Tidak ada yang boleh mengetahui rencananya bersama Sophia. Matthew ingin Bart benar-benar hancur. Hancur dalam segala hal. Selama bertahun-tahun sejak pertemuan mereka yang kacau. Bart sudah menjadi ikon saudara yang buruk di mata Matthew. Dia menginginkan apa yang dimiliki Bart. Harta, ketenaran, bahkan istri yang dimiliki Bart, terlebih lagi wanita yang menjadi istri Bart adalah Hanna, kekasihnya di masa lalu yang masih begitu dia cintai.
Mattew melajukan kendaraannya melalui jalan tol yang cukup sepi di waktu-waktu sekarang. Ini merupakan pilihan yang tepat dengan apa yang dia rencanakan. Dari kaca spion yang ditatap Matthew, nampak sebuah mobil minibus milik Tonny mengekorinya dari jarak yang cukup dekat.
Matthew mendesis, dia menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyadari itu, Tonny terpancing untuk mengejarnya. Beberapa saat setelahnya, Tonny menyadari bahwa Matthew sengaja melakukan itu untuk melarikan diri karena menyadari tujuannya.
Hanna menggigit bibir kala Bart mengendus di ceruk lehernya, dia meraih kedua pundak Bart dan meremasnya. Drrrrt ... Getar ponsel milik Bart kembali membuyarkan fokus pria itu. Bart tahu, panggilan bisa dipastikan berasal dari Sophia. Dia sudah berjanji untuk mengabaikan panggilan-panggilan dari wanita itu sementara dirinya sedang bersama Hanna. Bart bangkit dan menghentikan aktifitasnya sejenak. Ekor mata Hanna mengikuti pergerakan Bart, "Panggilan dari wanita itu lagi?" tanyanya. Sambil tersenyum, Bart meyakinkan Hanna, "Saya hanya ingin menon-aktifkan ponsel ini, rasanya tidak nyaman jika harus membiarkannya mengganggu malam kita." Bart terkekeh. Hanna membuang pandangan dengan malu-malu, dia juga merasa bangga seolah dinomor satukan oleh suaminya kali ini. Bart mengambil ponselnya dengan kasar. Baru saja dia ingin menekan tombol non aktif, tapi nama yang tertera di layar ponsel kembali membuatnya terganggu. Bart ingin menerima panggi
Bart melajukan mobil di atas kecepatan rata-rata. Keinginannya hanya satu, memeluk Hanna dengan erat dan mengucapkan permohonan maaf bertubi-tubi. Sikap Sophia membuatnya terlihat bodoh. Begitu bodohnya hingga mau saja pergi meninggalkan istri yang nyata-nyata lebih memiliki posisi yang lebih penting. Setiap kali melewati kemacetan, Bart selalu saja merutuk. Dia ingin sekali cepat tiba menemui Hanna. Setibanya, Bart berlari menuju pintu utama. Suasana kediamannya itu terlihat normal, dari lantai bawah dia bisa menyaksikan pintu kamarnya bersama Hanna terbuka dan lampu pun menyala. Ada sedikit perasaan tenang yang dirasakan Bart mana kala dirinya meyakini jika sang istri belum tidur. Itu artinya mereka memiliki kesempatan untuk membahas kejadian malam ini. "Hanna," panggil Bart ketika dia sudah memasuki kamar. Namun, dia tidak menemukan keberadaan istrinya di sana. Bart membuka pintu kamar mandi, berharap jika wanita yang dia cintai sedang berada di dalam sana.
Sesak tiba-tiba mendera di dalam dada, Hanna mencoba untuk mengatur laju embusan napasnya yang semakin tak beraturan mana kala menyaksikan foto sang suami yang berada di layar ponsel. Tatapannya mengarah ke gumpalan-gumpalan awan yang tebal, tepat berada di ketinggian tiga puluh dua ribu feet di atas permukaan laut. Ada kerinduan dan kekecewaan yang membaur menjadi satu, tapi begitu sulit untuk dijabarkan lebih jelas. Hanna ingin sekali bersandar di dalam pelukan pria itu. Namun, sepertinya sudah cukup untuk tidak membohongi diri sendiri lagi dengan meyakinkan bahwa sang suami benar-benar mencintainya seperti apa yang terlihat terakhir kali. "Kau menyesal meninggalkannya, Nak?" ucap pria paruh baya yang duduk di samping wanita itu. Pria yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Hanna yang terlihat murung. Sesekali wanita itu mengusap sudut matanya yang basah, dan hal itu tidak luput dari pengamatan sang pria. Wajah pria itu terlihat tampan meskipun sudah berumu
"Kau tentu mengenal Tonny, bukan? Selama ini dia terlihat seperti orang kepercayaan Bart, tapi sebenarnya Tonny bekerja untukku." Tuan Chris menjelaskan semua kejadian sejak awal hingga hari di mana dirinya mendengar kabar bahwa Tonny mengalami insiden. Terakhir kali Tonny menghubunginya tadi malam, tepat beberapa saat sebelum terjadinya insiden itu. Namun, Tuan Chris memilih untuk tidak menemui Tonny yang saat ini sedang menjalani perawatan, setelah dia yakin bahwa pria itu sedang berada di tempat yang aman, dan justru memilih untuk menemui Hanna dengan cara ini. Hanna melebarkan kedua matanya setelah mendengar semua penjelasan yang keluar dari mulut Tuan Chris. Segala tentang kebusukan Sophia, Matthew yang ternyata memiliki pertalian darah dengan Bart juga memiliki motivasi tertentu untuk menghancurkan kehidupan pria itu, serta kenyataan tentang jati diri Thomas. "Hanna, kamu tahu, 'kan seperti apa watak suamimu? Dia akan melakukan apapun agar pernikahannya t
