Marvin sangat menikmati wajah panik yang begitu jelas di depannya. Pria itu terus maju mengikis jarak. Namun, gadis cantik di depannya justru semakin mundur. Menjauh dan bermaksud mempertahankan jarak di antara mereka.
Hal itu tidak menyurutkan langkah Marvin. Pria itu terus berjalan dan akhirnya berhasil membuat Nara terpojok. Gadis itu kini sudah tak bisa menghindar lagi. Sebab, tubuhnya sudah membentur dinding.
Sebelah tangan Marvin bertumpu pada dinding. Sementara pria itu terus menatap wajah Nara yang terlihat gugup. Jarak yang begitu dekat, membuat Nara dapat menghirup aroma maskulin yang menguat dari tubuh Marvin.
Aroma tubuh pria di depannya ini terasa menggelitik hidung Nara. Dan, membuat hati gadis itu semakin tak karuan. Berdebar kencang. Sehingga Nara terpaksa harus menahan napas. Untuk sesaat.
"Ber-berhenti!" ujar Nara terbata. Ketika tubuh Marvin semakin dekat dan hendak menempel padanya. Kedua tangan Nara berada di depan dada. Menahan tubuh Marvin.
"Ada apa? Bukankah ini yang kamu inginkan?" tanya Marvin terdengar ambigu.
Nara mengerjap. "Apa maksudmu?" Nara benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Marvin.
Gadis cantik itu memberanikan diri untuk menatap wajah Marvin. Saat itulah keduanya bisa saling melihat wajah masing-masing. Nara dapat melihat wajah tampan Marvin. Begitu pula sebaliknya, Marvin juga bisa melihat wajah cantik istrinya.
Dari jarak yang cukup dekat seperti ini. Marvin bisa melihat pahatan indah di depannya. Dari alis mata, hidung, pipi yang merona, bibir yang merah menawan yang berkesan seksi dan berminyak. Kemudian kembali ke dua mata yang indah yang memerah. Tunggu!
Marvin mengernyit, ketika menyadari ada yang tidak beres. Kedua mata gadis cantik di depannya jelas merah dan sembab. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kamu menangis? Apa yang membuatmu sedih? Katakan padaku? Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" cecar Marvin. Kedua tangan pria itu bahkan sudah berpindah pada bahu Nara.
Namun, bukan jawaban dari bibir Nara yang keluar. Melainkan hanya gelengan kepala. Nara merasa tenggorokannya tercekat.
"Aku butuh jawabanmu! Bukan hanya gerakan seperti itu!" ujar Marvin dengan dingin.
Meskipun Marvin sadar, jika pertanyaan yang dilontarkan adalah sebuah kekonyolan. Seharusnya tanpa bertanya Marvin tahu jawabannya. Bagaimanapun juga, mereka menikah karena sebuah kesepakatan bisnis.
Mereka belum saling mengenal sebelumnya. Lalu, bagaimana kehidupan mereka sebelumnya. Marvin juga tidak tahu. Apakah gadis yang dinikahinya itu masih singgel atau sudah memiliki kekasih sebelumnya?
Semua itu seakan Marvin lupakan. Bagi pria itu, yang terpenting adalah kesepakatannya dengan Bagaskara bisa terlaksana. Apalagi sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Marvin diharuskan untuk segera menikah.
"A-aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah," jawab Nara sekenanya.
"Benarkah? Kamu tidak sedang berbohong 'kan?" Marvin menyipitkan mata. Menelisik wajah gadis di depannya.
"Ya. Terlalu banyak tamu undangan yang datang di pernikahan kita. Aku benar-benar lelah dan ingin segera istirahat," jelas Nara beralasan.
Helaan napas panjang keluar dari bibir Marvin. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya disingkirkan begitu saja dari bahu Nara. "Ya sudah. Kalau begitu, pergilah mandi dengan air hangat dan ganti pakaian yang nyaman. Kamu bisa langsung istirahat setelah membersihkan diri."
Wajah Marvin terlihat datar saat berbicara. Namun, semua itu tidak membuat Nara kecewa. Gadis itu mengangguk dan mengikuti kata-kata suaminya.
"Mungkin dia marah." Nara bermonolog dalam hati. Mengira jika Marvin pastilah kecewa. Karena malam ini mereka mungkin tidak bisa menghabiskan malam pengantin. Seperti halnya para pasangan pengantin baru pada umumnya.
•••
Malam semakin larut, angin dingin berhembus kencang menerpa wajah Marvin. Pria tampan yang sudah berganti pakaian dengan pakaian santai itu. Terlihat memandang langit malam dengan tatapan menerawang.
Sudah tengah malam, tapi Marvin masih betah berlama-lama berdiri di balkon kamarnya. Sementara di dalam kamar, gadis cantik yang baru saja dinikahinya tadi siang. Tampak sudah lelap ke alam mimpi.
Marvin sendiri masih setia terjaga. Entah mengapa kelopak matanya belum juga merasakan kantuk. Pria itu masih ingin berlama-lama berdiri di sana. Hanya untuk menikmati udara segar di luar.
