"Aku tidak yakin, tapi aku rasa hal itu hanyalah sebuah kebetulan." Fabian mengucapkannya dengan sedikit ragu. Dia baru saja terpikir untuk menghubung-hubungkan kejadian di masa lalu dengan sekarang. Baru dia sadari jika Hanna dan mendiang Hanna memiliki kesamaan nama, bahkan jika Fabian ingin jujur, sosok Hanna yang sekarang, sedikit agak mirip dengan mendiang Hanna. Mereka sama-sama memiliki paras cantik dengan warna rambut keemasan.
Kesan pertama saat melihat kedua wanita itu adalah membuat siapa pun lupa berkedip untuk beberapa detik. Tapi, Fabian tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengutarakan apa yang dia pikirkan saat ini. Jika tidak, mungkin saja Hanna akan berpikir bahwa Bart memang menikahinya karena alasan itu.
"Bart membenci wanita. Bagaimana mungkin dia membenci wanita sementara dia pernah memiliki istri bernama Hanna, lalu mencintai Sophia, kemudian menikahiku dan ingin memiliki anak. Bukankah lebih tepatnya dia adalah seorang pecinta wanita?" Tawa su
*** Suara pecahan kaca dan barang-barang berserakan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Clarissa. Sambil mendekap bayi yang berada di dalam gendongannya, wanita itu berteriak histeris dengan tubuh bergetar kala menyaksikan Matthew yang mengamuk sejadi-jadinya di dalam kamar mereka. Sejak keluar dari rumah sakit, Clarissa mendapati sikap Matthew yang terlihat lebih kasar dan pemarah. Nampaknya sesuatu telah terlewatkan saat Clarissa tidak sedang bersama pria itu. "Matt, a-apa yang terjadi, Sayang?" ucap Clarissa dengan terbata-bata di sela tangisnya, khawatir jika sikap kasar pria itu berimbas terhadapnya dengan kekerasan fisik yang bisa saja terjadi kapanpun. Tanpa menjawab, Matthew meraih kunci mobil dengan kasar yang terletak di atas nakas, meninggalkan Clarissa dan bayi mereka yang juga ikut menangis. Pernikahan mereka belum juga terlaksana. Namun, dengan melihat sikap Matthew seperti ini, tentu Clarissa butuh berpikir berkali-kali untuk
Tanpa berpikir panjang, Nyonya Sylvia segera melajukan kendaraannya untuk mengikuti ke mana tujuan Matthew, sebelum putra bungsunya itu melakukan sesuatu yang bisa mengancam kebebasannya. Dari kaca spion mobil, Matthew bisa menyaksikan mobil milik sang ibu terlihat berusaha untuk membuntuti. Dia menyadari sesuatu yang buruk sedang mengintai. Namun, apapun yang terjadi, Matthew akan tetap mengikuti kata hatinya. Secepat mungkin kenyataan pahit ini harus terkuak, bagaimanapun itu. Memiliki keahlian berkendara yang tidak bisa disepelekan, Matthew melaju dengan kecepatan tinggi. Saat ini yang dia pikirkan adalah bagaimana menebus semua kesalahan-kesalahan yang dia lakukan terhadap orang-orang yang sudah dia korbankan. Tujuannya pertama kali adalah menyambangi kediaman Bart. Dia berharap dapat bertemu dengan saudara tirinya itu dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Terutama tentang status Thomas, serta bagaimana dengan mudahnya Sophia merusak hubungan Bart bersama Hanna atas
Bart sepertinya memang mengabaikan panggilan itu. Demikianlah yang saat ini sedang dipikirkan oleh Matthew. Bagi Matthew, sikap Bart sungguh dapat dimaklumi, mengingat seperti apa hubungan mereka di masa lalu."Ayolah Bart," geram Matthew masih mencoba untuk menghubungi Bart meski dia tahu panggilannya memang sengaja diabaikan. Sementara, mobil Nyonya Sylvia semakin mengikis jarak di antara mereka. Berkali-kali terdengar klakson mobil yang membuntuti Matthew seolah mencoba menghentikan pria itu. Terdengar begitu posesif, nampak sekali si pengendara di dalamnya saat ini dalam keadaan emosi.Bruk!Benturan keras tiba-tiba mengenai bagian belakang mobil yang sedang dikendarai oleh Matthew. Tentu saja pelakunya adalah Nyonya Sylvia yang dengan sengaja ingin melakukan penyerangan tanpa berpikir panjang. Ponsel terlepas dari genggaman Matthew, tapi panggilan masih tersambung walaupun belum terhubung."Sh*t!" Matthew mengumpat sambil melajukan kendaraannya lebih