"Ck! Aku bisa pergi sendiri, jauhkan tangan kotormu!" titah Sophia kepada Bibi Helena. Tentu, Sophia adalah manusia yang sehat meski tubuhnya terlihat kurus akibat kegagalan liposuction dan diet ketat yang sempat dia jalani, sehingga wanita itu kehilangan kemampuan tubuhnya dalam menyerap nutrisi secara maksimal. Bibi Helena seolah menulikan pendengarannya dengan terus saja mendorong kursi roda yang ditumpangi Sophia hingga dia memastikan bahwa wanita licik itu benar-benar berada di kamar perawatannya dan tidak mengganggu Bart untuk sementara waktu. Dengan wajah kesal, Sophia menggerutu sepanjang lorong menuju ruang perawatannya. Andai saja saat itu dia tidak sedang bersandiwara, tentu Sophia akan memilih untuk berjalan dengan kedua kakinya sendiri menuju ruang perawatan. Setelah kepergian Sophia dari kamar perawatan Bart, seorang dokter pria bersama perawat wanita yang menjadi asistennya masuk ke dalam ruang perawatan Bart dan menghampiri pria itu sambil
"Sebaiknya kau pulang saja, Bi. Thomas mungkin membutuhkanmu, pengasuh lain mungkin tidak akan bisa menghadapi Thomas dalam jangka waktu lama, karena dia pasti akan mencarimu," pinta Bart kepada Bibi Helena. Bagi Bart, tidak ada kekuatan emosional yang begitu dalam antara dirinya bersama Thomas. Dia mencoba untuk mendalami perasaannya sendiri. Apakah hal yang sama akan terjadi jika dia memiliki keturunan bersama Hanna. Jika memang demikian, maka Bart tidak pantas untuk memikirkan bahwa suatu hari nanti Hanna akan memberikannya seorang keturunan dan kembali mengecewakan wanita itu atas sikap dinginnya terhadap anak kecil. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Bart sungguh menginginkan hidup bahagia bersama Hanna dan buah cinta mereka. Sebuah pernikahan impian yang mungkin hanya sebatas impian, sementara pada kenyataannya kini Hanna telah meninggalkan Bart yang jatuh dalam keterpurukan. Bart meraup wajah dan menghela napas secara bersamaan. Sekali lagi dia memben
*** Tidak ada hiruk pikuk di pulau terpencil seperti ini. Yang ada hanyalah keindahan dan ketenangan yang melebihi dari apa yang pernah dibayangkan oleh Hanna. Ada beberapa bungalow yang terlihat di pandangan mata wanita berparas cantik itu. Di beberapa bungalow terlihat pula beberapa pasangan yang sepertinya sedang melewati momen bulan madu. Mereka tak sungkan mempertontonkan kemesraan di alam bebas, membuat Hanna menjadi uring-uringan menyaksikan pemandangan itu. "Ck! Kehadiran mereka hanya merusak suasana!" gumamnya dengan mulut mencebik. Pandangannya teralihkan pada sosok pria yang sedang memanggul seorang anak laki-laki di pesisir pantai. Sesaat Hanna terkesiap menyaksikan interaksi antara anak dan ayah itu. Namun, yang membuatnya tak henti-henti memutuskan pandangan adalah ketika wajah pria itu mengingatkannya dengan sosok Bart. Hanna tersenyum kecut mana kala membayangkan dirinya bersama Bart sedang bermain-main di pesisir pantai bers
Entah sudah berapa lama Fabian dan Hanna berdiri di sisi pantai tanpa kata yang terucap, keduanya seolah terkikis jarak meskipun kini mereka berdiri bersebelahan. Hanna berdiri di sisi Fabian, membiarkan semilir angin senja menerpa kulitnya yang terlihat meremang. Sesekali dia mengusap-usap pergelangan tangannya untuk menciptakan hangat dari tubuhnya sendiri. "Sebenarnya siapa kamu, dan apa tujuanmu mengucapkan kata-kata itu barusan?" tanya Hanna setelah membiarkan hening beberapa saat setelah pertanyaannya yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fabian. Namun, pertanyaan terus berputar di benaknya atas apa yang sedang terjadi saat ini. "Peduli, kami peduli pada kalian," ucap Fabian singkat. Hanna sempat berpikir bahwa dia salah dengar, tetapi wajah yang ditunjukkan Fabian begitu meyakinkan seperti apa yang terdengar. Bagaimana mungkin Tuan Chris dan Fabian begitu peduli kepadanya, sementara Hanna hanyalah sekedar orang asing yang baru saja masu