Share

3

Marvin sangat menikmati wajah panik yang begitu jelas di depannya. Pria itu terus maju mengikis jarak. Namun, gadis cantik di depannya justru semakin mundur. Menjauh dan bermaksud mempertahankan jarak di antara mereka.

Hal itu tidak menyurutkan langkah Marvin. Pria itu terus berjalan dan akhirnya berhasil membuat Nara terpojok. Gadis itu kini sudah tak bisa menghindar lagi. Sebab, tubuhnya sudah membentur dinding.

Sebelah tangan Marvin bertumpu pada dinding. Sementara pria itu terus menatap wajah Nara yang terlihat gugup. Jarak yang begitu dekat, membuat Nara dapat menghirup aroma maskulin yang menguat dari tubuh Marvin.

Aroma tubuh pria di depannya ini terasa menggelitik hidung Nara. Dan, membuat hati gadis itu semakin tak karuan. Berdebar kencang. Sehingga Nara terpaksa harus menahan napas. Untuk sesaat.

"Ber-berhenti!" ujar Nara terbata. Ketika tubuh Marvin semakin dekat dan hendak menempel padanya. Kedua tangan Nara berada di depan dada. Menahan tubuh Marvin.

"Ada apa? Bukankah ini yang kamu inginkan?" tanya Marvin terdengar ambigu.

Nara mengerjap. "Apa maksudmu?" Nara benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Marvin.

Gadis cantik itu memberanikan diri untuk menatap wajah Marvin. Saat itulah keduanya bisa saling melihat wajah masing-masing. Nara dapat melihat wajah tampan Marvin. Begitu pula sebaliknya, Marvin juga bisa melihat wajah cantik istrinya.

Dari jarak yang cukup dekat seperti ini. Marvin bisa melihat pahatan indah di depannya. Dari alis mata, hidung, pipi yang merona, bibir yang merah menawan yang berkesan seksi dan berminyak. Kemudian kembali ke dua mata yang indah yang memerah. Tunggu!

Marvin mengernyit, ketika menyadari ada yang tidak beres. Kedua mata gadis cantik di depannya jelas merah dan sembab. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kamu menangis? Apa yang membuatmu sedih? Katakan padaku? Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" cecar Marvin. Kedua tangan pria itu bahkan sudah berpindah pada bahu Nara.

Namun, bukan jawaban dari bibir Nara yang keluar. Melainkan hanya gelengan kepala. Nara merasa tenggorokannya tercekat.

"Aku butuh jawabanmu! Bukan hanya gerakan seperti itu!" ujar Marvin dengan dingin.

Meskipun Marvin sadar, jika pertanyaan yang dilontarkan adalah sebuah kekonyolan. Seharusnya tanpa bertanya Marvin tahu jawabannya. Bagaimanapun juga, mereka menikah karena sebuah kesepakatan bisnis.

Mereka belum saling mengenal sebelumnya. Lalu, bagaimana kehidupan mereka sebelumnya. Marvin juga tidak tahu. Apakah gadis yang dinikahinya itu masih singgel atau sudah memiliki kekasih sebelumnya?

Semua itu seakan Marvin lupakan. Bagi pria itu, yang terpenting adalah kesepakatannya dengan Bagaskara bisa terlaksana. Apalagi sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Marvin diharuskan untuk segera menikah.

"A-aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah," jawab Nara sekenanya.

"Benarkah? Kamu tidak sedang berbohong 'kan?" Marvin menyipitkan mata. Menelisik wajah gadis di depannya.

"Ya. Terlalu banyak tamu undangan yang datang di pernikahan kita. Aku benar-benar lelah dan ingin segera istirahat," jelas Nara beralasan.

Helaan napas panjang keluar dari bibir Marvin. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya disingkirkan begitu saja dari bahu Nara. "Ya sudah. Kalau begitu, pergilah mandi dengan air hangat dan ganti pakaian yang nyaman. Kamu bisa langsung istirahat setelah membersihkan diri."

Wajah Marvin terlihat datar saat berbicara. Namun, semua itu tidak membuat Nara kecewa. Gadis itu mengangguk dan mengikuti kata-kata suaminya.

"Mungkin dia marah." Nara bermonolog dalam hati. Mengira jika Marvin pastilah kecewa. Karena malam ini mereka mungkin tidak bisa menghabiskan malam pengantin. Seperti halnya para pasangan pengantin baru pada umumnya.

•••

Malam semakin larut, angin dingin berhembus kencang menerpa wajah Marvin. Pria tampan yang sudah berganti pakaian dengan pakaian santai itu. Terlihat memandang langit malam dengan tatapan menerawang.

