Ketika Aira hendak melihat Steven yang ingin menandatangani surat perceraian tersebut, tiba-tiba ia merasakan kepalanya yang begitu pusing. Aira menyentuh keningnya, tetapi tiba-tiba pandangannya buram, dan ia tergeletak di lantai tak sadarkan diri.Steven, yang saat itu berdiri di dekat meja, langsung bergerak cepat ke arah Aira yang pingsan. Ia merasakan detak jantungnya berpacu kencang, dan ketakutan membayangi pikirannya. Steven mencapai tubuh Aira dan meraih kepalanya dengan cemas."Aira ..."Steven dengan hati-hati menaruh kepala Aira di pangkuannya, berusaha memanggil istrinya untuk bangun. "Aira, bangunlah, aku mohon. Apa yang terjadi denganmu?" Steven memegang wajah Aira dengan lembut, berharap untuk melihat tanda-tanda kesadaran di matanya.Namun, Aira tetap tak merespon. Raut wajahnya pucat, dan Steven bisa merasakan kecemasan yang semakin menggelayuti dirinya. Ia merapalkan kata-kata penenang, sambil sesekali mencoba mengusap wajah Aira."Tenang, Aira. Semuanya akan baik-ba
Sinar matahari sore menerobos jendela ruangan rawat di rumah sakit, menandakan bahwa Aira dan Steven telah melewati berbagai peristiwa yang intens. Dokter Clara datang membawa kabar baik, dan sekarang, saatnya mereka pulang.Dokter Clara berkata, "Selamat, Steven dan Aira. Kesehatan Aira dalam kondisi baik, dan kami senang bisa memberikan izin pulang."Aira tersenyum bahagia, merasa bersyukur atas setiap perkembangan yang terjadi. Steven membantu Aira berdiri dan menemani dokter ke meja resepsionis untuk menyelesaikan administrasi."Terima kasih, Dokter. Kami sangat bersyukur atas semua bantuannya," kata Steven."Senang bisa membantu. Pastikan Aira tetap menjalani pemeriksaan rutin dan istirahat yang cukup. Jangan ragu untuk bertanya jika ada kekhawatiran."Setelah menyelesaikan proses administratif, Steven dan Aira bersiap-siap untuk pulang. Steven membantu Aira melepaskan pakaian pasien, dan mereka meninggalkan ruangan rawat menuju pintu keluar."Steven, aku baik-baik saja. Aku ingin
Steven membawa nampan sarapan ke kamar Aira dengan perasaan bahagia. Saat membuka pintu, ia melihat Aira masih tertidur nyenyak. Dengan hati-hati, Steven memasuki kamar dan menaruh nampan di atas meja.Aroma masakan yang lezat membangunkan Aira dari tidurnya yang damai. Ia menggeliat dan secara perlahan membuka matanya ketika mencium aroma yang menggoda.Ketika Aira sadar, ia melihat Steven yang tersenyum padanya. "Sudah bangun?" tanya Steven sambil merapikan rambut Aira.Aira mengangguk pelan, masih terlihat setengah sadar. "Apa ini?" tanyanya sambil menatap nampan sarapan di meja."Sebuah sarapan spesial untuk calon ibu dan bayi kita," jawab Steven sambil menunjuk nampan tersebut.Air lalu tersenyum, merasa terharu dengan perhatian Steven. "Terima kasih, Steven. Kamu benar-benar perhatian."Steven duduk di sisi tempat tidur dan memberikan nampan sarapan kepada Aira. "Selamat menikmati. Aku ingin pastikan kamu mendapatkan nutrisi yang cukup untukmu dan si kecil di dalam sana."Mereka
Steven memasuki kamarnya, lelaki yang sudah mengenakan kemeja dengan rapi, dan bersiap untuk berangkat kerja. Ia melihat Aira yang sudah keluar dari kamar mandi, Steven segera melangkah menuju Aira dan membantu istrinya untuk berjalan."Kamu masih mual?" tanya Steven.Aira mengangguk. "Iya."Sejak semalam, Aira tak bisa tidur karena rasa mual yang terus saja menderanya. Sampai Steven pun terus membantunya dengan memberikan minyak angin.Steven, yang tadinya hendak bekerja, menjadi galau sendiri. Ia tak mungkin meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti ini.Aira terlihat heran ketika Steven melepaskan kancing kemejanya. "Kenapa?" tanyanya."Sepertinya aku tidak akan masuk kerja lagi.""Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Kamu bilang pagi ini ada rapat, pergilah. Di sini juga ada Ibu yang membantuku. Ini kan pekerjaanmu, tidak boleh terbengkalai."Steven menatap Aira dengan cemas, masih ragu untuk meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu. Namun, Aira meyakinkannya de
