Aira berada di sudut ruangan, setelah mendengar percakapan yang terjadi di antara Emily dan Steven. Rasa kecewa dan pahit menyelimuti hatinya saat mengetahui bahwa keluarga yang selama ini di idamkannya ternyata hanyalah ilusi. Aira merasa dikecewakan oleh tiga orang yang seharusnya paling dekat dengannya.Emily dan Steven, ibu dan anak yang selama ini ada dalam kehidupan Aira, tak lain adalah bagian dari masa lalu yang semakin terungkap dengan begitu sangat pahit. Aira merasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang gelap, tanpa tahu harus berbuat apa.Pikiran-pikiran memenuhi benaknya. Steven, suaminya sendiri, telah membohonginya sejak awal pernikahan. Suami yang dicintai selama lima tahun, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia yang tak pernah Aira duga.Aira tidak bisa mengendalikan emosinya. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya. Aira melangkah pergi dari ruangan itu, mencoba meredam emosinya, tapi setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat.Di da
Setelah berada di depan kediaman Adiwijaya, Aira dan Veline segera memasuki rumah tersebut dengan membawa koper mereka. Sari melihat dengan haru anak kecil yang ada dalam genggaman Aira. Dengan penuh kebahagiaan, Sari bertanya kepada Aira, "Apakah ini cucuku?""Iya, Ma, ini cucu mama!" kata Aira sambil memperkenalkan Veline.Sari langsung memeluk Veline dengan hangat, rasa bahagia dan harunya tak terbendung. Aira tersenyum melihat kebahagiaan ibunya dan melihat Veline berinteraksi dengan keluarga di rumah Adiwijaya."Terima kasih, Aira, sudah membawa Veline ke sini," ujar Sari penuh rasa syukur."Iya, Ma, Aira membawa Veline ke sini karena Aira tahu pasti kalian juga ingin bertemu dengannya," kata Aira sambil tersenyum bahagia.Sari juga turut tersenyum. "Vel, jangan malu-malu, ya. Ini rumahmu juga sekarang."Veline mengangguk antusias. "Iya, Oma! Veline suka rumah ini!"Mereka pun beralih masuk ke dalam rumah. Anwar yang tengah duduk di kursi roda yang melihat keceriaan mereka bertig
Ruangan kerja Steven dipenuhi dengan udara yang tegang. Meskipun berada di tengah tumpukan pekerjaan, fokusnya terpecah oleh masalah rumit yang melibatkan Aira dan dirinya. Steven melirik layar komputernya, tetapi pikirannya melayang jauh ke dalam persoalan pribadinya.Aryo, sahabat karib Steven, memasuki ruangannya dengan wajah penuh keheranan melihat Steven yang tampak begitu terganggu. "Steven, ada apa sebenarnya? Aku melihat kau seperti orang yang kehilangan arah."Steven menghela napas berat sebelum akhirnya memutuskan untuk berbagi dengan Aryo. "Aryo, semuanya menjadi kacau belakangan ini. Aira sudah tahu bahwa Veline adalah anakku, dan yang lebih mengejutkan, aku dan Michael adalah saudara kandung."Aryo membulatkan mata, terkejut mendengar pengakuan tersebut. "Apa? Saudara kandung dengan Michael? Bagaimana bisa?"Steven pun menceritakan dengan detail bagaimana awalnya ia terpisah dengan orang tuanya, Emily, ketika kabur dari rumah membawa mereka yang masih kecil, Aryo hanya bi
Aira yang berada di kediaman Adiwijaya merasa tegang saat berkumpul bersama keluarganya. Suasana haru dan kekhawatiran terasa di udara. Aira memutuskan untuk membicarakan keputusannya untuk berpisah dengan Steven. Sari, ibunya, mencoba membujuk putrinya agar memikirkan kembali keputusannya."Mama tahu ini sulit, Nak. Tapi pikirkanlah lagi, Steven sudah minta maaf, apa kalian tidak ingin berbicara terlebih dulu untuk menyelesaikan semua ini?" ucap Sari sambil memegang tangan Aira.Aira menggeleng lemah. "Ma, selama lima tahun, Steven merahasiakan banyak hal. Aku butuh waktu untuk menemukan jati diriku yang sebenarnya."Dian, kakak Aira, juga mencoba membujuk Aira. "Aira, mungkin Steven memang punya alasan tersendiri. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan."Air mata Aira berkelip, merasa sulit untuk memberikan penjelasan yang dapat menguatkan keputusannya. "Kak, ini bukan hanya soal alasan. Ini soal kepercayaan yang sudah hilang. Aku merasa harus menemukan diriku yang sejati, tanpa k
Ketika Aira hendak melihat Steven yang ingin menandatangani surat perceraian tersebut, tiba-tiba ia merasakan kepalanya yang begitu pusing. Aira menyentuh keningnya, tetapi tiba-tiba pandangannya buram, dan ia tergeletak di lantai tak sadarkan diri.Steven, yang saat itu berdiri di dekat meja, langsung bergerak cepat ke arah Aira yang pingsan. Ia merasakan detak jantungnya berpacu kencang, dan ketakutan membayangi pikirannya. Steven mencapai tubuh Aira dan meraih kepalanya dengan cemas."Aira ..."Steven dengan hati-hati menaruh kepala Aira di pangkuannya, berusaha memanggil istrinya untuk bangun. "Aira, bangunlah, aku mohon. Apa yang terjadi denganmu?" Steven memegang wajah Aira dengan lembut, berharap untuk melihat tanda-tanda kesadaran di matanya.Namun, Aira tetap tak merespon. Raut wajahnya pucat, dan Steven bisa merasakan kecemasan yang semakin menggelayuti dirinya. Ia merapalkan kata-kata penenang, sambil sesekali mencoba mengusap wajah Aira."Tenang, Aira. Semuanya akan baik-ba
Sinar matahari sore menerobos jendela ruangan rawat di rumah sakit, menandakan bahwa Aira dan Steven telah melewati berbagai peristiwa yang intens. Dokter Clara datang membawa kabar baik, dan sekarang, saatnya mereka pulang.Dokter Clara berkata, "Selamat, Steven dan Aira. Kesehatan Aira dalam kondisi baik, dan kami senang bisa memberikan izin pulang."Aira tersenyum bahagia, merasa bersyukur atas setiap perkembangan yang terjadi. Steven membantu Aira berdiri dan menemani dokter ke meja resepsionis untuk menyelesaikan administrasi."Terima kasih, Dokter. Kami sangat bersyukur atas semua bantuannya," kata Steven."Senang bisa membantu. Pastikan Aira tetap menjalani pemeriksaan rutin dan istirahat yang cukup. Jangan ragu untuk bertanya jika ada kekhawatiran."Setelah menyelesaikan proses administratif, Steven dan Aira bersiap-siap untuk pulang. Steven membantu Aira melepaskan pakaian pasien, dan mereka meninggalkan ruangan rawat menuju pintu keluar."Steven, aku baik-baik saja. Aku ingin
Steven membawa nampan sarapan ke kamar Aira dengan perasaan bahagia. Saat membuka pintu, ia melihat Aira masih tertidur nyenyak. Dengan hati-hati, Steven memasuki kamar dan menaruh nampan di atas meja.Aroma masakan yang lezat membangunkan Aira dari tidurnya yang damai. Ia menggeliat dan secara perlahan membuka matanya ketika mencium aroma yang menggoda.Ketika Aira sadar, ia melihat Steven yang tersenyum padanya. "Sudah bangun?" tanya Steven sambil merapikan rambut Aira.Aira mengangguk pelan, masih terlihat setengah sadar. "Apa ini?" tanyanya sambil menatap nampan sarapan di meja."Sebuah sarapan spesial untuk calon ibu dan bayi kita," jawab Steven sambil menunjuk nampan tersebut.Air lalu tersenyum, merasa terharu dengan perhatian Steven. "Terima kasih, Steven. Kamu benar-benar perhatian."Steven duduk di sisi tempat tidur dan memberikan nampan sarapan kepada Aira. "Selamat menikmati. Aku ingin pastikan kamu mendapatkan nutrisi yang cukup untukmu dan si kecil di dalam sana."Mereka
Steven memasuki kamarnya, lelaki yang sudah mengenakan kemeja dengan rapi, dan bersiap untuk berangkat kerja. Ia melihat Aira yang sudah keluar dari kamar mandi, Steven segera melangkah menuju Aira dan membantu istrinya untuk berjalan."Kamu masih mual?" tanya Steven.Aira mengangguk. "Iya."Sejak semalam, Aira tak bisa tidur karena rasa mual yang terus saja menderanya. Sampai Steven pun terus membantunya dengan memberikan minyak angin.Steven, yang tadinya hendak bekerja, menjadi galau sendiri. Ia tak mungkin meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti ini.Aira terlihat heran ketika Steven melepaskan kancing kemejanya. "Kenapa?" tanyanya."Sepertinya aku tidak akan masuk kerja lagi.""Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Kamu bilang pagi ini ada rapat, pergilah. Di sini juga ada Ibu yang membantuku. Ini kan pekerjaanmu, tidak boleh terbengkalai."Steven menatap Aira dengan cemas, masih ragu untuk meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu. Namun, Aira meyakinkannya de
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka