Setelah makan malam, David sedang memeriksa beberapa dokumen di ruang kerja ketika ketukan di pintu mengganggunya. Itu adalah Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda David, ayahmu bertanya kapan kamu akan membawa Nyonya Muda Anisa itu kembali ke rumah lamamu.” David melihat ke atas sambil membuka berkas lain untuk mengamati dengan teliti, seolah Paman Iskandar Muda tidak ada. Keringat dingin mengucur di alis Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda?” dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi. “Katakan saja kondisi saya memburuk, saya batuk darah dan tidak bisa keluar rumah. Apakah alasan itu sudah cukup?” Dengan merasa tidak nyaman, Paman Iskandar Muda berkata, “Tetapi Tuan tampak tidak senang ketika ayahmu berbicara tentang nyonya muda. Ayahmu bilang dia tidak tahu apa yang dipikirkan Victor tentang Anisa. Saya khawatir Victor akan membuat cerita bohong tentang Nyonya Muda Anisa.” Saat menyebut nama istrinya, Anisa, David mengangkat kepalanya. Tatapan tajam mengintimidasi menu
“Hm… Ada apa, sayang.” David sedikit mengernyit, baru setengah sadar, dan memeluknya lebih erat lagi, kembali tertidur dalam kepompong yang hangat. Merasakan napasnya yang hangat, wajah Anisa semakin memerah merona seperti tomat yang baru saja matang. Perasaan aneh muncul di dalam hatinya, seperti sensasi rasa gatal yang ingin digaruk, membuat api menggenang ke seluruh tubuhnya. Napasnya tercekat dan dia menggeliat. “Sayang, jika kamu tidak bangun, aku akan bangun.” Dia mungkin akan terbakar gairah nafsu, jika dia tidak segera bergerak! Geliat Anisa pasti telah membangunkan suaminya, karena David perlahan membuka matanya lalu tersenyum lebar. “Selamat pagi, Rahma.” Wajah Anisa memerah merona kembali. Dia memalingkan muka dari pandangan David dengan malu-malu, tidak mampu menatap tatapannya. “Selamat... selamat pagi juga.” Mereka bertatapan satu sama lain, tersenyum manis menyambut pagi hari yang cerah. Dengan santai David bertanya, “Saat aku setengah tertidur, aku dengar kam
David merenung di dalam hatinya, bahwa ada cara lain yang jauh lebih mudah baginya sebagai orang berkebutuhan khusus, untuk berolahraga di kamar tidur. Dia bisa memikirkan banyak cara lain untuk membuatnya berkeringat, semuanya tanpa harus keluar rumah. “Aku tahu yang kamu inginkan hanyalah menjagaku. Kita bisa menyetel alarm nanti, dan aku akan bisa bangun secara alami setelah terbiasa mendengar alarm jam,” kata David dengan memberikan saran untuk menyetel alarm jam agar mereka terbiasa bangun pagi dengan teratur. Rasa malu Anisa hilang karena respons David yang optimis, dan pikirannya melayang ke jenis perawatan apa yang cocok untuk membantu David pulih secara efektif. Dia tersenyum lebar ke arah suaminya, dan berjanji untuk membantu memulihkan penyakit yang diderita David. “Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita berdua,” kata Anisa sambil merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. “Oke, aku akan menunggu di ruangan tamu, dan tak sabar mencicipi masakan le
Ketika mereka sampai di Universitas A, David menurunkan kaca jendela mobil dan menyaksikan Anisa bersiap untuk bergegas pergi. Tanpa berpikir panjang, dia berkata dengan lantang, “Apakah aku mendapat ciuman selamat tinggal, Rahma, karena aku tidak bisa bertemu denganmu sepanjang hari?” Anisa mengerutkan bibirnya dan memunggungi dia tanpa menjawab. “Kamu tidak ingin menciumku? Baiklah aku mengerti... Aku memang tak berdaya dan berkebutuhan khusus. Jika ada teman sekelasmu yang melihat kami, pasti kamu tidak akan mendengarnya aku lagi,” ucap David sambil menundukkan pandangan dengan frustrasi. Anisa tidak tahan dengan celaan dirinya sendiri dengan nada menyedihkannya, jadi dia berbalik menatap David, memegang wajah pria itu dengan tangannya dan memberinya ciuman singkat di pipi. “Aku tidak pernah merasa terganggu olehmu, dan aku tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain.” Anisa hanya malu untuk melakukan itu, karena statusnya sebagai istri David Hutapea belum
Setelah mata pelajaran kuliah selesai, Anisa pergi ke ruang dosen untuk bertugas. Untuk mendapatkan uang guna menutupi biaya hidupnya, dia bekerja dengan rajin sebagai asisten Profesor Jalaluddin Akbar. Meskipun Profesor Jalaluddin dikenal sebagai dosen yang sangat tegas dan selalu memberikan tugas yang berat, Anisa tetap ingin menjadi asistennya. “Baiklah aku akan bersungguh-sungguh untuk menjadi asisten Profesor Jalaluddin. Aku tidak akan mengecewakannya. Aku berharap bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah hasil menjadi asisten Profesor Jalaluddin,” kata Anisa dengan bersemangat sambil mengepalkan tangannya menuju ke ruangan dosen untuk bertemu Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin hampir berusia delapan puluh tahun, dan siapa pun yang berada di posisinya pasti ingin pensiun dan berkeliling dunia bersama istrinya, namun dia belum mau berhenti mengajar. Dia memiliki hobi belajar sesuatu yang baru, jadi dia sampai saat ini masih bersemangat untuk mengajar di kelas. Profesor J
“Tidak sama sekali, Profesor,” Anisa menggerutu sambil menggelengkan kepalanya. Anisa tidak boleh kehilangan kepercayaan Profesor Jalaluddin, jika dia sudah tidak dipercaya, maka Anisa akan kehilangan pekerjaannya sebagai asisten dosen. Dengan demikian dia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin mendengus dingin lalu berkata, “Jika kamu tidak bisa melakukannya, katakan saja padaku. Saya memberikan tugas ini kepada Nabila Maharani, dia pasti akan memakan waktu kurang dari 2 minggu.” “Jangan, Profesor. Saya akan menyelesaikan semua tugas ini dengan benar dan cepat.” Anisa menggerakkan kedua tanggan seperti lambaian penolakan dengan cepat berharap Profesor Jalaluddin memberinya kesempatan. “Bagus. Sebaiknya kamu selesaikan tugas itu dengan baik.” Tangan Anisa mengepal dengan penuh semangat dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menyesaikan semua tugas dengan cepat. Meskipun kata-kata Profesor Jalal
Gelak tawa menggema di koridor, semakin dekat, ditambah dengan suara bola yang memantul ke atas dan ke bawah. Dua pria tinggi berjalan dari belakang ke arah Anisa. Mereka adalah Maulana Ibrahim dan Alexander Martin, mereka berdua melihat keributan dari jauh dan memutuskan untuk menjadi penengah. Alexander yang memegang bola basket melingkarkan lengannya yang bebas ke bahu Anisa. "Saya mendengar seseorang mengancam junior saya," kata seorang pria yang baru sampai sambil tertawa. "Tentang apa semua itu? Apa yang akan terjadi dengan kembang kampus kita? Tapi jangan takut. Aku ada di sini selalu melindungimu." Secara tidak sadar Anisa berdiri di sana tak berdaya sambil memeluk pria itu sejenak. Kejadian itu seperti yang bersikap begitu santai, begitu santai, tidak peduli dengan situasi yang ada. Dengan sedikit terkejut Alexander bertanya, “Apakah kamu takut dengan mereka berdua?” Anisa kembali sadar lalu menjauh darinya dan berkata, "Saya tidak takut, Senior." “Baiklah kalau beg
Alis Ibrahim masih terkatup rapat, namun nada suaranya tetap lembut saat menjawab, “Jangan berbicara begitu bebas tentang sesuatu tanpa bukti apa pun, Sumiati. Ditambah lagi, Amanda bilang kamu baru saja bersenang-senang tadi. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk, ya.” “Itu tidak benar, Saudraku. Tadi Amanda hanya bergurau saja. Amanda! Katakan yang sebenarnya terjadi, aku tidak ingin Anisa lepas begitu saja!” desak Sumiati kepada Amanda agar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Amanda dengan senang hati menceritakan kejadian itu. Namun, sepertinya dia melebih-lebihkan fakta yang ada dan memojokkan Anisa dengan segala upaya. Anisa mengepalkan tangannya dengan kuat dan siap menghajarnya kapan saja. “Awas ya kau! Aku akan membalaskan semua penghinaan ini dengan berkali-kali lipat!” gumam Anisa di dalam hatinya dengan geram. Sadar dengan sikap Anisa yang sedang marah, Alexander menyapu rambut dari matanya dan memberikan saran, “Karena sepertinya tidak ada yang bisa mengamb
“Aku merasa bersalah. Aku… Aku tidak sengaja menumpahkan air panas kepadamu… Aku akan lebih hati-hati lagi…” Anisa sangat terpukul akibat perbuatannya sendiri yang tak mampu menjaga suaminya dengan baik.“Aku tidak apa-apa, sayang. Itu adalah kecelakaan… Maafkan aku juga yang tidak bisa memegang cangkir itu dengan benar,” balas David berusaha menjelaskan kondisi dirinya.“Kamu benar-benar tidak bisa merasakan apa pun di kakimu, sayang? Padahal airnya panas sekali?” kata Anisa sambil meneteskan air matanya di pipinya. “Sebenarnya aku merasakannya, tapi hanya sedikit.” David benci melihat Anisa menangis. Dengan cepat dia meraih Anisa untuk memeluknya, membungkus istri kecilnya dalam pelukan hangatnya. Selain itu, dia pada dasarnya berhati-hati, dan airnya paling hangat, tidak sepanas yang Anisa katakan. “Apakah kamu yakin tidak apa-apa, sayang?” kata Anisa sambil menyeka air matanya yang menetes. “Sungguh, aku baik-baik saja, Rahma. Hapus air matamu, aku akan merasa bersalah
Setelah mengirim pesan, David melirik Anisa. Istrinya benar-benar cantik, dan penuh semangat. Tidak mengherankan jika Anisa memiliki beberapa pengagum di universitas, tetapi jika ada yang berani mencoba mengambil wanita itu darinya, mereka sama saja dengan mencari masalah. Anisa telah mempelajari dokumen yang diberikan Profesor Jalaluddin dengan cermat. Tiba-tiba, dia berseru, “Ternyata kemaluan pria penuh dengan saraf, sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ereksi. Sungguh menarik...” Anisa terlalu fokus dengan tugasnya dan tidak sadar mengucapkan kata-kata sensitif yang bisa saja menyinggung suaminya. David terdiam mendengar kata-kata Anisa saat membaca dokumen milik Profesor Jalaluddin. “Ereksi adalah kondisi ketika kemaluan pria dalam keadaan tegang, keras, dan membesar karena peningkatan aliran darah. Apa ini? Aku jadi penasaran.” Anisa sedang memeriksa informasi tersebut murni melalui kacamata seorang mahasiswa kedokteran, tanpa memikirkan sesuatu yang tidak senonoh, i
Anisa menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran, ditambah lagi, dia memiliki pengetahuan umum untuk mendukungnya. Dia sudah bertekad untuk mencari cara mengobati suaminya tercinta. “Aku adalah istrimu, senang maupun sulit kita jalani bersama. Tidak masalah tentang penyakitmu, sayang. Aku menyayangi kamu karena aku mau. Aku menginginkan kamu seutuhnya, selamanya, setiap hari.” Anisa berusaha untuk meyakinkan suaminya, jika dia sungguh-sungguh mencintai David. Tatapan matanya melebar dengan senyuman manis terpancar dari sikap keterbukaannya. “Apakah kamu menerima aku apa adanya?” tanya David dengan mengerutkan keningnya, dia masih meragukan kesetian Anisa. “Ya, mengapa tidak? Belah dada ini dan lihatlah hatiku, jika itu bisa meyakinkan kamu. Hidup dan matiku hanya untukmu, rasa hati ini tak akan pernah bisa dusta.” Sebuah ungkapan rasa cinta yang mendalam diucapkan oleh Anisa, dia mencintai suaminya dengan setulus hatinya. David seketika tersenyum lebar sa
Terkejut dengan kata-kata temannya, Anisa melirik David dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan pengeras suara. “Kau sudah memberitahuku semua ini sebelumnya, Adelia. David adalah suamiku! Aku sudah menikah. Jadi, berhentilah membicarakan dia seperti itu.” Adelia masih menolak untuk mendengarkan alasan Anisa dengan berkata, “Berhentilah terlalu memedulikan pria berkebutuhan khusus itu. Lagi pula, dia tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tidakkah kamu setidaknya mencoba mendengarkan aku? Senior Ibrahim adalah segalanya yang diinginkan seorang gadis di kampus. Kamu akan menghancurkan hatiku jika terus melakukan ini, tahu.” Anisa tahu bahwa temannya hanya bermaksud yang terbaik untuknya. Kalau tidak, dia pasti sudah menutup telepon sejak lama. Namun kata-kata ini hanya akan melukai perasaan David jika dia mendengarnya. Sejenak Anisa mengabaikan suara telepon Adelia untuk melihat ekspresi suaminya, dia melihat David menundukkan pandangannya dan terdiam membeku saat mende
