Share

5

Nara duduk termenung di sebuah kafe. Gadis itu tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy. Rambutnya yang panjang sebatas bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Sebuah jepit kecil terselip di atas telinga.

Di atas meja di depannya sudah tersaji segelas coklat hangat, yang masih mengepulkan asap. Namun, tatapan Nara masih terlihat gelisah ke arah pintu masuk. Kemudian beralih pada gawainya.

"Aku tunggu kamu sampai jam 8. Kalau sampai gak datang. Selamanya kita tidak akan pernah ketemu lagi. Karena ini kesempatan terakhir kita untuk ketemu." Sebuah pesan Nara tuliskan dan kirim pada sebuah kontak.

Berharap seseorang yang ditunggunya akan segera datang dan menemuinya. Namun, sampai menit berlalu pesan itu tidak juga dibaca. Menit telah berubah jadi jam. Batas waktu yang ditentukan Nara telah habis.

Tapi orang yang diharapkannya datang tidak juga terlihat batang hidungnya. Minuman coklat hangat pesanan Nara pun telah dingin. Sudah jelas. Orang yang ditunggunya tidak akan pernah datang.

"Maafin aku. Kamu pasti marah. Tidak seharusnya aku memaksamu untuk bertemu lagi. Asal kamu tahu, Vin ... di sini aku juga sakit!" ucap Nara sembari menekan dadanya.

Tubuh gadis itu bergetar bersama dengan isak tangisnya yang terdengar memilukan. Nara sadar, dia bukanlah gadis baik. Bahkan mungkin dia adalah gadis paling jahat di dunia ini.

Niatnya datang ke kafe itu sebenarnya untuk meminta maaf pada seseorang. Orang yang telah dilukai dan disakitinya. Meskipun sebenarnya Nara tidak bermaksud melakukan itu semua.

Apa yang terjadi, itu Nara lakukan sebagai bentuk balas budinya pada keluarga angkatnya. Sebagai anak yatim-piatu, Nara yang hidupnya menumpang pada keluarga kaya. Tentu tidak bisa melakukan pilihan sesuka hati.

Termasuk tentang pasangan hidup. Gadis itu harus rela mengesampingkan perasaannya sendiri, daripada membuat kecewa orang tua angkatnya. Seperti yang telah dilakukannya beberapa Minggu sebelum pernikahannya dengan Marvin ditentukan.

Di kafe ini juga, Nara memutuskan hubungannya dengan seseorang yang sangat disayanginya. "Mari kita putus!"

"Apa, Ra? Apa aku gak salah dengar? Kamu pasti bercanda 'kan?" Pria di hadapan Nara saat itu tampak terperangah.

"Nggak, Vin. Aku serius. Aku gak bisa lanjut dengan hubungan kita. Sampai kapanpun kita gak akan pernah bisa bersama. Jadi lebih baik kita akhiri sampai di sini saja." Nara saat itu berucap dengan tegas.

Mencoba untuk menjadi wanita tak berperasaan di depan seorang pria, yang selama ini telah menemani hari-harinya. Menjadi penghibur dalam susah, duka dan bahagianya. Namun, keputusan Bagaskara membuat Nara harus bersikap tegas.

Mengambil keputusan yang tepat. Agar bisa membantu keluarga angkatnya yang tengah di ambang kebangkrutan. Mengakhiri semuanya adalah pilihan yang terbaik.

Nara semakin tergugu mengingat setiap kata-katanya yang menyakitkan. Tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Nara terus saja menangis menumpahkan segala kesedihan yang menyesakkan dada.

"Sudah cukup nangisnya. Jangan memperburuk penampilanmu." Seseorang mengangsurkan sapu tangan di depan Nara.

Tak ada jawaban dari bibir Nara. Gadis itu meraih sapu tangan itu. Lekas membersihkan air mata di wajahnya.

"Terima kasih," ucap Nara tulus. Masih terdengar serak karena habis menangis.

"Tidak masalah. Sebaiknya kamu kembali. Dia mungkin tidak akan datang ke sini. Meskipun kamu menunggunya sampai besok, sekalipun." Orang itu lantas berlalu meninggalkan Nara. Kembali dalam kesendirian. Merenungi setiap kata-kata yang pernah diucapkan.

•••

Marvin Aurio duduk di ruangannya dengan tatapan menerawang. Tumpukan berkas di atas meja dibiarkan begitu saja. Takada niatan dari dalam diri Marvin untuk menyentuh kertas-kertas tersebut.

Pikiran pria itu tengah berkecamuk. Sampai saat ini, masih belum ada kabar dari ibunya. Adiknya pun sulit dihubungi. Belum lagi masalahnya dengan sang istri. Semua menjadi satu memenuhi pikiran Marvin.

Hingga akhirnya pria itu tidak bersemangat untuk bekerja. Karena memang seharusnya ia sedang cuti paska menikah. Tapi, Marvin memutuskan untuk berangkat bekerja. Daripada harus mengambil libur.

Tok.

Tok.

Tok.

Suara ketukan pintu menarik atensi Marvin dari lamunannya. "Masuk!" serunya tanpa melihat ke arah pintu. Handel pintu diputar dan seseorang muncul dari balik pintu.

"Bos!" sapa orang tersebut.

Marvin lantas menoleh saat mengenali siapa pemilik suara yang menyapanya. "Rif, sudah ada kabar?"

Marvin langsung menodong sekretarisnya itu dengan pertanyaan. Tampak wajah Arif yang gelisah. Itu membuat perasaan Marvin tak nyaman.

"Katakan saja, Rif!" titah Marvin.

"Maaf sebelumnya, Bos. Itu ...." Arif pun menceritakan informasi yang baru saja di dapatnya, dengan hati-hati. Takut-takut kalau atasannya langsung marah. Karena tidak langsung diberitahu.

Namun, apa yang Arif pikirkan ternyata salah. Marvin tampak lebih tenang dari biasanya. Meskipun dari sorot matanya, Arif tahu jika bosnya tengah menahan amarah.

"Siapkan mobil sekarang juga!" ucap Marvin dingin.

"Baik, Bos!" Arif langsung bergegas melakukan apa yang Marvin perintahkan.

•••

Di sebuah rumah sakit seorang pria tengah terbaring lemah. Jarum infus menancap di sebelah tangannya. Sementara di atas hidung terpasang alat bantu pernapasan. Berupa selang oksigen.

Tak ada siapapun di ruangan itu. Hanya terdengar suara alat pendeteksi denyut nadi yang terdengar. Memecah keheningan. Di luar ruangan tampak seorang wanita paruh baya tengah berdiri.

Wanita itu menatap nanar pada sosok di dalam ruangan perawatan. Di mana putranya tengah terbaring tak berdaya. Di bantu oleh peralatan medis yang menempel pada tubuh sang anak.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, Nak? Kamu tega mau ninggalin Ibu dan kakakmu?" lirih wanita tersebut terdengar sendu.

Tak tahan melihat putranya terbaring di sana. Murniasih menangkup wajah dan terisak. Bayangan nahas yang menimbulkan sang anak nyaris kehilangan nyawa. Membuat wanita itu semakin tergugu.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ar? Kenapa kamu gak cerita sama Ibu? Kenapa kamu milih jalan seperti ini?" ucap Murni dalam tangisnya.

Tidak ada yang tahu ada masalah apa sebenarnya. Sehingga putra bungsunya itu memutuskan untuk bunuh diri. Berkendara melawan arus dan menabrakkan motornya pada sebuah truk. Sungguh ironis.

Beruntung nasib baik masih berpihak pada putranya itu. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup. Meskipun keadaan sang putra saat ini, tetap tidak baik-baik saja. Sebab, dokter menyatakan bahwa sang putra mengalami koma.

Suara langkah kaki terburu-buru terdengar mendekat. Murni segera menegakkan wajah. Air mata diusap dengan kasar.

"Bu, bagaimana keadaan Arvin?" Pemilik langkah kaki tersebut ternyata putra sulung Murni.

"Marvin!" Murni langsung memeluk Marvin erat. Menumpahkan segala kesedihan dalam dada sang putra. "Adikmu, Vin! Kenapa dia tega ngelakuin hal senekat itu? Dia udah gak sayang lagi sama kita," racau Murni.

Marvin semakin mengeratkan dekapannya pada sang ibu. Sakit rasanya melihat ibunya menangis seperti ini. Ingin rasanya Marvin marah pada orang yang menjadi penyebab ibunya menangis.

Tapi, mengingat di mana mereka berada saat ini. Marvin urung melakukannya. Terlebih ia belum tahu betul bagaimana keadaan sang adik saat ini.

"Ssttt! Ibu tenang, ya. Semua pasti baik-baik saja." Marvin mencoba menenangkan ibunya. Bukannya tenang, Murni justru semakin tergugu.

"Bagaimana Ibu bisa tenang? Itu mustahil, Vin. Apalagi ... apalagi dengan keadaan adikmu saat ini," tutur Murni disela-sela sedu-sedannya. Terdengar putus asa.

Marvin tentu penasaran dengan maksud ucapan sang ibu. Pria itu lantas mengurai jarak. Menatap ibunya lekat-lekat. Sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan.

"Bu, apa yang terjadi pada Arvin? Bagaimana keadaannya saat ini? Tolong kasih tahu Marvin, Bu," ujar Marvin dengan hati-hati.

"Vin, adikmu koma," kata Murni kembali terisak.

Deg.

"Nggak! Ini gak mungkin," lirih Marvin.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status