"Hei! Kamu kenapa?" Marvin tentu saja panik dan khawatir melihat reaksi tubuh Nara. Gadis itu terbangun dari tidur sambil berteriak. Tatapan matanya terlihat ketakutan. Tak hanya itu, istrinya bahkan langsung menangis.
"Nara, hei, lihat aku!" Marvin menangkup wajah Nara dan membuat mereka berhadapan. "Are you oke?" Tatapan mata Marvin tampak khawatir.
Namun, bukan jawaban yang Marvin dapatkan. Gadis yang ditanyainya itu justru berhambur memeluknya erat. Dan, terisak.
"Jangan tinggalin aku," ujar Nara disela-sela isak tangisnya. Kedua tangan gadis itu melingkar erat di leher Marvin.
Meskipun sempat terkejut dengan tindakan Nara. Marvin yang mendengar ucapan bernada memelas dari gadis itu. Lantas memilih untuk membalas pelukan Nara.
"It's oke. Aku di sini. Kamu tenang, ya!" kata Marvin pelan. Diusapnya punggung sang istri penuh perhatian. Sampai suara isakannya perlahan mulai tenang.
"Apa kamu mimpi buruk?" Pertanyaan dari Marvin menyadarkan Nara. Sadar dengan situasi yang terjadi di sekitarnya. Cepat-cepat Nara mengurai pelukannya.
"Ma-maaf!" Nara meminta maaf dengan perasaan canggung. Ia menundukkan wajah dan tidak berani menatap pria yang telah menjadi suaminya.
Sempat merasa aneh dengan perubahan sikap gadis di depannya. Akan tetapi, Marvin memilih untuk bersikap biasa saja. "Tidak apa-apa. Kita sudah menikah. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita bisa saling memahami satu sama lain."
Apa yang Marvin ucapkan terasa seperti tamparan keras bagi Nara. Ya, sekarang dirinya sudah menikah dengan pria di hadapannya saat ini. Tidak sepantasnya Nara memimpikan pria lain.
"Tapi, mimpi itu seperti nyata. Apa mereka saling berhubungan?" Nara membatin dengan risau. "Ya Tuhan! Semoga saja mimpiku itu bukan suatu pertanda. Di manapun dia berada saat ini. Tolong lindungi dia." Imbuh Nara kembali berdoa dalam hati.
Marvin masih menunggu respon gadis di depannya. Namun, tak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir Nara. Hal ini semakin membuat Marvin penasaran.
"Sebenarnya apa yang kamu mimpikan?" ucapnya dalam hati.
Seakan tersadar sedang diperhatikan. Nara jadi salah tingkah. Gadis itu berdehem sebentar untuk menetralisir rasa gugupnya.
"Maaf, ya, Mas. Sudah mengganggu istirahat kamu," cicit Nara merasa tak nyaman. Sejujurnya apa yang Nara ucapkan itu tulus dari hati yang terdalam.
Gadis itu tidak bermaksud membuat kegaduhan. Terlebih masalah mimpi yang baru saja dialami. Itu di luar kuasanya.
"Sudahlah. Tidak masalah. Bagaimana perasaanmu sekarang? Butuh sesuatu?" Daripada memperpanjang masalah mimpi. Marvin lebih memilih untuk menanyakan hal lain pada Nara.
"Aku tidak apa-apa." Nara menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kembalilah istirahat." Marvin berucap sambil tersenyum. Namun, Nara justru bergeming. Itu membuat kerutan di kening Marvin muncul. "Ada apa?"
"Aku ingin minum," kata Nara sambil melihat ke arah nakas.
"Oh, tunggu sebentar!" Tanpa disangka oleh Nara. Pria yang siang tadi bersikap dingin itu, berubah menjelma menjadi perhatian.
Terbukti dari tindakannya saat ini. Marvin dengan cekatan mengambilkan botol mineral yang terletak di nakas, di samping kepala ranjang. Dan, membukakannya lebih dulu sebelum diberikan pada Nara.
"Ini minumlah!" ucap Marvin.
"Terima kasih." Nara menerimanya dan langsung menenggak hingga tersisa setengah botol air mineral itu.
Rasa kering di tenggorokan yang sempat terasa gersang. Akhirnya bisa Nara lepaskan juga. Gadis itu lantas meminta penutup botol dari tangan Marvin.
Marvin memberikannya begitu saja. Sementara Nara menutup botol mineral di tangannya. Fokus Marvin justru tertuju pada bibir basah istrinya. Tanpa sadar, pria itu meneguk ludah.
"Nara," panggil Marvin dengan suara tercekat.
Gadis itu lantas mendongak. Dan, langsung bersitatap dengan mata Marvin. Tatapan pria itu terlihat sayu. Dengan tubuh yang sedikit condong ke arah Nara.
Entah keberanian dari mana, tangan Marvin tiba-tiba bergerak memegang dagu Nara. Gadis itu terpaku dengan apa yang Marvin lakukan. Sampai akhirnya sesuatu yang lembut dan kenyal menabrak bibirnya.
Debaran jantung Nara bertalu-talu. Bersamaan dengan kedua tangannya yang mencengkeram erat selimut. Sementara botol mineral tadi sudah terlepas begitu saja.
"Apa yang dilakukannya?!" Nara menjerit dalam hati. Sementara tubuhnya kaku.
Karena Nara diam saja, Marvin berpikir kalau gadis itu telah memberinya izin. Merasa tidak ada penolakan, membuat Marvin semakin berani dan memperdalam pagutannya. Nara memejamkan mata, berusaha untuk menikmati apa yang Marvin lakukan.
"Ingat Nara! Dia adalah suamimu sekarang!" batin Nara memperingati diri sendiri. Alhasil gadis itu hanya bisa pasrah dengan apa yang suaminya perbuat.
Marvin pun semakin menggila dan tangannya dengan lancang mulai merayap ke beberapa aset terpenting milik Nara. Terutama dua gundukan yang terasa pas di tangan Marvin. Pria itu meremasnya.
Nara tersadar dengan apa yang Marvin lakukan. Tiba-tiba saja mimpi buruknya berkelebatan. Kembali menciptakan rasa tidak nyaman untuk gadis itu. Seakan kembali ke akal sehatnya.
Tiba-tiba Nara mendorong tubuh Marvin dengan kuat. Sehingga ciuman mereka terlepas dengan paksa. Marvin jelas terkejut dengan apa yang Nara lakukan.
"Maaf, Mas. A-aku belum siap melakukannya."
Jederrr!
Ungkapan Nara bagaikan tamparan keras bagi Marvin. Pria itu tidak menyangka akan mendapatkan penolakan seperti ini. Terlebih itu dari gadis yang telah sah menjadi istrinya sendiri.
"Apa yang salah?" tanya Marvin heran. Pria itu berusaha untuk menekan syahwat yang sudah berada di ubun-ubun.
Daripada menuruti napsu, Marvin memilih untuk menanyakan alasan sang istri menolaknya. "Apa aku terlalu kasar padamu?"
Cepat-cepat Nara menggelengkan kepala. "Bukan seperti itu, Mas. Kamu gak salah," kilah Nara.
"Lalu kenapa? Kita sudah sah menjadi suami istri. Aku juga ingin melakukannya denganmu, Nara. Lalu kenapa kamu menolakku?" ucap Marvin dengan nada kecewa.
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sama kamu, Mas. Tolong beri aku waktu-"
"Kapan?" Ucapan Nara langsung dipotong oleh Marvin. Pria itu menatap wajah Nara dengan datar. "Kapan kamu siap melakukannya?"
Glek.
Mendengar pertanyaan penuh tekanan dari Marvin. Membuat Nara susah payah menelan saliva. Gadis itu menarik selimut dan mencengkeramnya erat.