Anisa menoleh ke arah sumber suara dan melihat suaminya bersama Paman Iskandar Muda datang, “Kedatangan kamu tepat waktu, sayang.” Dia memberi David sebuah sendok dan garpu makan sambil tersenyum lalu berkata, “Cobalah ini dan lihat bagaimana kamu menyukainya.” David mengambil tiga piring, dua mangkuk, dan alat makan lainnya di depannya, sebelum duduk dia memasang ekspresi di wajahnya yang berseri-seri. Kehidupan yang mereka jalani adalah hal yang rutin dan biasa saja, namun ada sesuatu yang istimewa juga di dalamnya, yaitu kualitas rumah tangga yang berbagi tempat tinggal, makan bersama, seiring pergantian musim dan perubahan di sekitar mereka. “Untuk apa kamu menatapku? Ayo makan, kenapa kamu hanya tersenyum?” kata Anisa mengajak suami untuk segera makan. “Karena kecantikanmu memanjakan mata,” jawab David sambil mengangkat alisnya. Sebuah pujian yang membuat hati berbunga-bunga saat mendengarnya. Anisa tersipu malu hingga pipinya memerah merona. Suaminya kadang-kadang
Wajah Anisa memerah merona indah bagaikan sebuah tomat yang matang. Karena bingung dan tidak berdaya, dia menjelaskan sekali lagi, "Aku hanya mengkhawatirkan penyakitmu, sayang. Aku tidak menolak untuk menciummu..." Jika Anisa benar-benar menolaknya, dia pasti sudah marah sejak lama. "Kalau begitu cium aku sekarang," kata David sambil tersenyum manis ke arah Anisa dan tatapan matanya dipenuhi rasa kasih sayang. David bersikap tidak adil, dia sudah memaksakan ciuman pada Anisa sebelumnya. Tapi Anisa tidak bisa menahan beban tatapan pria itu padanya, cerah dan membara, jadi dia memberinya kecupan di pipi, sapuan bibir paling halus di kulit. Sekarang David percaya, jika cinta Anisa hanya ada untuk dia seorang diri. David tidak tergerak lalu berkata dengan nadanya yang manja, "Aku sudah memberitahumu bahwa ciuman yang pantas antara suami dan istri dilakukan di bibir, bukan?" Terpecah antara menangis dan tertawa, Anisa hanya bisa bersandar dengan patuh dan menyentuh bibirnya den
David tidak menanggapi. Wajahnya masih suram dan gelap seperti guntur. Khawatir, Anisa mengulurkan tangan dan meraba dahi David, dan dia tidak terasa lebih panas dari biasanya. Anisa masih bingung dengan sikap David yang seperti ini. "Apa yang salah? Bagian mana dari dirimu yang tidak sehat?" kata Anisa berusaha bertanya tentang kondisi suaminya yang dari tadi memasang ekspresi muram. "Aku baik-baik saja..." David menghela napas dengan beberapa kali batuk yang terdengar menyakitkan. Anisa menggenggam tangan David dan memeluknya, sekali lagi bersikeras bahwa dia baik-baik saja. “Apakah kamu yakin, sayang?” tanya Anisa dengan mengerutkan keningnya. Dia sangat khawatir dengan kondisi suaminya, sikap David tidak seperti biasanya. Kulit Paman Iskandar Muda merinding ketika dia melihat tuan mudanya kembali menunjukkan kerapuhannya, untuk menipu istri kecilnya. David terus terbatuk-batuk keras hingga dadanya terangkat. Anisa terlihat sangat cemas, dia menyusapkan tangannya dengan l
"Aku serius, Kak Senior. Mengapa aku bercanda tentang sesuatu yang begitu penting? Aku benar-benar sudah menikah, Kak Senior. Paman Iskandar Muda adalah ajudan suamiku," kata Anisa dengan tatapan meyakinkan untuk meyakinkan Ibrahim jika dia sudah menjadi istri seseorang. Kata-kata Anisa seperti jarum yang menusuk telinga Ibrahim, tajam, menusuk ke dalam hatinya dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak bisa dibayangkan. “Apa? Kamu sudah menjadi istri seseorang? Ha ha ha... Lucu sekali, Anisa.” Ibrahim tertawa terbahak-bahak seperti hilang akal karena belum bisa menerima kenyataan ini. “Kamu pasti bercanda, kan?” Ibrahim tidak percaya, jika gadis yang disukainya sudah menikah dan telah menjadi kekasih seseorang. Terlebih lagi, bagian yang paling lucu adalah dia masih menunggu Anisa menyadari perasaannya, seperti orang bodoh yang naif. Dia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Jika Anisa tidak bercanda, maka pastilah hatinya sedang mempermainkan perasaannya. "Apakah kamu baik-
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko