Seorang gadis duduk dengan tatapan kosong. Di depannya ada meja rias dan cermin besar. Di samping gadis itu, seorang perias pengantin tengah sibuk mendandaninya. Nara Formosa nama gadis tersebut.
Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang besar di keluarga kaya. Hari ini akan segera menikah. Ini adalah hari pernikahan Nara. Pernikahan yang tidak pernah Nara mimpikan. Akan terjadi secepat ini.
Bukan Nara tidak bahagia dengan pernikahan yang akan terjadi. Masalahnya, gadis itu tidak tahu dan tidak kenal dengan pria yang akan menikahinya. Pernikahan yang Nara lakukan merupakan pernikahan bisnis.
Perusahaan Bagaskara tengah di ambang kebangkrutan dan terancam gulung tikar. Demi menstabilkan keadaan perusahaan, Bagaskara yang merupakan ayah Nara. Mencoba mencari koneksi untuk mendapatkan kucuran dana.
Akhirnya pria paruh baya itu memberanikan diri mendatangi Aurio Grup. Pemilik Aurio Grup ternyata mau membantu Bagaskara. Namun, sebagai timbal baliknya Bagaskara juga harus memberikan sesuatu yang berharga.
"Saya mempunyai dua orang putri. Bagaimana kalau saya menikahkan salah satu putri saya dengan Anda?" Itulah kesepakatan yang Bagaskara berikan saat itu.
Gila memang, tapi itulah kenyataannya. Meskipun tidak yakin penawarannya akan diterima. Bagaskara tetap berharap pemilik Aurio Grup menerima tawarannya. Keringat dingin mulai muncul di permukaan kulit Bagaskara.
Ketika pria dingin di depannya tak juga memberikan jawaban. Sampai lima menit lamanya. Terdengar helaan napas kasar dari pria yang sedari tadi diam.
"Baiklah. Saya terima tawaran Anda." Jawaban itu berhasil membuat Bagaskara lega. Pria itu berulang kali berterima kasih.
Kerja sama pun terjadi begitu saja. Bagaskara kemudian kembali ke rumah dan bermaksud memberitahu istri dan juga anaknya. Namun, siapa sangka ternyata membujuk sang anak jauh lebih sulit daripada membujuk rekan bisnisnya.
"Pokoknya aku gak mau nikah muda! Ayah dengar itu?! Karirku baru saja naik, Yah! Aku gak mau menghancurkan mimpiku jadi model. Hanya untuk menikah dengan rekan bisnis Ayah itu. Aku tidak mau!" Zaskia Maureen- putri bungsunya menolak keras. Saat Bagaskara mengutarakan maksudnya.
Bertepatan dengan itu, Nara baru saja pulang dari bekerja. Gadis itu berdiri di pintu masuk. Terkejut menyaksikan keluarganya yang bersitegang.
"Bagaimana kalau Nara saja yang menggantikan Zaskia menikah, Yah?" Suara Maureen yang merupakan istri dari Bagaskara menginterupsi.
Nara tentu saja terkejut. Sementara Bagaskara langsung menghampiri putri sulungnya itu. Menceritakan kesulitan yang tengah dihadapi dan juga kesepakatan kerja sama yang disepakati dengan pemilik Aurio Grup.
"Tapi, Yah ...."
"Sudahlah, Kak! Lebih baik kakak ikuti saja keinginan kami." Zaskia segera menyela.
"Iya, Ra. Anggap saja kamu sedang membalas budi pada kami. Kami sudah mengangkatmu jadi anak dan merawatmu selama ini. Kami harap, kamu tidak melupakan itu!" Maureen menimpali dengan suara tegas.
Akhirnya Nara tidak bisa menolak. Gadis itupun mengangguk setuju. Walaupun dengan berat hati.
Ceklek!
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Nara. Lewat pantulan cermin di depannya, Nara bisa melihat siapa yang datang. Maureen dan Zaskia tampak berjalan mendekat.
"Apakah sudah selesai?" tanya Maureen pada si perias.
"Sudah, Nyonya." Sang perias menjawab sambil mengangguk sekilas.
"Kamu boleh pergi!" usir Maureen sambil mengibaskan sebelah tangan. Perias itu mengangguk patuh dan pergi begitu saja.
