. Pasti dia pangkling banget," imbuh Lia."Mbak, jangan bikin aku tambah malu dong," balas Nur tersipu malu."Ya udah yuk kita keluar, udah di tungguin dari tadi," ajak Diana."Masya Allah, Nduk, kamu cantik banget," ujar Isna. Ia hampir tak mengenali putri bungsunya itu. Sedangkan Bambang hanya tersenyum menanggapi
Resepsi pernikahan telah usai, Nur telah di boyong ke rumah besar Azka."Selamat datang di rumah baru, Nur. Memang bukan rumah kita sendiri, tapi di sinilah aku tumbuh besar. Semoga kamu merasa nyaman di sini," ucap Excel tersenyum sambil menggenggam tangan sang istri membuat Nur merasa lebih diterima dan nyaman.Saat Excel membuka pintu rumah yang bercat putih, tampaklah sebuah hunian mewah yang tetap mengusung kesan elegan dan hangat. Langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung kristal memberikan sentuhan glamor, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer berwarna krem. Lantai berbahan kayu jati berkilau mempertegas kesan klasik modern, dilengkapi dengan karpet Persia yang menyelimuti sebagian ruang tamu.Di sudut ruangan, terdapat sofa kulit berwarna cokelat tua yang menghadap ke perapian dengan bingkai batu alam, menciptakan suasana yang nyaman. Sebuah tangga melengkung dengan pegangan besi berukir mengarah ke lantai atas, menambah kesan megah tanpa terkesan berlebihan. Dekora
Nur terkejut mendengar ancaman halus itu. Ia menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tersenyum membuat Diana merasa di remehkan. Bukannya takut, Nur nampak tetap tenang, meski akhirnya gadis itu menunduk, melanjutkan pekerjaannya tanpa berkomentar. Nur tahu, berdebat hanya akan memperkeruh suasana. Namun, ancaman itu tetap terasa menusuk di hatinya. Diana kembali ke meja makan dengan wajah yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sementara Nur, meski merasa cemas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan lama untuk menghadapi masalah ini. "Ternyata gini ya rasanya dapat mertua sadis, bikin ngenes. Pantas aja mbak Lia sampai kering kerontang, suami pelit perhitungan ipar dan mertua julid. Jabang bayi amit-amit, jangan sampai aku juga kek gitu, bisa-bisa tubuhku yang langsing ini jadi tengkorak berjalan," ujar Nur tanpa suara. Meski begitu bibirnya tetap mencar-mencor sambil membilas piring. Setelah selesai sarapan Azka berpamitan untuk berangkat ke kantor. Diana pun mengant
Dini hari setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, Nur bersiap untuk pulang ke kediaman Excel Mahendra.“Kak, aku pulang dulu ya. Kamu cepat sembuh, biar kita bisa pulang bersama,” ucap Nur lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan ruang rawat. Ia menatap wajah Excel yang masih tertidur pulas, napasnya teratur, seolah sedang bermimpi damai.Nur menggigit bibir bawahnya, menahan haru. Karena tak berani mencium suaminya, ia hanya mencium jari telunjuk dan jari manisnya sendiri, lalu menempelkannya lembut pada pipi Excel.“Kak, aku percaya kamu pasti akan ingat semuanya lagi,” bisik Nur dengan mata berkaca-kaca sebelum beranjak pergi.Langkah Nur pelan saat melewati koridor rumah sakit. Pikirannya penuh dengan kenangan bersama Excel, juga rasa cemas yang tak kunjung sirna. Setiap detik Excel masih terbaring di sana, hatinya terasa tercekat oleh ketakutan kehilangan.Saat Nur keluar dari pintu utama rumah sakit, udara dingin di
Nur tertegun. Senyum bahagianya perlahan menghilang. "Kak... Ini aku, Nur... Istrimu..."Excel menggeleng pelan. "Aku... Aku enggak ingat," jawabnya, lalu menatap sekeliling dengan bingung.Dokter yang masih berada di dekat mereka segera memeriksa Excel lebih lanjut. "Ini kemungkinan efek dari mati suri. Otaknya mungkin mengalami trauma yang menyebabkan amnesia sementara," jelasnya.Nur menatap dokter dengan mata penuh kekhawatiran. "Amnesia? Apa itu berarti Kak Excel tidak akan ingat siapa pun dari kami?"Dokter menenangkan Nur. "Amnesia bisa bersifat sementara, Ibu. Dengan perawatan dan waktu, ingatannya mungkin akan kembali. Yang penting sekarang, kita pastikan kondisinya stabil dulu."Azka memegang tangan Excel, menggenggamnya erat. "Nak, kamu gak perlu khawatir. Kami akan ada di sini untukmu. Kami akan bantu kamu ingat semuanya."Excel memandang ayahnya dengan tatapan kosong. Nur duduk di sisi Excel, menggenggam tangannya dengan lembut."Kak Excel, enggak apa-apa kalau kamu engga
Lia tak menyangka sang adik terlihat begitu terpukul. Ia memandang Nur yang terus menggenggam tangan Excel, tubuhnya gemetar di tengah isaknya yang tak kunjung reda."Apa Nur begitu mencintai Excel?" batin Lia.Lia memeluk sang adik sambil menepuk lembut bahunya. "Sabar, Nur. Semua ini sudah takdir. Excel pasti ingin kamu kuat," ucap Lia, berusaha menghibur meski hatinya juga pilu.Nur menggeleng keras, wajahnya basah oleh air mata. "Tapi, Mbak, Kak Excel sudah janji kita akan bersama terus. Kebersamaan kita baru sebentar. Aku gak mau dia pergi secepat ini," isaknya dengan suara parau. Kepalanya bersandar di bahu Lia, tubuhnya lemah seolah tak sanggup menopang beban perasaan yang begitu berat.Lia menyeka keringat yang membanjiri kening sang adik. Namun, tiba-tiba tubuh Nur melemas, dan kesadarannya hilang."Nur! Nur, bangun!" pekik Lia panik sambil mengguncang pelan tubuh adiknya.Heri, yang sejak tadi hanya mematung, segera bergerak menghampiri. "Biar aku yang bawa dia!" katanya cep
Setibanya di depan rumah sakit, sebuah ambulans berhenti tak jauh dari mereka. Suara sirene yang sebelumnya terdengar kini mereda, meninggalkan keheningan yang terasa berat. Perawat itu menghentikan kursi roda Nur, memastikan semuanya baik-baik saja.Ambulans yang berhenti di depan rumah sakit itu memang ditujukan untuk mengangkut Excel. Petugas medis yang sebelumnya mendorong brankar keluar dari ruang ICU kini melangkah cepat ke arah ambulans, memastikan semuanya siap untuk perjalanan.Nur memejamkan mata, bibirnya bergetar lirih. "Ya Allah, jika Engkau masih berkenan memberiku waktu untuk bersamanya, lindungilah dia. Jangan biarkan dia pergi sebelum aku sempat mengucapkan betapa aku mencintainya. Berikanlah kekuatan untuknya, Ya Rabb, karena aku terlalu lemah untuk kehilangan dia. Di hatiku, kak Excel bukan hanya seorang suami, melainkan separuh napas yang aku butuhkan untuk bertahan. Dia telah menjadi candu yang tak bisa kulepaskan, meski sekejap saja.
Ruangan itu masih diliputi keheningan. Dokter dan asistennya sibuk mempersiapkan peralatan untuk memindahkan Excel, sementara Nur tetap memandang Azka dengan tatapan penuh tanya. Kecemasan menyelimuti wajahnya, tetapi ia mencoba menahan diri agar tetap tenang. "Nur, sebelumnya Papa sudah berdiskusi dengan dokter dan juga nak Heri. Excel akan dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Dengan begitu, Papa bisa terus memantau keadaannya tanpa meninggalkan pekerjaan di kantor yang sedang banyak sekali. Apalagi, perusahaan masih dalam proses pemulihan. Tidak mungkin kan Papa meninggalkannya terlalu lama." "Nur, Mbak-mu juga enggak mungkin meninggalkan anak-anak terlalu lama. Jadi, nanti di Jakarta kamu tinggal bersama kami dulu. Lia bisa lebih mudah merawatmu dan memastikan keadaanmu pulih kembali," sahut Heri sambil menatap Nur dengan serius. Lia yang masih berdiri di samping Nur mengangguk setuju. "Iya, Nur. Ku rasa itu jauh lebih baik. Lag
