Bruak!Parsel buah yang ada di tangan Nur seketika jatuh ke lantai, membuat suara yang menggema di ruangan itu. Matanya membulat, bibirnya bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Ka-k Ve-ro?" Nur berusaha memastikan, suaranya nyaris berbisik. Tatapan bingungnya beralih pada Excel yang hanya bisa mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun.Veronica tersenyum tipis, seolah tak menyadari keterkejutan yang melanda Nur. "Iya, kami sudah lama merencanakan ini, tapi semuanya tertunda karena kondisi Excel. Saya tetap setia menunggunya sampai dia sembuh."Nur masih terpaku di tempat. "Kak Excel, apa benar kamu akan menikah dengannya?" tanyanya pelan, suaranya bergetar, penuh dengan kekecewaan."Iya, Nur. Dan pernikahan kami akan segera berlangsung setelah aku keluar dari sini," balas Excel.Nur berdiri di hadapan Veronica, matanya menyala oleh kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. Kata-kata Excel tentang pernikahan mereka sebelumnya seperti belati yang menghujam dada
Veronica mengangguk sembari tersenyum menanggapi Excel.Excel menatap Veronica lebih dalam, seolah mencari jawaban yang tak pernah ia temukan sebelumnya. "Aku ingat semuanya, Vero. Janji-janji itu, harapan kita... semua yang pernah kita bangun bersama.""Iya, Sayang, aku sudah tidak sabar menanti hari bahagia kita. Kamu cepat sembuh ya, biar kita segera menyiapkan pernikahan yang kita idamkan," balas Vero.Vero memeluk Excel, bibirnya melengkung ke atas, ia merasa puas karena rencananya telah berjalan dengan mulus.Ruangan rumah sakit itu terasa lebih cerah dengan senyum Veronica yang terus menghiasi wajahnya. Ia tetap memeluk Excel, merasakan tubuh pria itu yang kini lebih hangat dari sebelumnya. Namun, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka berdua.Dokter masuk, diikuti oleh seorang perawat yang membawa alat pemeriksaan. Dengan ramah, dokter menyapa, “Selamat sore, Tuan Excel. Bagaimana perasaan Anda hari ini?”
Veronica tersenyum kecil, berjalan mendekat ke sisi ranjang. "Iya, Sayang. Tapi ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan. Ini penting. Kamu lupakan saja gadis itu ya, kalau kamu mengingat dia terus bisa-bisa pernikahan kita nanti bisa gagal karena kamu terus memikirkan wanita lain. Dan aku tidak ingin ada wanita lain dalam pernikahan kita."Excel menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Maaf, aku tidak akan mengingatnya lagi. Memangnya urusan apa? Apakah ada hubungannya dengan pekerjaanmu?”Veronica mengangguk cepat. “Iya, sesuatu yang berkaitan dengan klien penting. Kalau aku tidak menyelesaikannya malam ini, bisa berantakan semuanya. Aku janji, besok pagi aku akan kembali sebelum kamu keluar dari rumah sakit.”Excel terdiam sejenak, mencoba mencerna alasan Veronica. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa janggal. "Kenapa harus malam ini? Apa tidak bisa ditunda sampai besok?"Veronica menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan di matanya. "Tidak, Sayang. Ak
Lia langsung duduk tegak, napasnya memburu. Tubuhnya dingin oleh keringat, meskipun udara kamar terasa hangat. Tanpa pikir panjang, ia menyibak selimut dengan kasar dan melangkah turun dari tempat tidur. Gemuruh di dadanya tak bisa diabaikan, firasat buruk seolah menggantung berat di udara."Pak Supri, tunggu di rumah sakit. Aku akan segera ke sana menyusul," titah Lia dengan nada panik melalui telepon. Suaranya nyaris bergetar, namun tetap tegas. Tak menunggu jawaban, ia langsung memutus sambungan secara sepihak, tangannya gemetar menggenggam telepon."Bang...! Bangun, Bang! Nur hilang!" Lia mengguncang tubuh Heri yang masih terlelap di sampingnya.Heri mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kata-kata istrinya. Wajahnya yang kusut menandakan ia masih setengah sadar. "Apa? Hilang? Siapa yang bilang?" tanyanya dengan nada bingung."Pak Supri! Udah, cepetan bangun!" Lia berkata dengan cemas. Ia melangkah tergesa ke ranjang bayi, tempat kedua anak kembarnya, Rama dan Sinta, tertidur
