***
Suara pecahan kaca dan barang-barang berserakan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Clarissa. Sambil mendekap bayi yang berada di dalam gendongannya, wanita itu berteriak histeris dengan tubuh bergetar kala menyaksikan Matthew yang mengamuk sejadi-jadinya di dalam kamar mereka.
Sejak keluar dari rumah sakit, Clarissa mendapati sikap Matthew yang terlihat lebih kasar dan pemarah. Nampaknya sesuatu telah terlewatkan saat Clarissa tidak sedang bersama pria itu.
"Matt, a-apa yang terjadi, Sayang?" ucap Clarissa dengan terbata-bata di sela tangisnya, khawatir jika sikap kasar pria itu berimbas terhadapnya dengan kekerasan fisik yang bisa saja terjadi kapanpun.
Tanpa menjawab, Matthew meraih kunci mobil dengan kasar yang terletak di atas nakas, meninggalkan Clarissa dan bayi mereka yang juga ikut menangis.
Pernikahan mereka belum juga terlaksana. Namun, dengan melihat sikap Matthew seperti ini, tentu Clarissa butuh berpikir berkali-kali untuk
Tanpa berpikir panjang, Nyonya Sylvia segera melajukan kendaraannya untuk mengikuti ke mana tujuan Matthew, sebelum putra bungsunya itu melakukan sesuatu yang bisa mengancam kebebasannya. Dari kaca spion mobil, Matthew bisa menyaksikan mobil milik sang ibu terlihat berusaha untuk membuntuti. Dia menyadari sesuatu yang buruk sedang mengintai. Namun, apapun yang terjadi, Matthew akan tetap mengikuti kata hatinya. Secepat mungkin kenyataan pahit ini harus terkuak, bagaimanapun itu. Memiliki keahlian berkendara yang tidak bisa disepelekan, Matthew melaju dengan kecepatan tinggi. Saat ini yang dia pikirkan adalah bagaimana menebus semua kesalahan-kesalahan yang dia lakukan terhadap orang-orang yang sudah dia korbankan. Tujuannya pertama kali adalah menyambangi kediaman Bart. Dia berharap dapat bertemu dengan saudara tirinya itu dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Terutama tentang status Thomas, serta bagaimana dengan mudahnya Sophia merusak hubungan Bart bersama Hanna atas
Bart sepertinya memang mengabaikan panggilan itu. Demikianlah yang saat ini sedang dipikirkan oleh Matthew. Bagi Matthew, sikap Bart sungguh dapat dimaklumi, mengingat seperti apa hubungan mereka di masa lalu."Ayolah Bart," geram Matthew masih mencoba untuk menghubungi Bart meski dia tahu panggilannya memang sengaja diabaikan. Sementara, mobil Nyonya Sylvia semakin mengikis jarak di antara mereka. Berkali-kali terdengar klakson mobil yang membuntuti Matthew seolah mencoba menghentikan pria itu. Terdengar begitu posesif, nampak sekali si pengendara di dalamnya saat ini dalam keadaan emosi.Bruk!Benturan keras tiba-tiba mengenai bagian belakang mobil yang sedang dikendarai oleh Matthew. Tentu saja pelakunya adalah Nyonya Sylvia yang dengan sengaja ingin melakukan penyerangan tanpa berpikir panjang. Ponsel terlepas dari genggaman Matthew, tapi panggilan masih tersambung walaupun belum terhubung."Sh*t!" Matthew mengumpat sambil melajukan kendaraannya lebih
Tidak ada suara sirine iring-iringan polisi yang mengantarkan Bart menuju sumber GPS yang berasal dari ponsel milik Matthew. Sejak panggilan tersambung, Bart mendengar seluruh percakapan Matthew bersama Nyonya Sylvia, meski suara wanita itu terdengar samar-samar, tapi kata-katanya masih bisa dicerna cukup jelas di indra pendengaran Bart.Beberapa saat yang lalu ...Kelegaan tiba-tiba dirasakan oleh Sophia ketika tangan Bart meraih ponsel yang sejak tadi tak henti-hentinya berdering. Namun, gestur wajah Bart yang terlihat tegang menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Sophia. Di dalam hati dia bermonolog dengan berbagai dugaan-dugaan. Sejujurnya, dengan adanya panggilan telepon dari Matthew membuat Sophia terselamatkan dari rencana Bart untuk pemeriksaan kesehatan. Dengan demikian, maka Bart tidak akan mengetahui kenyataan tentang kondisi kesehatan ginjalnya yang ternyata baik-baik saja.Entah mengapa gestur wajah Bart menciptakan rasa ketakutan tersendiri di da