"Tapi, Mbak, Kak Excel beda. Aku suka sama dia sejak pertama kali bertemu, jadi izinkan aku untuk memperjuangkan perasaan ini. Dia nggak pernah memaksa aku untuk apa-apa. Dia selalu bilang kalau dia ingin semuanya berjalan sesuai kehendak aku juga," jawab Nur, mencoba meyakinkan Lia. Air mata yang sejak tadi ia bendung lolos begitu saja membanjiri wajah pucatnya.Lia mendengus kecil, meletakkan mangkok yang masih di pegang ke atas nakas lalu melipat tangannya di depan dada. "Ucapan manis begitu sudah sering aku dengar, Nur. Kamu tahu apa? Mereka bilang begitu cuma untuk bikin kita lengah. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," ujar Lia memperingati.Nur menggigit bibirnya, merasa kecil di hadapan Lia. "Aku tahu, Mbak. Tapi selama ini Kak Excel nggak pernah menyakitiku. Dia perhatian, dia...""Dia perhatian? Nur, perhatian itu bukan tanda cinta. Kadang itu cuma cara untuk menguasai hati kita tanpa kita sadar," potong Lia. "Dengar
_"Mas Azka,Maafkan aku atas segala luka yang pernah kutorehkan di hatimu. Aku tahu, aku telah menghancurkan kepercayaan dan cinta kita. Nafsu sesaat telah membutakan mata dan hatiku. Untuk putraku, Excel, maafkan Mama yang gagal menjadi sosok ibu seperti yang seharusnya. Mama tidak pernah benar-benar membenci kalian. Mama hanya marah pada diri sendiri, pada kelemahan yang membuat Mama tenggelam dalam rasa sakit tanpa mampu melawan. Excel, jaga istrimu baik-baik. Dia lebih kuat dari yang pernah Mama duga, dan kekuatannya akan menjadi cahaya dalam keluarga kalian. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanku."_Air mata Azka mengalir tanpa bisa ia tahan. Setiap kata pada surat itu menghantam hatinya dengan perasaan campur aduk—kesedihan, penyesalan, dan pengertian. Surat itu terasa seperti jeritan terakhir Diana, mencoba meminta pengampunan yang terlambat.Azka memejamkan mata, menggenggam surat itu erat di tangannya. "Diana... kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?" bisiknya pelan, s
Lia yang baru saja mendapat kabar dari Azka langsung memutuskan untuk terbang ke Bali bersama Heri, suaminya, meninggalkan anak-anak mereka di rumah."Astaga, Nur, kamu benar-benar bikin repot! Kenapa kamu enggak pernah dengerin omonganku? Bagaimana aku menjelaskan ini pada Bapak dan Mamak?" Lia terus menangis, suaranya bergetar penuh emosi. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Supri menuju bandara, air mata tak henti mengalir di pipinya.Heri, yang duduk di sampingnya, hanya bisa merangkul pelan, mencoba menenangkan istrinya. "Sabar, Li. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan langsung menyalahkan Nur sebelum kita mendengarnya sendiri."Lia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengendalikan diri, tetapi hatinya terasa semakin berat. "Tapi Bang, dia itu keras kepala banget. Coba aja kalau dia enggak nikah sama Excel engak bakal ada kejadian kayak gini. Lagian kenapa Nur seakan-akan lupa dengan syarat yang dia buat sendiri. Aku sudah capek mem
Mata Nur membelalak. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun Diana justru tertawa sinis melihat ketakutannya. Saat ia akan membalas, Diana lebih dulu mencela."Kamu pikir ada yang bakal datang menyelamatkanmu? Tidak ada, Nur. Kali ini, kamu hanya punya aku dan amarahku," lanjut Diana sambil memegang dagu Nur dengan kasar.Diana berdiri tegak, mengambil sebuah pisau kecil dari dalam saku jaketnya. Ia memainkan benda itu dengan santai, seolah ingin menambah ketegangan Nur."Kamu tahu," kata Diana sambil menatap pisau di tangannya, "aku sudah kehilangan segalanya. Suami, kebebasanku, rencanaku. Dan semua itu karena kamu. Jadi, apa salahnya kalau aku ambil sesuatu darimu juga?"Nur gemetar hebat, tubuhnya seakan membeku. Ia tahu Diana sedang di ujung kewarasan, dan ini bukan hanya ancaman kosong.Tak lama, Zarek kembali dengan membawa sebotol cairan bening. "Sudah siap, Tante," katanya dingin.Diana berbalik dengan senyum puas. "Bagus. Kita akan mulai pertunjukannya sekarang."Zarek men