Tok...tok...!Pak Supri mengetuk pintu ruangan Excel dengan hati-hati."Masuk!" terdengar suara dari dalam, tegas namun dingin.Pak Supri membuka pintu perlahan. Di dalam, Excel baru saja keluar dari kamar mandi, satu tangan memegang tiang infus yang mengikutinya. Wajahnya tampak lebih segar dibanding sebelumnya, tapi sorot matanya tajam dan tidak bersahabat."Permisi, Tuan Excel," sapa Pak Supri sopan. "Saya datang untuk menjemput Non Nur."Excel mengerutkan keningnya, lalu memandang Pak Supri dengan ekspresi bingung. "Nur?" tanyanya, suaranya datar."Iya, Nona Nur," jawab Pak Supri tegas namun bingung dengan reaksi Excel.Excel menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur dan menghela napas panjang. "Bukannya Nur sudah pulang sejak kemarin sore?"Pak Supri menatap Excel tak percaya. "Maksud Tuan?" tanyanya penuh kebingungan.Excel menegakkan tubuhnya, menatap lurus pada Pak Supri. "Kemarin, saat aku mulai me
"Ihh lepasin, Bang. Aku harus kasih pelajaran orang sombong itu!" ujar Lia saat sang suami menggelendengnya keluar."Anda jangan membuat keributan di sini, Bu. Kalau tidak mematuhi peraturan rumah sakit, saya akan seret anda dengan kasar!" ancam lelaki berseragam satpam."Pak, dia itu adik ipar saya. Jadi anda tidak berhak melarang sa....." Belum selesai mengucapkan kalimatnya tiba-tiba ponselnya berdering.Lia segera mengeceknya, berharap itu Nur yang menghubungi. Namun, bukannya merasa lega, ia justru semakin panik."Bapak?" ucap Lia. Ia segera melihat ke arah sang suami."Angkat saja siapa tahu penting," titah Heri."Tapi, Bapak vidio call, Bang. Duh lagian ngapain sih tiap kali telpon selalu vidio call," keluh Lia.Lia menghembuskan napas dengan kasar sebelum menggeser tombol hijau pada layar ponselnya."Assalamualaikum, Pak," sapa Lia berusaha tenang."Waalaikumsalam, Nduk,
"Excel, apa yang sudah terjadi? Kenapa Nur bisa pergi dan tidak pulang?" tanya Oma Mentari dengan khawatir setelah sampai di sisi sang cucu.Excel menghela nafas sejenak, dalam hatinya kenapa semua orang menghawatirkan gadis sederhana yang bernama Nur itu."Oma, Nur itu bukan siapa-siapa kita. Jadi, biarlah dia pergi," balas Excel.Azka dan Oma Mentari pun kompak terkejut. Mereka tak menyangka Excel akan berkata seperti itu setelah apa yang sudah Nur lakukan untuk keluarganya."Apa maksudmu, Xel? Nur itu istrimu, bahkan dia yang mengurus selama kamu sakit. Walau pun dia sangat lelah tetapi dia tetap tulus merawat dan menjagamu!" ucap Azka dengan tegas."Kenapa semua orang mengatakan kalau Nur itu istriku, padahal aku tidak merasa pernah menikahi perempuan itu. Masa iya, aku nikah sama bocil? Enggak level banget! Lagian aku sudah punya calon istri, Pa. Masa, Papa, lupa sama calon menantu sendiri," gerutu Excel. Ia langsung membaringkan tubuhnya dan menutup seluruhnya dengan selimut."E
Karena terlalu lapar Sera segera mengisi perutnya dan sebungkus nasi kucing dan meminum air putih sebanyak mungkin agar perutnya kenyang. Orang tuanya yang hanya buruh petani tetapi bertekad anaknya menjadi dokter membuat Sera tidak berdiam diri, ia berkuliah sambil kerja di kafe."Nur, kamu sebenarnya ada masalah apa? Coba kamu cerita sama aku, apa kamu bertengkar dengan mbakmu?" tanya Sera pelan. Setahu Sera Nur tinggal bersama sang kakak, ia sama sekali tak tahu bila Nur sudah menikah.Nur sama sekali tak menggubris pertanyaan temannya meski sudah berulang kali, ia tetap menangis dan meratapi kekecewaannya."Ya sudah kalau kamu belum mau cerita, tapi aku akan siap menjadi pendengarmu selama kamu membutuhkan ku. Sekarang kita istirahat ya, ini udah jam satu malam," ujar Sera. Setelah itu ia memilih memejamkan mata karena fisiknya terlalu lelah dan besok harus kuliah lagi.Kembali pada pagi ini, Sera sudah siap untuk berangkat
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh