Share

2

"Saudara Marvin Aurio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah yang walinya dipercayakan kepada saya Mahmudi Alimuddin dengan maskawin emas seberat dua puluh gram dan sebuah rumah mewah dibayar tunai!" ucap penghulu seraya mengayunkan genggaman tangannya, tepat setelah kalimatnya selesai.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nara Formosa binti almarhum Muhammad Abdullah dengan maskawin yang tersebut di atas dibayar tunai!" Suara Marvin terdengar lantang dan tegas. Menggema di udara.

"Bagaimana saksi pertama?" tanya penghulu pada saksi dari pihak mempelai pria.

"Sah!" sahut saksi pertama cepat.

"Saksi kedua?" Penghulu beralih pada saksi dari mempelai wanita.

"Sah!" jawab saksi kedua mantap. Diikuti oleh para hadirin yang hadir menyaksikan ijab qobul pasangan pengantin tersebut.

"Alhamdulillah ...." Suara syukur penghulu terdengar lega. Doa usai ijab qobul pun mengalun begitu saja. Dipimpin oleh penghulu dan diaminkan oleh semua orang.

"Amin amin amin ya rabbal 'alamin. Alfatihah!" ucap penghulu menutup doa bersama yang dilakukan.

Akhirnya prosesi sakral pernikahan Marvin dan Nara berjalan lancar. Meskipun keterkejutan Nara masih belum bisa hilang sepenuhnya. Gadis itu masih menyimpan banyak tanya di benaknya. Terutama mengenai identitas pria yang kini telah resmi menjadi suaminya.

"Kepada pengantin pria dipersilakan untuk menyerahkan mahar pernikahannya kepada pengantin wanita ...," ucap pembawa acara kembali terdengar menginterupsi.

Dengan perasaan canggung, Marvin mengambil mahar pernikahan yang ada di atas meja. Kemudian memberikannya kepada gadis yang duduk di sampingnya. Yang kini telah sah menjadi istrinya. Pembawa acara membimbing Marvin untuk mengucapkan sepatah dua patah kalimat, saat menyerahkan maharnya pada sang istri.

Marvin kira setelah itu tidak adalagi drama lanjutan. Tapi, ternyata dugaannya salah. Karena pembawa acara kembali bersuara. Kali ini menyuruh mereka untuk bersalaman. Dan, pengantin wanita diminta untuk mencium tangan pengantin pria. Kemudian pengantin pria diharuskan membalas dengan melabuhkan kecupan di kening istrinya.

"Astaga! Kenapa jadi seribet ini?" batin Marvin ngedumel. Tapi tetap saja melakukan apa yang pembawa acara arahkan.

Nara mencium punggung tangan Marvin dengan khidmat. Sentuhan bibir Nara yang menempel pada permukaan kulit Marvin. Membuat pria itu terjenggit, seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Hingga pria itu terpaku dan menegang.

"Ayo! Sekarang gantian pengantin prianya memberikan kecupan untuk pengantin wanitanya!" sorak pembawa acara menyadarkan Marvin.

Pria yang semula bersikap dingin dan berwajah datar itu. Tampak kaku mendekatkan wajah pada istrinya. Sambil menahan perasaan canggung dan gugup yang tiba-tiba hadir, Marvin melabuhkan sebuah kecupan singkat di kening Nara.

Suara tepuk tangan menggema di udara. Menyaksikan tindakan Marvin yang menurut mereka malu-malu. Semua orang berpikiran seperti itu. Mereka beranggapan bahwa Marvin tengah malu. Karena harus bersikap intim di depan umum.

Padahal Marvin tengah mati-matian menetralkan debaran jantungnya, yang tiba-tiba berdegup kencang. Sama halnya dengan Marvin, Nara pun tengah bersusah payah untuk meredam gejolak di dadanya. Meskipun rasa penasaran yang tersimpan di hati belum terjawab. Tidak dipungkiri bahwa tindakan Marvin barusan, telah berhasil membuat gadis cantik itu merona.

Waktu pun terus berjalan, ucapan selamat terus diterima oleh kedua pengantin. Baik Nara maupun Marvin hanya bisa mengucapkan terima kasih, pada semua tamu undangan yang menyalami mereka. Sampai akhirnya malam pun tiba dan pesta pernikahan mereka berakhir.

"Acara sudah selesai. Lebih baik kalian langsung istirahat," ucap Bagaskara pada Marvin dan putrinya. Nara hanya bisa mengangguk patuh.

"Kamu pergilah dulu. Aku ingin bicara sebentar dengan Ayah," ujar Marvin pada istrinya. Entah apa yang ingin dibicarakan suaminya dengan sang ayah. Nara pun tidak tahu. Gadis itu hanya mengangguk dan pergi begitu saja.

•••

Sebuah kamar presiden suite room tampak terlihat indah dan memukau. Sebuah spring bed berukuran besar dihiasi dengan kelopak mawar merah. Kemudian sepasang angsa yang terbentuk dari selimut di atasnya. Ditempatkan dengan posisi seperti tengah berciuman.

Pemandangan itu menggambarkan suasana romantis. Ciri khas pengantin baru. Belum lagi lampu temaram yang di pasang dan lilin-lilin kecil yang dihidupkan. Semua tertata rapi dan epik di tempat-tempat tertentu.

Sangat memanjakan mata. Nara yang baru saja masuk ke kamar pengantin itu. Tampak berdiri mematung memandangi keindahan yang disuguhkan. "Apa artinya semua ini tanpa kamu?" gumam Nara dengan suara lirih.

Gadis itu memejamkan matanya. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak di dadanya. Bersamaan dengan bulir bening yang menetes dari sudut mata.

"Maafin aku," lirih Nara. "Nggak seharusnya aku kaya' gini. Aku terpaksa melakukannya. Pernikahan ini ... bukan pernikahan yang aku mau." Lanjut Nara sambil terisak.

Sedih. Nara benar-benar sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. Bibirnya memang menyetujui pernikahan ini. Tapi tidak dengan perasaannya. Jauh di lubuk hati Nara. Gadis itu tengah menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Kenapa harus dia yang berkorban? Kenapa harus dirinya yang menikah dengan pria asing? Secepat ini, kenapa? Pertanyaan itu terus bermunculan di benak Nara.

Gadis itu terisak menangisi nasibnya yang menurutnya kurang beruntung. Awalnya Nara sudah menerima dengan ikhlas pernikahan yang akan dijalani. Namun, mendapati kenyataan yang ada. Membuat luka yang susah payah disembunyikannya. Akhirnya kembali terbuka.

"Kenapa harus wajah itu? Kenapa bukan wajah orang lain saja yang muncul di depanku? Kenapa?" racau Nara meratap.

Sakit. Hati Nara benar-benar sakit setelah bertatap muka dengan pria yang telah resmi menjadi suaminya. "Aku kira itu kamu. Tapi ... tapi ternyata orang lain. Kenapa takdir begitu jahat sama aku?"

Nara terus meracau sambil terisak. Menyuarakan kesedihan atas ketidakadilan takdir yang telah mempermainkan perasaannya. Sehingga Nara harus kembali merasakan sakit dan lukanya kembali berdarah.

Cukup lama Nara bergelut dengan tangisnya. Sampai akhirnya terdengar suara handel pintu diputar. Cepat-cepat Nara menghapus jejak air mata di kedua pipinya. Meskipun semua usahanya itu hanya sia-sia. Sebab, matanya yang memerah tidak dapat disembunyikan.

Marvin melenggang masuk ke dalam kamar. Sementara pintu sudah tertutup secara otomatis. Pria itu melihat gadis yang tadi dinikahinya tengah berdiri membelakanginya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara berat Marvin menyapa telinga Nara.

Pria itu merasa heran melihat Nara yang ternyata belum mengganti pakaian. Gadis itu masih memakai gaun pengantin. "Apa dia tidak gerah dengan pakaian seperti itu?" batin Marvin bertanya-tanya.

"Tidak ada." Nara menjawab seadanya.

Marvin mengangkat kedua bahu. Tampak tak peduli dengan jawaban yang Nara berikan. Juga tidak bermaksud bertanya lebih banyak.

Pria itu memilih berjalan melewati Nara, menuju ranjang. "Ck, apa setiap kamar pengantin akan dihias seperti ini?" Pertanyaan Marvin terdengar konyol. Pria itu bahkan berdecih, ketika melihat ranjang berseprei putih itu dipenuhi dengan kelopak mawar.

"Bagaimana orang bisa nyaman beristirahat dengan tempat tidur kotor seperti ini?" kata Marvin berkomentar. Kali ini pertanyaannya berhasil menarik perhatian Nara.

Gadis itu menyipitkan matanya. Melihat ke arah Marvin dengan tatapan aneh. Pasalnya, hampir semua kamar pengantin di hotel pasti akan dihiasi seperti itu. Lalu, apa yang aneh? Pikir Nara merasa bingung.

"Ck, yang aneh itu dia!" batin Nara bermonolog. Menilai tingkah Marvin yang menurutnya kurang romantis. Padahal pihak hotel sengaja menghias kamar pengantin mereka sedemikian rupa. Supaya bisa menciptakan suasana romantis untuk pasangan pengantin baru.

Seperti mereka saat ini. Tapi lupakan saja! Sepertinya pria yang menikah dengan Nara, bukanlah pria romantis. "Lihat saja wajahnya itu! Hanya terlihat datar dan dingin sedari tadi." Lagi-lagi Nara mengomentari Marvin dalam hati.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanpa disangka oleh Nara. Marvin tiba-tiba berbalik badan dan langsung melontarkan pertanyaan padanya.

Hal ini tentu saja membuat Nara gugup. Apalagi kini pria itu justru berjalan mendekat ke arah Nara. Semakin dekat hingga membuat Nara melangkah mundur.

"Ka-kamu mau apa?" tanya Nara terbata. Sementara Marvin tampak tak peduli dengan kegugupan yang tengah Nara tunjukkan.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status