"Aku akan datang padamu ketika sudah siap, Mas. Aku janji!" ujar Nara bersungguh-sungguh. Meskipun saat ini nyalinya menciut mendapati tatapan datar dari sang suami.
Namun, Nara benar-benar tulus dengan ucapannya. Gadis itu hanya perlu sedikit waktu dari Marvin. Waktu untuk menata hatinya sendiri. Supaya bisa menerima sepenuhnya pernikahan ini.
Dengan begitu, Nara tidak perlu lagi merasa terbebani. Sebab, perasaannya saat ini masih mengganjal. Nara belum bisa membiarkan Marvin masuk ke dalam hatinya.
"Aku berjanji padamu, Mas. Setelah aku berhasil menata hatiku dengan baik. Aku akan datang padamu. Dan, memberikan seluruh hidupku padamu!" ucap Nara dengan suara lirih.
Bukannya merasa senang dengan jawaban yang Nara berikan. Marvin justru semakin dibuat kecewa. Tak perlu dijelaskan lagi. Dengan ucapan Nara seperti itu, Marvin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi, apa belum selesai?" tanya Marvin sarkas. Tatapan pria itu berubah tajam. Sementara Nara menunduk dalam.
Melihat Nara terdiam, membuat tebakan Marvin semakin yakin. Pria itu mengusap wajah dengan kasar. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan gadis seperti Nara?
Namun, untuk melepaskannya pun rasanya itu tidak mungkin. Bahkan tidak akan pernah! Ya. Marvin sudah terlanjur tertarik dengan Nara. Bagi Marvin apapun yang sudah menjadi miliknya. Pria itu tidak akan pernah melepasnya.
Apalagi bermaksud memberikan pada orang lain. Tidak akan pernah! "Cepat selesaikan masalahmu itu. Aku tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita yang masih berhubungan dengan pria lain."
Suara Marvin terkesan datar dan dingin. Sehingga membuat Nara terpaku dengan mata berkaca-kaca. Dengan lemah Nara mengangguk.
"Jika dalam waktu dekat. Kamu masih belum selesai juga. Jangan salahkan aku jika nantinya aku akan turun tangan dan membuatmu menyesal. Seumur hidup!" tegas Marvin, kemudian bangkit dari tempatnya.
•••
Nara duduk termenung di sebuah kafe. Gadis itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebatas bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebuah jepit kecil terselip di atas telinga.Di atas meja di depannya sudah tersaji segelas coklat hangat, yang masih mengepulkan asap. Namun, tatapan Nara masih terlihat gelisah ke arah pintu masuk. Kemudian beralih pada gawainya."Aku tunggu kamu sampai jam 8. Kalau sampai gak datang. Selamanya kita tidak akan pernah ketemu lagi. Karena ini kesempatan terakhir kita untuk ketemu." Sebuah pesan Nara tuliskan dan kirim pada sebuah kontak.Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera datang dan menemuinya. Namun, sampai menit berlalu pesan itu tidak juga dibaca. Menit telah berubah jadi jam. Batas waktu yang ditentukan Nara telah habis.Tapi orang yang diharapkannya datang tidak juga terlihat batang hidungnya. Minuman coklat hangat pesanan Nara pun telah dingin. Sudah jelas. Orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang
Fikri menatap iba pada gadis yang pernah bekerja di kafenya. Tak adalagi keceriaan di wajah cantik Nara. Gadis periang yang selalu mencairkan suasana saat bekerja. Kini tampak rapuh dan menyedihkan. Sebagai atasan sekaligus sahabat dari mantan kekasih gadis itu. Fikri tentu sangat kasihan melihatnya dalam keadaan seperti ini."Seandainya kamu melihatnya, Vin. Mungkin kamu bisa tahu ... kalau bukan cuma kamu yang sakit. Bahkan, gadis yang kamu cintai itu lebih kacau penampilannya dari biasanya." Fikri bergumam lirih."Gak adalagi Nara yang kita kenal dulu, Vin. Sekarang yang aku lihat hanya seorang gadis yang penuh luka dan rapuh. Aku yakin bukan ini yang dia inginkan," imbuhnya kembali bergumam.Mata pria itu terasa panas, cepat-cepat Fikri mengusap wajah dengan kasar. Ia tidak ingin ada yang melihatnya menangis. Meskipun sejujurnya, hati Fikri ikut perih menyaksikan Nara yang menangis seperti itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.Karena menghibur pun, rasanya tidak mungkin. Men
Seorang gadis duduk dengan tatapan kosong. Di depannya ada meja rias dan cermin besar. Di samping gadis itu, seorang perias pengantin tengah sibuk mendandaninya. Nara Formosa nama gadis tersebut.Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang besar di keluarga kaya. Hari ini akan segera menikah. Ini adalah hari pernikahan Nara. Pernikahan yang tidak pernah Nara mimpikan. Akan terjadi secepat ini.Bukan Nara tidak bahagia dengan pernikahan yang akan terjadi. Masalahnya, gadis itu tidak tahu dan tidak kenal dengan pria yang akan menikahinya. Pernikahan yang Nara lakukan merupakan pernikahan bisnis.Perusahaan Bagaskara tengah di ambang kebangkrutan dan terancam gulung tikar. Demi menstabilkan keadaan perusahaan, Bagaskara yang merupakan ayah Nara. Mencoba mencari koneksi untuk mendapatkan kucuran dana.Akhirnya pria paruh baya itu memberanikan diri mendatangi Aurio Grup. Pemilik Aurio Grup ternyata mau membantu Bagaskara. Namun, sebagai timbal baliknya Bagaskara juga harus memberikan sesuatu
"Saudara Marvin Aurio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah yang walinya dipercayakan kepada saya Mahmudi Alimuddin dengan maskawin emas seberat dua puluh gram dan sebuah rumah mewah dibayar tunai!" ucap penghulu seraya mengayunkan genggaman tangannya, tepat setelah kalimatnya selesai."Saya terima nikah dan kawinnya Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah dengan maskawin yang tersebut di atas dibayar tunai!" Suara Marvin terdengar lantang dan tegas. Menggema di udara."Bagaimana saksi pertama?" tanya penghulu pada saksi dari pihak mempelai pria."Sah!" sahut saksi pertama cepat."Saksi kedua?" Penghulu beralih pada saksi dari mempelai wanita."Sah!" jawab saksi kedua mantap. Diikuti oleh para hadirin yang hadir menyaksikan ijab qobul pasangan pengantin tersebut."Alhamdulillah ...." Suara syukur penghulu terdengar lega. Doa usai ijab qobul pun mengalun begitu saja. Dipimpin oleh penghulu dan diaminkan oleh semua orang."
Marvin sangat menikmati wajah panik yang begitu jelas di depannya. Pria itu terus maju mengikis jarak. Namun, gadis cantik di depannya justru semakin mundur. Menjauh dan bermaksud mempertahankan jarak di antara mereka.Hal itu tidak menyurutkan langkah Marvin. Pria itu terus berjalan dan akhirnya berhasil membuat Nara terpojok. Gadis itu kini sudah tak bisa menghindar lagi. Sebab, tubuhnya sudah membentur dinding.Sebelah tangan Marvin bertumpu pada dinding. Sementara pria itu terus menatap wajah Nara yang terlihat gugup. Jarak yang begitu dekat, membuat Nara dapat menghirup aroma maskulin yang menguat dari tubuh Marvin.Aroma tubuh pria di depannya ini terasa menggelitik hidung Nara. Dan, membuat hati gadis itu semakin tak karuan. Berdebar kencang. Sehingga Nara terpaksa harus menahan napas. Untuk sesaat."Ber-berhenti!" ujar Nara terbata. Ketika tubuh Marvin semakin dekat dan hendak menempel padanya. Kedua tangan Nara berada di depan dada. Menahan tubuh Marvin."Ada apa? Bukankah in