Entah sudah berapa lama Fabian dan Hanna berdiri di sisi pantai tanpa kata yang terucap, keduanya seolah terkikis jarak meskipun kini mereka berdiri bersebelahan. Hanna berdiri di sisi Fabian, membiarkan semilir angin senja menerpa kulitnya yang terlihat meremang. Sesekali dia mengusap-usap pergelangan tangannya untuk menciptakan hangat dari tubuhnya sendiri.
"Sebenarnya siapa kamu, dan apa tujuanmu mengucapkan kata-kata itu barusan?" tanya Hanna setelah membiarkan hening beberapa saat setelah pertanyaannya yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fabian. Namun, pertanyaan terus berputar di benaknya atas apa yang sedang terjadi saat ini.
"Peduli, kami peduli pada kalian," ucap Fabian singkat.
Hanna sempat berpikir bahwa dia salah dengar, tetapi wajah yang ditunjukkan Fabian begitu meyakinkan seperti apa yang terdengar. Bagaimana mungkin Tuan Chris dan Fabian begitu peduli kepadanya, sementara Hanna hanyalah sekedar orang asing yang baru saja masu
"Aku tidak yakin, tapi aku rasa hal itu hanyalah sebuah kebetulan." Fabian mengucapkannya dengan sedikit ragu. Dia baru saja terpikir untuk menghubung-hubungkan kejadian di masa lalu dengan sekarang. Baru dia sadari jika Hanna dan mendiang Hanna memiliki kesamaan nama, bahkan jika Fabian ingin jujur, sosok Hanna yang sekarang, sedikit agak mirip dengan mendiang Hanna. Mereka sama-sama memiliki paras cantik dengan warna rambut keemasan.Kesan pertama saat melihat kedua wanita itu adalah membuat siapa pun lupa berkedip untuk beberapa detik. Tapi, Fabian tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengutarakan apa yang dia pikirkan saat ini. Jika tidak, mungkin saja Hanna akan berpikir bahwa Bart memang menikahinya karena alasan itu."Bart membenci wanita. Bagaimana mungkin dia membenci wanita sementara dia pernah memiliki istri bernama Hanna, lalu mencintai Sophia, kemudian menikahiku dan ingin memiliki anak. Bukankah lebih tepatnya dia adalah seorang pecinta wanita?" Tawa su
*** Suara pecahan kaca dan barang-barang berserakan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Clarissa. Sambil mendekap bayi yang berada di dalam gendongannya, wanita itu berteriak histeris dengan tubuh bergetar kala menyaksikan Matthew yang mengamuk sejadi-jadinya di dalam kamar mereka. Sejak keluar dari rumah sakit, Clarissa mendapati sikap Matthew yang terlihat lebih kasar dan pemarah. Nampaknya sesuatu telah terlewatkan saat Clarissa tidak sedang bersama pria itu. "Matt, a-apa yang terjadi, Sayang?" ucap Clarissa dengan terbata-bata di sela tangisnya, khawatir jika sikap kasar pria itu berimbas terhadapnya dengan kekerasan fisik yang bisa saja terjadi kapanpun. Tanpa menjawab, Matthew meraih kunci mobil dengan kasar yang terletak di atas nakas, meninggalkan Clarissa dan bayi mereka yang juga ikut menangis. Pernikahan mereka belum juga terlaksana. Namun, dengan melihat sikap Matthew seperti ini, tentu Clarissa butuh berpikir berkali-kali untuk
Tanpa berpikir panjang, Nyonya Sylvia segera melajukan kendaraannya untuk mengikuti ke mana tujuan Matthew, sebelum putra bungsunya itu melakukan sesuatu yang bisa mengancam kebebasannya. Dari kaca spion mobil, Matthew bisa menyaksikan mobil milik sang ibu terlihat berusaha untuk membuntuti. Dia menyadari sesuatu yang buruk sedang mengintai. Namun, apapun yang terjadi, Matthew akan tetap mengikuti kata hatinya. Secepat mungkin kenyataan pahit ini harus terkuak, bagaimanapun itu. Memiliki keahlian berkendara yang tidak bisa disepelekan, Matthew melaju dengan kecepatan tinggi. Saat ini yang dia pikirkan adalah bagaimana menebus semua kesalahan-kesalahan yang dia lakukan terhadap orang-orang yang sudah dia korbankan. Tujuannya pertama kali adalah menyambangi kediaman Bart. Dia berharap dapat bertemu dengan saudara tirinya itu dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Terutama tentang status Thomas, serta bagaimana dengan mudahnya Sophia merusak hubungan Bart bersama Hanna atas
Bart sepertinya memang mengabaikan panggilan itu. Demikianlah yang saat ini sedang dipikirkan oleh Matthew. Bagi Matthew, sikap Bart sungguh dapat dimaklumi, mengingat seperti apa hubungan mereka di masa lalu."Ayolah Bart," geram Matthew masih mencoba untuk menghubungi Bart meski dia tahu panggilannya memang sengaja diabaikan. Sementara, mobil Nyonya Sylvia semakin mengikis jarak di antara mereka. Berkali-kali terdengar klakson mobil yang membuntuti Matthew seolah mencoba menghentikan pria itu. Terdengar begitu posesif, nampak sekali si pengendara di dalamnya saat ini dalam keadaan emosi.Bruk!Benturan keras tiba-tiba mengenai bagian belakang mobil yang sedang dikendarai oleh Matthew. Tentu saja pelakunya adalah Nyonya Sylvia yang dengan sengaja ingin melakukan penyerangan tanpa berpikir panjang. Ponsel terlepas dari genggaman Matthew, tapi panggilan masih tersambung walaupun belum terhubung."Sh*t!" Matthew mengumpat sambil melajukan kendaraannya lebih
Tidak ada suara sirine iring-iringan polisi yang mengantarkan Bart menuju sumber GPS yang berasal dari ponsel milik Matthew. Sejak panggilan tersambung, Bart mendengar seluruh percakapan Matthew bersama Nyonya Sylvia, meski suara wanita itu terdengar samar-samar, tapi kata-katanya masih bisa dicerna cukup jelas di indra pendengaran Bart.Beberapa saat yang lalu ...Kelegaan tiba-tiba dirasakan oleh Sophia ketika tangan Bart meraih ponsel yang sejak tadi tak henti-hentinya berdering. Namun, gestur wajah Bart yang terlihat tegang menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Sophia. Di dalam hati dia bermonolog dengan berbagai dugaan-dugaan. Sejujurnya, dengan adanya panggilan telepon dari Matthew membuat Sophia terselamatkan dari rencana Bart untuk pemeriksaan kesehatan. Dengan demikian, maka Bart tidak akan mengetahui kenyataan tentang kondisi kesehatan ginjalnya yang ternyata baik-baik saja.Entah mengapa gestur wajah Bart menciptakan rasa ketakutan tersendiri di da
"Demi mendiang ayahmu, Matt! Lagipula kita bisa menyembunyikan cerita ini dari Hanna, sehingga kamu tidak perlu kehilangan dia. Kamu 'kan tidak melibatkan perasaanmu. Hanna tetap memiliki hatimu sepenuhnya. Ibu rasa bukan hal yang aneh jika pria seusiamu menyentuh banyak wanita tanpa melibatkan perasaan." Nyonya Sylvia mendelik dan langsung bereaksi setelah mendengar alasan Matthew untuk menolak rencana busuknya."... Ini kesempatan baik, jika kamu ingin melihat pembunuh ayahmu menjadi hancur, bahkan mungkin setelah ini akan berefek panjang di dalam kehidupannya," lanjut Nyonya Sylvia memastikan.Matthew terdiam sejenak mencerna ucapan demi ucapan yang sempat dilontarkan oleh ibu kandungnya. Sebuah ruang di sisi hatinya sangat menolak ide gila itu, tapi dendam yang terlanjur membuat Matthew kehilangan akal sehat seolah membenarkan apa yang telah direncanakan Nyonya Sylvia. Toh, benar apa yang dikatan sang ibu bahwa di luaran sana banyak pria yang seusia dengannya menye
Ada gurat kekhawatiran yang tidak mampu disembunyikan oleh Nyonya Sylvia. Tentu saja, Matthew bahkan tidak sedikitpun menggubris ucapan sang ibu. Gestur tubuhnya yang berkali-kali menatap pintu keluar seolah memberikan tanda bahwa dia ingin meninggalkan tempat itu. Melihat sikap putranya yang demikian, muncul sebuah ide buruk yang sebenarnya sudah dia persiapkan sebagai opsi kedua jika Matthew tidak bisa diajak bekerjasama secara baik-baik. "Tenangkan dirimu, Sayang. Ibu akan segera kembali," ucap Nyonya Sylvia sambil menegakkan tubuhnya, lalu berjalan menjauh. Sementara Matthew tetap bergeming, tak pula dirinya peduli dengan ucapan sang ibu. Begitu besar cintanya terhadap Hanna tak mampu dikalahkan oleh egonya untuk membalas dendam. Yang mampu dia lakukan saat ini hanyalah mengepalkan salah satu tangannya untuk menyalurkan rasa kesal di dada. Ingin sekali rasanya memberikan kenangan buruk pada pernikahan Bart. Namun, jika al itu dia lakukan, sama saja dia me
Selang lima belas menit, gelagat aneh mulai ditunjukkan oleh Fabbian. Namun, setiap orang bahkan Fabian sendiri belum menyadari ada yang salah pada dirinya. Cuaca yang dingin seolah tidak berefek apa-apa pada tubuh kokoh pria tampan yang menjadi saudara sulung Bart tersebut. Jelas sekali, permukaan kulitnya melembab dan berangsur-angsur basah oleh keringat. Bahkan wajahnya mulai menunjukkan rona merah hingga dapat dia rasakan degup jantungnya semakin cepat. Mata pria itu sedikit lelah, seolah mengantuk tapi dia tidak yakin akan hal itu."Kenapa?" tanya Tuan Besar Megens. Fabian melonggarkan dasi yang dia kenakan, disusul dengan membuka kancing di bagian kerah."Sedikit gerah," balasnya singkat sambil menyeka peluh di pelipis.Bart mengernyit. Namun, tidak sampai berpikir jika Fabian mengalami sesuatu yang tidak biasa."Selamat Tuan Bart!"Dari jarak beberapa meter nampak seorang pria sedikit lebih muda usianya dari Tuan Besar Megens menghampiri mer