"Demi mendiang ayahmu, Matt! Lagipula kita bisa menyembunyikan cerita ini dari Hanna, sehingga kamu tidak perlu kehilangan dia. Kamu 'kan tidak melibatkan perasaanmu. Hanna tetap memiliki hatimu sepenuhnya. Ibu rasa bukan hal yang aneh jika pria seusiamu menyentuh banyak wanita tanpa melibatkan perasaan." Nyonya Sylvia mendelik dan langsung bereaksi setelah mendengar alasan Matthew untuk menolak rencana busuknya."... Ini kesempatan baik, jika kamu ingin melihat pembunuh ayahmu menjadi hancur, bahkan mungkin setelah ini akan berefek panjang di dalam kehidupannya," lanjut Nyonya Sylvia memastikan.Matthew terdiam sejenak mencerna ucapan demi ucapan yang sempat dilontarkan oleh ibu kandungnya. Sebuah ruang di sisi hatinya sangat menolak ide gila itu, tapi dendam yang terlanjur membuat Matthew kehilangan akal sehat seolah membenarkan apa yang telah direncanakan Nyonya Sylvia. Toh, benar apa yang dikatan sang ibu bahwa di luaran sana banyak pria yang seusia dengannya menye
Ada gurat kekhawatiran yang tidak mampu disembunyikan oleh Nyonya Sylvia. Tentu saja, Matthew bahkan tidak sedikitpun menggubris ucapan sang ibu. Gestur tubuhnya yang berkali-kali menatap pintu keluar seolah memberikan tanda bahwa dia ingin meninggalkan tempat itu. Melihat sikap putranya yang demikian, muncul sebuah ide buruk yang sebenarnya sudah dia persiapkan sebagai opsi kedua jika Matthew tidak bisa diajak bekerjasama secara baik-baik. "Tenangkan dirimu, Sayang. Ibu akan segera kembali," ucap Nyonya Sylvia sambil menegakkan tubuhnya, lalu berjalan menjauh. Sementara Matthew tetap bergeming, tak pula dirinya peduli dengan ucapan sang ibu. Begitu besar cintanya terhadap Hanna tak mampu dikalahkan oleh egonya untuk membalas dendam. Yang mampu dia lakukan saat ini hanyalah mengepalkan salah satu tangannya untuk menyalurkan rasa kesal di dada. Ingin sekali rasanya memberikan kenangan buruk pada pernikahan Bart. Namun, jika al itu dia lakukan, sama saja dia me
Selang lima belas menit, gelagat aneh mulai ditunjukkan oleh Fabbian. Namun, setiap orang bahkan Fabian sendiri belum menyadari ada yang salah pada dirinya. Cuaca yang dingin seolah tidak berefek apa-apa pada tubuh kokoh pria tampan yang menjadi saudara sulung Bart tersebut. Jelas sekali, permukaan kulitnya melembab dan berangsur-angsur basah oleh keringat. Bahkan wajahnya mulai menunjukkan rona merah hingga dapat dia rasakan degup jantungnya semakin cepat. Mata pria itu sedikit lelah, seolah mengantuk tapi dia tidak yakin akan hal itu."Kenapa?" tanya Tuan Besar Megens. Fabian melonggarkan dasi yang dia kenakan, disusul dengan membuka kancing di bagian kerah."Sedikit gerah," balasnya singkat sambil menyeka peluh di pelipis.Bart mengernyit. Namun, tidak sampai berpikir jika Fabian mengalami sesuatu yang tidak biasa."Selamat Tuan Bart!"Dari jarak beberapa meter nampak seorang pria sedikit lebih muda usianya dari Tuan Besar Megens menghampiri mer
Suasana temaram ...Aroma kelopak bunga mawar yang bertabur dipadu dengan beberapa lilin aromatik yang menghias, menjadi satu-satunya sumber penerangan di dalam kamar pengantin itu. Hanna sudah berada di atas peraduannya, mendengar suara pintu tertutup kasar membuat wanita itu menggapit kedua bibirnya yang ranum tanpa polesan make up.Memang sejak dirinya masuk ke dalam kamar, Hanna memutuskan untuk tidak kembali ke pesta pernikahannya bersama Bart. Dia enggan, entah mungkin karena kelelahan atau ada alasan yang lain. Yang pasti dia mencoba untuk tetap menikmati moment ini, meski ... ada nama lain yang mengganggu pikirannya.Beberapa hari sebelum pernikahan itu terjadi ..."Maaf," ucap Fabian tanpa memutus pandangan matanya ke hadapan Hanna. Wanita yang sangat dia cintai, tapi justru wanita itulah yang akan menjadi pendamping saudara kandungnya sendiri dalam beberapa hari ke depan."Tidak kah kamu akan berjuang demi aku?" Hanna memelas. Namun
Hanna yang menyadari hal itu, buru-buru memperhatikan gesture pria yang kini terkulai di sisi tubuhnya. Napas sang pria yang tadinya menggebu berembus teratur. Wanita itu khawatir jika Bart akan mendiamkannya lantaran apa yang sudah dia ucapkan tanpa sengaja ketika pergumulan tadi berlangsung. Namun, setelah mengetahui bahwa sang pria tidak melakukan apapun Hanna menyunggingkan senyum dan menggeleng perlahan untuk mengusir pikiran konyolnya.'Aku pikir tadi sedang bercinta denganmu, Fabian,' ucapnya dalam hati diiringi binar bahagia. Sesaat raut wajahnya berubah, entah mengapa Hanna merasa telah melakukan sesuatu yang fatal. Meski dirinya sempat bahagia, tapi sesuatu yang rumit untuk dideskripsikan kembali menyelimuti dirinya.Hanna mengetuk pelipisnya menggunakan kepalan tangan, merasa bodoh dengan situasi yang baru saja dia alami. Memadu kasih dengan sang suami, tapi memikirkan sosok pria yang lain. Hanna merasa bahagia dan bersalah secara bersamaan. Bersalah karena