Tinggallah Maureen dan kedua putrinya. Maureen berjalan lebih dekat pada Nara. Kedua tangan menyentuh bahu gadis yang sudah siap dan tampil sangat cantik tersebut.
"Ingat, Nara...jangan pernah berpikir untuk kabur ataupun menggagalkan pernikahan hari ini. Karena nasib keluarga kita bergantung pada kebaikan kamu. Mengerti!" Maureen berbicara dengan nada penuh penekanan.
"Nara ngerti, Ma. Mama jangan khawatir," balas Nara.
"Bagus. Sekarang ayo berdiri. Semua orang sudah menunggu!" ajak Maureen. Tak ada yang bisa Nara lakukan selain menurut. Sebab, dia tidak ingin membuat keluarganya kecewa.
Meskipun harus mengorbankan perasaannya sendiri. Semua itu tidak setara dengan kebaikan kedua orang tua angkatnya. Yang selama ini telah membesarkan dan menyekolahkannya.
•••
Pernikahan Nara diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Para tamu undangan yang hadir sebagian besar adalah rekan bisnis dari sang ayah dan juga relasi dari Aurio Grup. Terlihat sangat ramai dan meriah.
Para pria berjas mahal dan wanita bergaun elegan. Semua tampak memenuhi ruangan. Perhatian semua orang dialihkan pada satu titik. Di mana calon mempelai wanita muncul diiringi oleh dua wanita cantik lainnya di sisi kanan dan kiri.
“Wah, ternyata pengantin wanitanya cantik ya!” Suara desas-desus dari para tamu undangan terdengar saling berbisik. Meyuarakan kekaguman mereka pada mempelai wanita yang memasuki aula.
Beberapa meter dari jarak Nara berjalan. Seorang pria tengah duduk membelakanginya. Di depan pria itu, duduk seorang pria paruh baya. Dengan sorban tersampir di kedua pundak dan mengenakan kopiah.
Di kedua sisi lainnya ada Bagaskara dan seorang pria paruh baya lainnya. Entah siapa, yang jelas pria itu adalah saksi dari pihak mempelai pria. Maureen lekas membantu Nara untuk duduk di samping mempelai pria.
"Berhubung kedua mempelai sudah hadir di antara kita. Bagaimana kalau kita langsung saja ke acara selanjutnya?" ucap pembawa acara mengalihkan perhatian semua orang.
“Karena waktu sudah semakin siang. Kepada pak penghulu dipersilakan untuk memimpin acara ijab qobul-nya.” Lanjut pembawa acara mempersilakan waktu dan tempat pada penghulu yang bertugas.
"Terima kasih pada Mas MC atas waktu yang diberikan pada saya. Sebelum acara dimulai, ada baiknya kita cek dulu kelengkapan dokumen dan persyaratan pernikahannya." Penghulu itu berbicara dengan ramah dan langsung diangguki oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara Nara masih saja menundukkan wajah. Saat para pria di depannya tengah memeriksa kelengkapan dokumen pernikahan. Tak ada yang kurang. Semua persyaratan sudah lengkap.
Namun, penghulu tidak langsung memulai acara. Beliau justru mengajukan pertanyaan di luar dugaan. Membuat semua orang hening.
"Maaf Mas Marvin, sebelum acara dimulai. Saya ingin menanyakan sesuatu pada Anda sebagai mempelai pria. Apa benar wanita di samping Anda ini adalah calon Anda yang sebenarnya? Coba dilihat dulu," ujar penghulu dengan senyum mengembang.
Sebelumnya, Marvin tidak mau melihat ke arah mempelai wanita. Pria itu bahkan selalu memasang wajah datar. Namun, karena ditanya seperti itu oleh penghulu. Akhirnya mau tak mau Marvin melakukan apa yang disarankan oleh penghulu.
Pria itu menoleh ke samping untuk melihat wajah calon istrinya. Tepat pada saat itu, Nara juga mengangkat wajah dan menoleh. Keduanya saling menatap.
Deg.
Kedua mata Nara terbelalak melihat wajah yang terpampang di hadapannya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga. Kedua matanya memanas bersamaan dengan rasa nyeri yang kembali berdenyut.