Sudah tengah malam, tapi Marvin masih betah berlama-lama berdiri di balkon kamarnya. Sementara di dalam kamar, gadis cantik yang baru saja dinikahinya tadi siang. Tampak sudah lelap ke alam mimpi.

Marvin sendiri masih setia terjaga. Entah mengapa kelopak matanya belum juga merasakan kantuk. Pria itu masih ingin berlama-lama berdiri di sana. Hanya untuk menikmati udara segar di luar.

"Aku sudah mengikuti keinginanmu, Bu. Aku sudah menikah dengan seorang gadis. Tapi kenapa kalian tidak hadir?" ucap Marvin dengan suara lirih.

Ya, inilah salah satu alasan kenapa Marvin belum juga bisa memejamkan mata. Pria itu tengah memikirkan ibu dan juga saudara kandungnya. Sebab, keduanya tidak bisa hadir saat pernikahannya diselenggarakan.

Padahal jauh-jauh hari, Marvin sudah memberitahu mereka. Bahwa dirinya akan menikah dengan seorang gadis. Murniasih- sang ibu sudah berjanji akan datang. Namun, tepat pagi tadi ibunya itu memberikan kabar kalau tidak bisa hadir.

"Marvin, Ibu minta maaf. Kami tidak bisa datang ke pernikahanmu. Ada sedikit masalah. Tapi kamu tenang saja. Tetap fokus pada pernikahanmu. Masalah di sini, biar Ibu yang tangani." Masih terngiang di telinga Marvin ucapan sang ibu, lewat sambungan telepon tadi pagi.

Pria itu mengepalkan tangan. Kecewa, Marvin jelas kecewa karena orang terpenting dalam hidupnya tidak bisa hadir di hari terpentingnya. Pernikahan ini hanya sekali seumur hidup. Marvin berharap semua anggota keluarga bisa hadir.

Tapi apa yang terjadi? Ibu dan adiknya bahkan tidak ada. Untuk ikut merayakan kebahagiaannya. Meskipun pernikahan Marvin dilakukan atas dasar kepentingan bisnis. Tapi, bagi Marvin ini sangat sakral. Karena Marvin hanya ingin menikah sekali seumur hidup.

"Aku tidak akan membiarkannya pergi. Meskipun belum ada cinta di antara kami." Itulah janji Marvin pada diri sendiri sebelum akad nikah.

Marvin tentu akan merealisasikan ucapannya. Meskipun hanya diucapkan dalam hati. Tapi Marvin sungguh-sungguh. Ia tidak akan ingkar.

Sekarang masalahnya. Pria itu masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu dan adiknya. Masalah apa yang mereka hadapi? Sampai-sampai mereka tidak bisa datang.

Tak ingin pusing sendirian. Marvin lantas mengeluarkan ponsel pintarnya. Mengetikkan sesuatu di layar ponsel tersebut. Kemudian mengirimkan pesan yang telah ditulis pada kontak orang kepercayaannya.

"Semoga saja Arif bisa mendapatkan kabar secepatnya," gumam Marvin penuh harap.

Satu-satunya pilihan yang dapat Marvin lakukan adalah meminta bantuan sekretarisnya itu. Setelah dirasa puas berdiri di balkon. Akhirnya Marvin memilih untuk masuk ke dalam.

Pria itu menutup kembali pintu kaca yang tadi di lewatinya. Marvin lantas berbalik dan memandang ke arah ranjang. Di mana seorang gadis terbaring berbalut selimut. Terlihat nyenyak sekali.

"Ternyata dia benar-benar kelelahan." Seulas senyum terukir di bibir Marvin. Pria itu lantas berjalan menuju ranjang dan bergabung dengan istrinya. Masuk ke dalam selimut sebelum akhirnya ikut berbaring dan mencoba memejamkan mata.

Baru saja Marvin memejamkan mata. Pria itu merasakan gerakan samar dari gadis di sampingnya. Nara tampak gelisah dalam tidurnya. Kening gadis itu berkerut dan titik-titik keringat bermunculan.

"Jangan! Tidak boleh. Maaf ... aku minta maaf," racau Nara bergumam lirih. Kedua matanya masih terpejam. Gadis itu mengigau.

Kemudian terisak dan bulir bening mengalir dari kedua sudut matanya. Marvin yang sudah menegakkan tubuh dan dapat melihat jelas. Bahwa istrinya tengah menangis dengan mata terpejam.

"Apa dia tengah mimpi buruk?" monolognya bingung. Tak ingin terjadi apa-apa pada sang istri. Marvin lantas berinisiatif untuk membangunkan gadis itu.

"Nara! Hei ... kamu kenapa? Bangun, Ra," ucap Marvin seraya menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.

"JANGAN!" teriak Nara dengan spontan bangun dari tidurnya. Napas gadis itu terengah-engah.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status