"Dia istriku, lalu apa salahnya bila aku menghamilinya?" gumam Steven.Michael menggenggam kedua tangannya, darahnya sudah berdesir hebat, percikan api emosi dari kedua bola matanya sudah terlihat jelas."Kurang ajar!"Bugh!Michael mendaratkan pukulannya di perut Steven, ia memukulnya tanpa ampun, bahkan tak peduli bila Steven itu adalah saudara kandungnya sendiri.Steven terus menerima pukulan Michael tanpa melakukan perlawanan. Matanya menunjukkan keteguhan, meski tubuhnya terus menerima hantaman yang begitu pedih."Bukankah kita saudara?" ucap Steven dengan suara yang terengah-engah.Michael hanya mendengkus kesal. "Saudara? Itu hanya kata-kata kosong!"Pukulan demi pukulan terus menghantam Steven, tetapi ia tetap berdiri dengan sikap tegar. Meskipun tampak lemah, dalam dirinya terdapat kekuatan untuk bertahan.Tiba-tiba, Michael menghentikan pukulannya. "Aku akan memenangkan Aira kembali. Kamu tidak pantas memiliki dia."Steven tersenyum pahit. "Jika itu yang kamu inginkan, lakuka
Setelah pulang dari luar negeri, Carlos mendengar kabar bahwa putranya, Steven, telah ditemukan. Kegembiraan yang memenuhi hati Carlos mendorongnya untuk segera menuju tempat tinggal Steven. Ditemani oleh supir pribadinya, Carlos bergegas menuju apartemen Steven.Mobil meluncur dengan lancar dan akhirnya tiba di depan apartemen. Setelah menghentikan laju mobilnya, supir pribadinya berkata, "Kita sudah sampai, Tuan." "Apa kamu yakin alamatnya tidak salah?" tanya Carlos.Supir tersebut mengangguk. "Saya yakin, Tuan."Carlos mengangguk dan melangkah keluar dari mobil. Dengan langkah cepat, ia memasuki lobby apartemen. Namun, di sana ia bertemu dengan putrinya, Ivy.Ivy, yang melihat kedatangan ayahnya, segera menghampirinya. "Papa ..."Carlos tersenyum dan memeluk putrinya. "Kenapa kamu ada di sini, Ivy?"Ivy mendongak dan bertemu dengan pandangan hangat ayahnya. "Beberapa hari ini Ivy sering ke tempat Kak Steven untuk membantu menjaga Kak Aira," jawab Ivy."Kamu sudah bertemu dengan mer
Ketika mereka tiba di rumah sakit, suasana di ruang tunggu terasa tegang. Aira dan Steven mencari-cari keluarganya. Setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan Sari yang tampak khawatir."Ma, apa ada kabar terbaru tentang Papa?" tanya Aira.Sari menggelengkan kepala. "Belum, Sayang. Mereka masih melakukan serangkaian tes. Kita hanya perlu bersabar."Aira begitu khawatir dengan semua ini, ia takut terjadi sesuatu dengan papanya. Dian yang melihat Aira tampak khawatir segera menyuruhnya untuk duduk."Duduklah, Aira."Aira mengangguk. "Terima kasih, Kak."Aira lalu duduk perlahan di kursi tunggu, menunggu dokter yang sedang memeriksa ayahnya."Kak, Aira takut terjadi apa-apa dengan Papa," gumam Aira yang merasa khawatir dengan kondisi kesehatan papanya.Dian mengulurkan tangannya menggenggam erat tangan adiknya. "Kita harus berdoa untuk kesembuhan Papa, Aira."Sementara itu, Steven mencoba memberikan dukungan pada Aira dengan menyentuh pundaknya dengan perlahan. "Semua akan baik-baik saj
Keluarga Adiwijaya seharusnya merayakan ulang tahun ke-59 Anwar besok, namun di malam yang sama Anwar harus meninggalkan mereka selamanya. Semua orang di keluarga Adiwijaya tengah berduka karena kepergian sang kepala keluarga. Sari, sebagai istri Anwar, tak mampu menahan tangisnya saat melihat suaminya yang tertidur pulas tanpa bangun kembali. Begitu juga dengan kedua anaknya, Aira dan Dian, yang sama-sama menangis di samping jenazah sang ayah.Sejak menikah dengan Anwar, Sari sangat tergantung padanya karena Anwar adalah sosok yang selalu memberikan dukungan dan perlindungan bagi keluarganya. Mereka selalu bekerja sama untuk mengatasi setiap permasalahan yang mereka hadapi. Kini, kepergian Anwar meninggalkan Sari tanpa sosok yang selalu memberikan keamanan dan perlindungan."Pa, kenapa kamu begitu cepat meninggalkan mama. Apa mama sanggup bila hidup tanpamu?" gumam Sari dengan isak tangisnya.Dian, anak sulung dari pasangan Anwar dan Sari, selalu dianggap sebagai sosok yang kuat dan