"Bagaimana mungkin?" batin Nara bergumam.
Berbeda dengan Nara yang perasaannya menjadi kacau. Marvin justru terpukau dengan kecantikan gadis itu. Pria itu memandang gadis di depannya tanpa berkedip.
"Bagaimana, Mas? Apa benar ini mempelai wanitanya?" tanya penghulu. Seketika menyadarkan Marvin. Pria itu kembali mengatur ekspresi wajahnya.
"Ya." Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Marvin. Jawabannya cukup singkat, padat dan jelas.
"Baiklah. Kalau begitu mari kita lanjutkan acara selanjutnya," ujar penghulu kembali melanjutkan acara.
Pria itu menjabat tangan Marvin dan mengucapkan ijab. Sementara Marvin mendengarkan dengan penuh perhatian. Berbeda dengan Marvin yang tengah fokus mendengarkan kalimat ijab qobul. Nara yang duduk di sisinya tampak memandang dengan kosong.
"Nggak! Ini semua gak mungkin. Dia ...." Nara bermonolog dalam hati dengan perasaannya yang kacau. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
•••
"Saudara Marvin Aurio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah yang walinya dipercayakan kepada saya Mahmudi Alimuddin dengan maskawin emas seberat dua puluh gram dan sebuah rumah mewah dibayar tunai!" ucap penghulu seraya mengayunkan genggaman tangannya, tepat setelah kalimatnya selesai."Saya terima nikah dan kawinnya Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah dengan maskawin yang tersebut di atas dibayar tunai!" Suara Marvin terdengar lantang dan tegas. Menggema di udara."Bagaimana saksi pertama?" tanya penghulu pada saksi dari pihak mempelai pria."Sah!" sahut saksi pertama cepat."Saksi kedua?" Penghulu beralih pada saksi dari mempelai wanita."Sah!" jawab saksi kedua mantap. Diikuti oleh para hadirin yang hadir menyaksikan ijab qobul pasangan pengantin tersebut."Alhamdulillah ...." Suara syukur penghulu terdengar lega. Doa usai ijab qobul pun mengalun begitu saja. Dipimpin oleh penghulu dan diaminkan oleh semua orang."
Marvin sangat menikmati wajah panik yang begitu jelas di depannya. Pria itu terus maju mengikis jarak. Namun, gadis cantik di depannya justru semakin mundur. Menjauh dan bermaksud mempertahankan jarak di antara mereka.Hal itu tidak menyurutkan langkah Marvin. Pria itu terus berjalan dan akhirnya berhasil membuat Nara terpojok. Gadis itu kini sudah tak bisa menghindar lagi. Sebab, tubuhnya sudah membentur dinding.Sebelah tangan Marvin bertumpu pada dinding. Sementara pria itu terus menatap wajah Nara yang terlihat gugup. Jarak yang begitu dekat, membuat Nara dapat menghirup aroma maskulin yang menguat dari tubuh Marvin.Aroma tubuh pria di depannya ini terasa menggelitik hidung Nara. Dan, membuat hati gadis itu semakin tak karuan. Berdebar kencang. Sehingga Nara terpaksa harus menahan napas. Untuk sesaat."Ber-berhenti!" ujar Nara terbata. Ketika tubuh Marvin semakin dekat dan hendak menempel padanya. Kedua tangan Nara berada di depan dada. Menahan tubuh Marvin."Ada apa? Bukankah in
"Hei! Kamu kenapa?" Marvin tentu saja panik dan khawatir melihat reaksi tubuh Nara. Gadis itu terbangun dari tidur sambil berteriak. Tatapan matanya terlihat ketakutan. Tak hanya itu, istrinya bahkan langsung menangis. "Nara, hei, lihat aku!" Marvin menangkup wajah Nara dan membuat mereka berhadapan. "Are you oke?" Tatapan mata Marvin tampak khawatir.Namun, bukan jawaban yang Marvin dapatkan. Gadis yang ditanyainya itu justru berhambur memeluknya erat. Dan, terisak."Jangan tinggalin aku," ujar Nara disela-sela isak tangisnya. Kedua tangan gadis itu melingkar erat di leher Marvin.Meskipun sempat terkejut dengan tindakan Nara. Marvin yang mendengar ucapan bernada memelas dari gadis itu. Lantas memilih untuk membalas pelukan Nara."It's oke. Aku di sini. Kamu tenang, ya!" kata Marvin pelan. Diusapnya punggung sang istri penuh perhatian. Sampai suara isakannya perlahan mulai tenang."Apa kamu mimpi buruk?" Pertanyaan dari Marvin menyadarkan Nara. Sadar dengan situasi yang terjadi di s