Tidak ada suara sirine iring-iringan polisi yang mengantarkan Bart menuju sumber GPS yang berasal dari ponsel milik Matthew. Sejak panggilan tersambung, Bart mendengar seluruh percakapan Matthew bersama Nyonya Sylvia, meski suara wanita itu terdengar samar-samar, tapi kata-katanya masih bisa dicerna cukup jelas di indra pendengaran Bart.Beberapa saat yang lalu ...Kelegaan tiba-tiba dirasakan oleh Sophia ketika tangan Bart meraih ponsel yang sejak tadi tak henti-hentinya berdering. Namun, gestur wajah Bart yang terlihat tegang menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Sophia. Di dalam hati dia bermonolog dengan berbagai dugaan-dugaan. Sejujurnya, dengan adanya panggilan telepon dari Matthew membuat Sophia terselamatkan dari rencana Bart untuk pemeriksaan kesehatan. Dengan demikian, maka Bart tidak akan mengetahui kenyataan tentang kondisi kesehatan ginjalnya yang ternyata baik-baik saja.Entah mengapa gestur wajah Bart menciptakan rasa ketakutan tersendiri di da
"Demi mendiang ayahmu, Matt! Lagipula kita bisa menyembunyikan cerita ini dari Hanna, sehingga kamu tidak perlu kehilangan dia. Kamu 'kan tidak melibatkan perasaanmu. Hanna tetap memiliki hatimu sepenuhnya. Ibu rasa bukan hal yang aneh jika pria seusiamu menyentuh banyak wanita tanpa melibatkan perasaan." Nyonya Sylvia mendelik dan langsung bereaksi setelah mendengar alasan Matthew untuk menolak rencana busuknya."... Ini kesempatan baik, jika kamu ingin melihat pembunuh ayahmu menjadi hancur, bahkan mungkin setelah ini akan berefek panjang di dalam kehidupannya," lanjut Nyonya Sylvia memastikan.Matthew terdiam sejenak mencerna ucapan demi ucapan yang sempat dilontarkan oleh ibu kandungnya. Sebuah ruang di sisi hatinya sangat menolak ide gila itu, tapi dendam yang terlanjur membuat Matthew kehilangan akal sehat seolah membenarkan apa yang telah direncanakan Nyonya Sylvia. Toh, benar apa yang dikatan sang ibu bahwa di luaran sana banyak pria yang seusia dengannya menye
Ada gurat kekhawatiran yang tidak mampu disembunyikan oleh Nyonya Sylvia. Tentu saja, Matthew bahkan tidak sedikitpun menggubris ucapan sang ibu. Gestur tubuhnya yang berkali-kali menatap pintu keluar seolah memberikan tanda bahwa dia ingin meninggalkan tempat itu. Melihat sikap putranya yang demikian, muncul sebuah ide buruk yang sebenarnya sudah dia persiapkan sebagai opsi kedua jika Matthew tidak bisa diajak bekerjasama secara baik-baik. "Tenangkan dirimu, Sayang. Ibu akan segera kembali," ucap Nyonya Sylvia sambil menegakkan tubuhnya, lalu berjalan menjauh. Sementara Matthew tetap bergeming, tak pula dirinya peduli dengan ucapan sang ibu. Begitu besar cintanya terhadap Hanna tak mampu dikalahkan oleh egonya untuk membalas dendam. Yang mampu dia lakukan saat ini hanyalah mengepalkan salah satu tangannya untuk menyalurkan rasa kesal di dada. Ingin sekali rasanya memberikan kenangan buruk pada pernikahan Bart. Namun, jika al itu dia lakukan, sama saja dia me
Selang lima belas menit, gelagat aneh mulai ditunjukkan oleh Fabbian. Namun, setiap orang bahkan Fabian sendiri belum menyadari ada yang salah pada dirinya. Cuaca yang dingin seolah tidak berefek apa-apa pada tubuh kokoh pria tampan yang menjadi saudara sulung Bart tersebut. Jelas sekali, permukaan kulitnya melembab dan berangsur-angsur basah oleh keringat. Bahkan wajahnya mulai menunjukkan rona merah hingga dapat dia rasakan degup jantungnya semakin cepat. Mata pria itu sedikit lelah, seolah mengantuk tapi dia tidak yakin akan hal itu."Kenapa?" tanya Tuan Besar Megens. Fabian melonggarkan dasi yang dia kenakan, disusul dengan membuka kancing di bagian kerah."Sedikit gerah," balasnya singkat sambil menyeka peluh di pelipis.Bart mengernyit. Namun, tidak sampai berpikir jika Fabian mengalami sesuatu yang tidak biasa."Selamat Tuan Bart!"Dari jarak beberapa meter nampak seorang pria sedikit lebih muda usianya dari Tuan Besar Megens menghampiri mer
Suasana temaram ...Aroma kelopak bunga mawar yang bertabur dipadu dengan beberapa lilin aromatik yang menghias, menjadi satu-satunya sumber penerangan di dalam kamar pengantin itu. Hanna sudah berada di atas peraduannya, mendengar suara pintu tertutup kasar membuat wanita itu menggapit kedua bibirnya yang ranum tanpa polesan make up.Memang sejak dirinya masuk ke dalam kamar, Hanna memutuskan untuk tidak kembali ke pesta pernikahannya bersama Bart. Dia enggan, entah mungkin karena kelelahan atau ada alasan yang lain. Yang pasti dia mencoba untuk tetap menikmati moment ini, meski ... ada nama lain yang mengganggu pikirannya.Beberapa hari sebelum pernikahan itu terjadi ..."Maaf," ucap Fabian tanpa memutus pandangan matanya ke hadapan Hanna. Wanita yang sangat dia cintai, tapi justru wanita itulah yang akan menjadi pendamping saudara kandungnya sendiri dalam beberapa hari ke depan."Tidak kah kamu akan berjuang demi aku?" Hanna memelas. Namun
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it