"Aku sudah mengikuti keinginanmu, Bu. Aku sudah menikah dengan seorang gadis. Tapi kenapa kalian tidak hadir?" ucap Marvin dengan suara lirih.
Ya, inilah salah satu alasan kenapa Marvin belum juga bisa memejamkan mata. Pria itu tengah memikirkan ibu dan juga saudara kandungnya. Sebab, keduanya tidak bisa hadir saat pernikahannya diselenggarakan.
Padahal jauh-jauh hari, Marvin sudah memberitahu mereka. Bahwa dirinya akan menikah dengan seorang gadis. Murniasih- sang ibu sudah berjanji akan datang. Namun, tepat pagi tadi ibunya itu memberikan kabar kalau tidak bisa hadir.
"Marvin, Ibu minta maaf. Kami tidak bisa datang ke pernikahanmu. Ada sedikit masalah. Tapi kamu tenang saja. Tetap fokus pada pernikahanmu. Masalah di sini, biar Ibu yang tangani." Masih terngiang di telinga Marvin ucapan sang ibu, lewat sambungan telepon tadi pagi.
Pria itu mengepalkan tangan. Kecewa, Marvin jelas kecewa karena orang terpenting dalam hidupnya tidak bisa hadir di hari terpentingnya. Pernikahan ini hanya sekali seumur hidup. Marvin berharap semua anggota keluarga bisa hadir.
Tapi apa yang terjadi? Ibu dan adiknya bahkan tidak ada. Untuk ikut merayakan kebahagiaannya. Meskipun pernikahan Marvin dilakukan atas dasar kepentingan bisnis. Tapi, bagi Marvin ini sangat sakral. Karena Marvin hanya ingin menikah sekali seumur hidup.
"Aku tidak akan membiarkannya pergi. Meskipun belum ada cinta di antara kami." Itulah janji Marvin pada diri sendiri sebelum akad nikah.
Marvin tentu akan merealisasikan ucapannya. Meskipun hanya diucapkan dalam hati. Tapi Marvin sungguh-sungguh. Ia tidak akan ingkar.
Sekarang masalahnya. Pria itu masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu dan adiknya. Masalah apa yang mereka hadapi? Sampai-sampai mereka tidak bisa datang.
Tak ingin pusing sendirian. Marvin lantas mengeluarkan ponsel pintarnya. Mengetikkan sesuatu di layar ponsel tersebut. Kemudian mengirimkan pesan yang telah ditulis pada kontak orang kepercayaannya.
"Semoga saja Arif bisa mendapatkan kabar secepatnya," gumam Marvin penuh harap.
Satu-satunya pilihan yang dapat Marvin lakukan adalah meminta bantuan sekretarisnya itu. Setelah dirasa puas berdiri di balkon. Akhirnya Marvin memilih untuk masuk ke dalam.
Pria itu menutup kembali pintu kaca yang tadi di lewatinya. Marvin lantas berbalik dan memandang ke arah ranjang. Di mana seorang gadis terbaring berbalut selimut. Terlihat nyenyak sekali.
"Ternyata dia benar-benar kelelahan." Seulas senyum terukir di bibir Marvin. Pria itu lantas berjalan menuju ranjang dan bergabung dengan istrinya. Masuk ke dalam selimut sebelum akhirnya ikut berbaring dan mencoba memejamkan mata.
Baru saja Marvin memejamkan mata. Pria itu merasakan gerakan samar dari gadis di sampingnya. Nara tampak gelisah dalam tidurnya. Kening gadis itu berkerut dan titik-titik keringat bermunculan.
"Jangan! Tidak boleh. Maaf ... aku minta maaf," racau Nara bergumam lirih. Kedua matanya masih terpejam. Gadis itu mengigau.
Kemudian terisak dan bulir bening mengalir dari kedua sudut matanya. Marvin yang sudah menegakkan tubuh dan dapat melihat jelas. Bahwa istrinya tengah menangis dengan mata terpejam.
"Apa dia tengah mimpi buruk?" monolognya bingung. Tak ingin terjadi apa-apa pada sang istri. Marvin lantas berinisiatif untuk membangunkan gadis itu.
"Nara! Hei ... kamu kenapa? Bangun, Ra," ucap Marvin seraya menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.
"JANGAN!" teriak Nara dengan spontan bangun dari tidurnya. Napas gadis itu terengah-engah.
•••
"Hei! Kamu kenapa?" Marvin tentu saja panik dan khawatir melihat reaksi tubuh Nara. Gadis itu terbangun dari tidur sambil berteriak. Tatapan matanya terlihat ketakutan. Tak hanya itu, istrinya bahkan langsung menangis. "Nara, hei, lihat aku!" Marvin menangkup wajah Nara dan membuat mereka berhadapan. "Are you oke?" Tatapan mata Marvin tampak khawatir.Namun, bukan jawaban yang Marvin dapatkan. Gadis yang ditanyainya itu justru berhambur memeluknya erat. Dan, terisak."Jangan tinggalin aku," ujar Nara disela-sela isak tangisnya. Kedua tangan gadis itu melingkar erat di leher Marvin.Meskipun sempat terkejut dengan tindakan Nara. Marvin yang mendengar ucapan bernada memelas dari gadis itu. Lantas memilih untuk membalas pelukan Nara."It's oke. Aku di sini. Kamu tenang, ya!" kata Marvin pelan. Diusapnya punggung sang istri penuh perhatian. Sampai suara isakannya perlahan mulai tenang."Apa kamu mimpi buruk?" Pertanyaan dari Marvin menyadarkan Nara. Sadar dengan situasi yang terjadi di s
Nara duduk termenung di sebuah kafe. Gadis itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebatas bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebuah jepit kecil terselip di atas telinga.Di atas meja di depannya sudah tersaji segelas coklat hangat, yang masih mengepulkan asap. Namun, tatapan Nara masih terlihat gelisah ke arah pintu masuk. Kemudian beralih pada gawainya."Aku tunggu kamu sampai jam 8. Kalau sampai gak datang. Selamanya kita tidak akan pernah ketemu lagi. Karena ini kesempatan terakhir kita untuk ketemu." Sebuah pesan Nara tuliskan dan kirim pada sebuah kontak.Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera datang dan menemuinya. Namun, sampai menit berlalu pesan itu tidak juga dibaca. Menit telah berubah jadi jam. Batas waktu yang ditentukan Nara telah habis.Tapi orang yang diharapkannya datang tidak juga terlihat batang hidungnya. Minuman coklat hangat pesanan Nara pun telah dingin. Sudah jelas. Orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang
Fikri menatap iba pada gadis yang pernah bekerja di kafenya. Tak adalagi keceriaan di wajah cantik Nara. Gadis periang yang selalu mencairkan suasana saat bekerja. Kini tampak rapuh dan menyedihkan. Sebagai atasan sekaligus sahabat dari mantan kekasih gadis itu. Fikri tentu sangat kasihan melihatnya dalam keadaan seperti ini."Seandainya kamu melihatnya, Vin. Mungkin kamu bisa tahu ... kalau bukan cuma kamu yang sakit. Bahkan, gadis yang kamu cintai itu lebih kacau penampilannya dari biasanya." Fikri bergumam lirih."Gak adalagi Nara yang kita kenal dulu, Vin. Sekarang yang aku lihat hanya seorang gadis yang penuh luka dan rapuh. Aku yakin bukan ini yang dia inginkan," imbuhnya kembali bergumam.Mata pria itu terasa panas, cepat-cepat Fikri mengusap wajah dengan kasar. Ia tidak ingin ada yang melihatnya menangis. Meskipun sejujurnya, hati Fikri ikut perih menyaksikan Nara yang menangis seperti itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.Karena menghibur pun, rasanya tidak mungkin. Men
Seorang gadis duduk dengan tatapan kosong. Di depannya ada meja rias dan cermin besar. Di samping gadis itu, seorang perias pengantin tengah sibuk mendandaninya. Nara Formosa nama gadis tersebut.Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang besar di keluarga kaya. Hari ini akan segera menikah. Ini adalah hari pernikahan Nara. Pernikahan yang tidak pernah Nara mimpikan. Akan terjadi secepat ini.Bukan Nara tidak bahagia dengan pernikahan yang akan terjadi. Masalahnya, gadis itu tidak tahu dan tidak kenal dengan pria yang akan menikahinya. Pernikahan yang Nara lakukan merupakan pernikahan bisnis.Perusahaan Bagaskara tengah di ambang kebangkrutan dan terancam gulung tikar. Demi menstabilkan keadaan perusahaan, Bagaskara yang merupakan ayah Nara. Mencoba mencari koneksi untuk mendapatkan kucuran dana.Akhirnya pria paruh baya itu memberanikan diri mendatangi Aurio Grup. Pemilik Aurio Grup ternyata mau membantu Bagaskara. Namun, sebagai timbal baliknya Bagaskara juga harus memberikan sesuatu
"Saudara Marvin Aurio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah yang walinya dipercayakan kepada saya Mahmudi Alimuddin dengan maskawin emas seberat dua puluh gram dan sebuah rumah mewah dibayar tunai!" ucap penghulu seraya mengayunkan genggaman tangannya, tepat setelah kalimatnya selesai."Saya terima nikah dan kawinnya Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah dengan maskawin yang tersebut di atas dibayar tunai!" Suara Marvin terdengar lantang dan tegas. Menggema di udara."Bagaimana saksi pertama?" tanya penghulu pada saksi dari pihak mempelai pria."Sah!" sahut saksi pertama cepat."Saksi kedua?" Penghulu beralih pada saksi dari mempelai wanita."Sah!" jawab saksi kedua mantap. Diikuti oleh para hadirin yang hadir menyaksikan ijab qobul pasangan pengantin tersebut."Alhamdulillah ...." Suara syukur penghulu terdengar lega. Doa usai ijab qobul pun mengalun begitu saja. Dipimpin oleh penghulu dan diaminkan oleh semua orang."