Nara duduk termenung di sebuah kafe. Gadis itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebatas bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebuah jepit kecil terselip di atas telinga.Di atas meja di depannya sudah tersaji segelas coklat hangat, yang masih mengepulkan asap. Namun, tatapan Nara masih terlihat gelisah ke arah pintu masuk. Kemudian beralih pada gawainya."Aku tunggu kamu sampai jam 8. Kalau sampai gak datang. Selamanya kita tidak akan pernah ketemu lagi. Karena ini kesempatan terakhir kita untuk ketemu." Sebuah pesan Nara tuliskan dan kirim pada sebuah kontak.Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera datang dan menemuinya. Namun, sampai menit berlalu pesan itu tidak juga dibaca. Menit telah berubah jadi jam. Batas waktu yang ditentukan Nara telah habis.Tapi orang yang diharapkannya datang tidak juga terlihat batang hidungnya. Minuman coklat hangat pesanan Nara pun telah dingin. Sudah jelas. Orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang
Fikri menatap iba pada gadis yang pernah bekerja di kafenya. Tak adalagi keceriaan di wajah cantik Nara. Gadis periang yang selalu mencairkan suasana saat bekerja. Kini tampak rapuh dan menyedihkan. Sebagai atasan sekaligus sahabat dari mantan kekasih gadis itu. Fikri tentu sangat kasihan melihatnya dalam keadaan seperti ini."Seandainya kamu melihatnya, Vin. Mungkin kamu bisa tahu ... kalau bukan cuma kamu yang sakit. Bahkan, gadis yang kamu cintai itu lebih kacau penampilannya dari biasanya." Fikri bergumam lirih."Gak adalagi Nara yang kita kenal dulu, Vin. Sekarang yang aku lihat hanya seorang gadis yang penuh luka dan rapuh. Aku yakin bukan ini yang dia inginkan," imbuhnya kembali bergumam.Mata pria itu terasa panas, cepat-cepat Fikri mengusap wajah dengan kasar. Ia tidak ingin ada yang melihatnya menangis. Meskipun sejujurnya, hati Fikri ikut perih menyaksikan Nara yang menangis seperti itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.Karena menghibur pun, rasanya tidak mungkin. Men
Nara duduk di ruang tamu, sesekali melirik jam dinding yang terus berdetak tanpa henti. Sudah hampir tengah malam, tapi Marvin belum juga pulang. Hatinya sedikit cemas, tapi ia berusaha menenangkan diri, berpikir bahwa Marvin mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya."Apa dia masih marah?" Tiba-tiba saja Nara teringat dengan kejadian tadi malam. Saat Marvin hendak meminta haknya dan ia menolak. Dengan alasan belum siap.Wajah gadis itu langsung sendu ketika mengingat wajah suaminya. Bagaimana sorot mata Marvin terlihat kecewa. Dan, berubah datar hanya dalam waktu sekejap."Kamu memang bodoh, Ra. Sudah pasti dia marah. Suami mana yang tidak akan kecewa saat ditolak oleh istri sendiri? Sudah pasti dia marah padamu!" Nara mengomel pada diri sendiri. Merutuki kebodohannya.Gadis itu lantas menutup wajah dengan kedua tangannya. Terisak kecil, sebab, merasa gagal jadi istri yang baik. Tak hanya itu saja, Nara juga kecewa pada dirinya. Karena telah melukai dua orang sekaligus.Sepanjang hidu
Nara menatap puas pada hasil masakannya. Berjam-jam gadis itu berkutat di dapur untuk memasak. Akhirnya setelah perjuangan keras yang dilakukan, sebuah menu makanan berhasil Nara buat."Akhirnya selesai juga." Nara mengusap peluh di keningnya. "Sekarang tinggal mandi."Gadis itu lantas berjalan penuh semangat menuju kamar. Membersihkan diri dan berganti pakaian yang terbaik. Ia sudah memantapkan hati dan juga dirinya. Bahwa hari ini akan memberikan kejutan pada sang suami."Semoga saja Mas Marvin suka dengan makanan yang ku buat," gumam Nara berucap pelan. Tangannya menggenggam erat tas wadah bekal.Setelah meraup udara dalam-dalam, Nara kemudian melangkah keluar rumah. Baru saja membuka pintu, gadis itu langsung disambut ramah oleh Agus. Pria itu mengangguk sebentar."Non Nara mau ke mana?" tanya Agus. Pria yang bekerja sebagai sopir di keluarga Marvin itu, tampak penasaran. Apalagi ketika melihat penampilan Nara yang sudah rapi."Kebetulan ada Pak Agus. Saya boleh minta tolong, Pak?
Setiap hari, Nara selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Marvin. Mulai dari bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, hingga mengantar makan siang ke kantor. Namun, meski begitu banyak usaha yang dilakukan, suaminya tetap saja bersikap dingin. Pria itu selalu menghindar, seolah keberadaan Nara tidak ada artinya.Hari ini pun, Nara kembali ke kantor Marvin dengan kotak makan siang di tangan. Dalam hatinya, ia berharap bisa bertemu langsung dengan suaminya, mungkin sekadar mendengar terima kasih dari bibir Marvin. Namun setibanya di resepsionis, ia mendapati kabar yang sama seperti sebelumnya."Mbak, apa tuan Marvin ada? Saya membawakan makan siang untuknya," ucap Nara dengan ramah.Resepsionis tersenyum kaku, sudah terbiasa melihat Nara datang setiap hari. "Maaf, Nona. Tuan Marvin sedang sibuk dan tidak ingin diganggu. Mungkin lain kali."Nara tersenyum tipis, menutupi kekecewaannya. "Tidak apa-apa. Kalau begitu, saya titipkan saja, ya."Saat hendak berbalik, tiba-tiba seorang
"Hati-hati di jalan," ucap David."Terima kasih. Saya permisi dulu," sahut wanita cantik di depannya."Silakan!" David dengan sopan memberikan ruang pada istri dari sepupunya itu, untuk pergi.David terus mengunci pandangan matanya pada sosok Nara yang berjalan menjauh. Sampai tubuh wanita itu menghilang di balik pintu. Baru dia mengalihkan perhatian."Ternyata istri Marvin cantik juga," komentarnya dengan senyum menyeringai.Setelah bertemu langsung dengan Nara, David segera bergegas meninggalkan lobi. Wajahnya tampak serius, dan tatapannya penuh pertimbangan. Tak lama, David mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor seseorang."Halo," sapanya dengan suara tenang, saat sambungan telponnya diangkat.“Ya, aku sudah bertemu dengan Nara,” lanjutnya. “Dia cukup menarik.”Setelah berbicara singkat, David menutup telepon dan memasukkan ponselnya kembali ke saku. Wajahnya berubah, ada kepuasan tersendiri yang tersirat."Nara, kita lihat! Seberapa jauh hubungan kalian dapat bertahan," ujar Dav
Setiap hari, Nara selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Marvin. Mulai dari bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, hingga mengantar makan siang ke kantor. Namun, meski begitu banyak usaha yang dilakukan, suaminya tetap saja bersikap dingin. Pria itu selalu menghindar, seolah keberadaan Nara tidak ada artinya.Hari ini pun, Nara kembali ke kantor Marvin dengan kotak makan siang di tangan. Dalam hatinya, ia berharap bisa bertemu langsung dengan suaminya, mungkin sekadar mendengar terima kasih dari bibir Marvin. Namun setibanya di resepsionis, ia mendapati kabar yang sama seperti sebelumnya."Mbak, apa tuan Marvin ada? Saya membawakan makan siang untuknya," ucap Nara dengan ramah.Resepsionis tersenyum kaku, sudah terbiasa melihat Nara datang setiap hari. "Maaf, Nona. Tuan Marvin sedang sibuk dan tidak ingin diganggu. Mungkin lain kali."Nara tersenyum tipis, menutupi kekecewaannya. "Tidak apa-apa. Kalau begitu, saya titipkan saja, ya."Saat hendak berbalik, tiba-tiba seorang
Nara menatap puas pada hasil masakannya. Berjam-jam gadis itu berkutat di dapur untuk memasak. Akhirnya setelah perjuangan keras yang dilakukan, sebuah menu makanan berhasil Nara buat."Akhirnya selesai juga." Nara mengusap peluh di keningnya. "Sekarang tinggal mandi."Gadis itu lantas berjalan penuh semangat menuju kamar. Membersihkan diri dan berganti pakaian yang terbaik. Ia sudah memantapkan hati dan juga dirinya. Bahwa hari ini akan memberikan kejutan pada sang suami."Semoga saja Mas Marvin suka dengan makanan yang ku buat," gumam Nara berucap pelan. Tangannya menggenggam erat tas wadah bekal.Setelah meraup udara dalam-dalam, Nara kemudian melangkah keluar rumah. Baru saja membuka pintu, gadis itu langsung disambut ramah oleh Agus. Pria itu mengangguk sebentar."Non Nara mau ke mana?" tanya Agus. Pria yang bekerja sebagai sopir di keluarga Marvin itu, tampak penasaran. Apalagi ketika melihat penampilan Nara yang sudah rapi."Kebetulan ada Pak Agus. Saya boleh minta tolong, Pak?
Nara duduk di ruang tamu, sesekali melirik jam dinding yang terus berdetak tanpa henti. Sudah hampir tengah malam, tapi Marvin belum juga pulang. Hatinya sedikit cemas, tapi ia berusaha menenangkan diri, berpikir bahwa Marvin mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya."Apa dia masih marah?" Tiba-tiba saja Nara teringat dengan kejadian tadi malam. Saat Marvin hendak meminta haknya dan ia menolak. Dengan alasan belum siap.Wajah gadis itu langsung sendu ketika mengingat wajah suaminya. Bagaimana sorot mata Marvin terlihat kecewa. Dan, berubah datar hanya dalam waktu sekejap."Kamu memang bodoh, Ra. Sudah pasti dia marah. Suami mana yang tidak akan kecewa saat ditolak oleh istri sendiri? Sudah pasti dia marah padamu!" Nara mengomel pada diri sendiri. Merutuki kebodohannya.Gadis itu lantas menutup wajah dengan kedua tangannya. Terisak kecil, sebab, merasa gagal jadi istri yang baik. Tak hanya itu saja, Nara juga kecewa pada dirinya. Karena telah melukai dua orang sekaligus.Sepanjang hidu
Fikri menatap iba pada gadis yang pernah bekerja di kafenya. Tak adalagi keceriaan di wajah cantik Nara. Gadis periang yang selalu mencairkan suasana saat bekerja. Kini tampak rapuh dan menyedihkan. Sebagai atasan sekaligus sahabat dari mantan kekasih gadis itu. Fikri tentu sangat kasihan melihatnya dalam keadaan seperti ini."Seandainya kamu melihatnya, Vin. Mungkin kamu bisa tahu ... kalau bukan cuma kamu yang sakit. Bahkan, gadis yang kamu cintai itu lebih kacau penampilannya dari biasanya." Fikri bergumam lirih."Gak adalagi Nara yang kita kenal dulu, Vin. Sekarang yang aku lihat hanya seorang gadis yang penuh luka dan rapuh. Aku yakin bukan ini yang dia inginkan," imbuhnya kembali bergumam.Mata pria itu terasa panas, cepat-cepat Fikri mengusap wajah dengan kasar. Ia tidak ingin ada yang melihatnya menangis. Meskipun sejujurnya, hati Fikri ikut perih menyaksikan Nara yang menangis seperti itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.Karena menghibur pun, rasanya tidak mungkin. Men
Nara duduk termenung di sebuah kafe. Gadis itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebatas bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebuah jepit kecil terselip di atas telinga.Di atas meja di depannya sudah tersaji segelas coklat hangat, yang masih mengepulkan asap. Namun, tatapan Nara masih terlihat gelisah ke arah pintu masuk. Kemudian beralih pada gawainya."Aku tunggu kamu sampai jam 8. Kalau sampai gak datang. Selamanya kita tidak akan pernah ketemu lagi. Karena ini kesempatan terakhir kita untuk ketemu." Sebuah pesan Nara tuliskan dan kirim pada sebuah kontak.Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera datang dan menemuinya. Namun, sampai menit berlalu pesan itu tidak juga dibaca. Menit telah berubah jadi jam. Batas waktu yang ditentukan Nara telah habis.Tapi orang yang diharapkannya datang tidak juga terlihat batang hidungnya. Minuman coklat hangat pesanan Nara pun telah dingin. Sudah jelas. Orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang
"Hei! Kamu kenapa?" Marvin tentu saja panik dan khawatir melihat reaksi tubuh Nara. Gadis itu terbangun dari tidur sambil berteriak. Tatapan matanya terlihat ketakutan. Tak hanya itu, istrinya bahkan langsung menangis. "Nara, hei, lihat aku!" Marvin menangkup wajah Nara dan membuat mereka berhadapan. "Are you oke?" Tatapan mata Marvin tampak khawatir.Namun, bukan jawaban yang Marvin dapatkan. Gadis yang ditanyainya itu justru berhambur memeluknya erat. Dan, terisak."Jangan tinggalin aku," ujar Nara disela-sela isak tangisnya. Kedua tangan gadis itu melingkar erat di leher Marvin.Meskipun sempat terkejut dengan tindakan Nara. Marvin yang mendengar ucapan bernada memelas dari gadis itu. Lantas memilih untuk membalas pelukan Nara."It's oke. Aku di sini. Kamu tenang, ya!" kata Marvin pelan. Diusapnya punggung sang istri penuh perhatian. Sampai suara isakannya perlahan mulai tenang."Apa kamu mimpi buruk?" Pertanyaan dari Marvin menyadarkan Nara. Sadar dengan situasi yang terjadi di s
Marvin sangat menikmati wajah panik yang begitu jelas di depannya. Pria itu terus maju mengikis jarak. Namun, gadis cantik di depannya justru semakin mundur. Menjauh dan bermaksud mempertahankan jarak di antara mereka.Hal itu tidak menyurutkan langkah Marvin. Pria itu terus berjalan dan akhirnya berhasil membuat Nara terpojok. Gadis itu kini sudah tak bisa menghindar lagi. Sebab, tubuhnya sudah membentur dinding.Sebelah tangan Marvin bertumpu pada dinding. Sementara pria itu terus menatap wajah Nara yang terlihat gugup. Jarak yang begitu dekat, membuat Nara dapat menghirup aroma maskulin yang menguat dari tubuh Marvin.Aroma tubuh pria di depannya ini terasa menggelitik hidung Nara. Dan, membuat hati gadis itu semakin tak karuan. Berdebar kencang. Sehingga Nara terpaksa harus menahan napas. Untuk sesaat."Ber-berhenti!" ujar Nara terbata. Ketika tubuh Marvin semakin dekat dan hendak menempel padanya. Kedua tangan Nara berada di depan dada. Menahan tubuh Marvin."Ada apa? Bukankah in
"Saudara Marvin Aurio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah yang walinya dipercayakan kepada saya Mahmudi Alimuddin dengan maskawin emas seberat dua puluh gram dan sebuah rumah mewah dibayar tunai!" ucap penghulu seraya mengayunkan genggaman tangannya, tepat setelah kalimatnya selesai."Saya terima nikah dan kawinnya Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah dengan maskawin yang tersebut di atas dibayar tunai!" Suara Marvin terdengar lantang dan tegas. Menggema di udara."Bagaimana saksi pertama?" tanya penghulu pada saksi dari pihak mempelai pria."Sah!" sahut saksi pertama cepat."Saksi kedua?" Penghulu beralih pada saksi dari mempelai wanita."Sah!" jawab saksi kedua mantap. Diikuti oleh para hadirin yang hadir menyaksikan ijab qobul pasangan pengantin tersebut."Alhamdulillah ...." Suara syukur penghulu terdengar lega. Doa usai ijab qobul pun mengalun begitu saja. Dipimpin oleh penghulu dan diaminkan oleh semua orang."