Hanna menggigit bibir kala Bart mengendus di ceruk lehernya, dia meraih kedua pundak Bart dan meremasnya.
Drrrrt ... Getar ponsel milik Bart kembali membuyarkan fokus pria itu. Bart tahu, panggilan bisa dipastikan berasal dari Sophia. Dia sudah berjanji untuk mengabaikan panggilan-panggilan dari wanita itu sementara dirinya sedang bersama Hanna. Bart bangkit dan menghentikan aktifitasnya sejenak.
Ekor mata Hanna mengikuti pergerakan Bart, "Panggilan dari wanita itu lagi?" tanyanya.
Sambil tersenyum, Bart meyakinkan Hanna, "Saya hanya ingin menon-aktifkan ponsel ini, rasanya tidak nyaman jika harus membiarkannya mengganggu malam kita." Bart terkekeh.
Hanna membuang pandangan dengan malu-malu, dia juga merasa bangga seolah dinomor satukan oleh suaminya kali ini.
Bart mengambil ponselnya dengan kasar. Baru saja dia ingin menekan tombol non aktif, tapi nama yang tertera di layar ponsel kembali membuatnya terganggu. Bart ingin menerima panggi
Bart melajukan mobil di atas kecepatan rata-rata. Keinginannya hanya satu, memeluk Hanna dengan erat dan mengucapkan permohonan maaf bertubi-tubi. Sikap Sophia membuatnya terlihat bodoh. Begitu bodohnya hingga mau saja pergi meninggalkan istri yang nyata-nyata lebih memiliki posisi yang lebih penting. Setiap kali melewati kemacetan, Bart selalu saja merutuk. Dia ingin sekali cepat tiba menemui Hanna. Setibanya, Bart berlari menuju pintu utama. Suasana kediamannya itu terlihat normal, dari lantai bawah dia bisa menyaksikan pintu kamarnya bersama Hanna terbuka dan lampu pun menyala. Ada sedikit perasaan tenang yang dirasakan Bart mana kala dirinya meyakini jika sang istri belum tidur. Itu artinya mereka memiliki kesempatan untuk membahas kejadian malam ini. "Hanna," panggil Bart ketika dia sudah memasuki kamar. Namun, dia tidak menemukan keberadaan istrinya di sana. Bart membuka pintu kamar mandi, berharap jika wanita yang dia cintai sedang berada di dalam sana.
Sesak tiba-tiba mendera di dalam dada, Hanna mencoba untuk mengatur laju embusan napasnya yang semakin tak beraturan mana kala menyaksikan foto sang suami yang berada di layar ponsel. Tatapannya mengarah ke gumpalan-gumpalan awan yang tebal, tepat berada di ketinggian tiga puluh dua ribu feet di atas permukaan laut. Ada kerinduan dan kekecewaan yang membaur menjadi satu, tapi begitu sulit untuk dijabarkan lebih jelas. Hanna ingin sekali bersandar di dalam pelukan pria itu. Namun, sepertinya sudah cukup untuk tidak membohongi diri sendiri lagi dengan meyakinkan bahwa sang suami benar-benar mencintainya seperti apa yang terlihat terakhir kali. "Kau menyesal meninggalkannya, Nak?" ucap pria paruh baya yang duduk di samping wanita itu. Pria yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Hanna yang terlihat murung. Sesekali wanita itu mengusap sudut matanya yang basah, dan hal itu tidak luput dari pengamatan sang pria. Wajah pria itu terlihat tampan meskipun sudah berumu
"Kau tentu mengenal Tonny, bukan? Selama ini dia terlihat seperti orang kepercayaan Bart, tapi sebenarnya Tonny bekerja untukku." Tuan Chris menjelaskan semua kejadian sejak awal hingga hari di mana dirinya mendengar kabar bahwa Tonny mengalami insiden. Terakhir kali Tonny menghubunginya tadi malam, tepat beberapa saat sebelum terjadinya insiden itu. Namun, Tuan Chris memilih untuk tidak menemui Tonny yang saat ini sedang menjalani perawatan, setelah dia yakin bahwa pria itu sedang berada di tempat yang aman, dan justru memilih untuk menemui Hanna dengan cara ini. Hanna melebarkan kedua matanya setelah mendengar semua penjelasan yang keluar dari mulut Tuan Chris. Segala tentang kebusukan Sophia, Matthew yang ternyata memiliki pertalian darah dengan Bart juga memiliki motivasi tertentu untuk menghancurkan kehidupan pria itu, serta kenyataan tentang jati diri Thomas. "Hanna, kamu tahu, 'kan seperti apa watak suamimu? Dia akan melakukan apapun agar pernikahannya t
"Ck! Aku bisa pergi sendiri, jauhkan tangan kotormu!" titah Sophia kepada Bibi Helena. Tentu, Sophia adalah manusia yang sehat meski tubuhnya terlihat kurus akibat kegagalan liposuction dan diet ketat yang sempat dia jalani, sehingga wanita itu kehilangan kemampuan tubuhnya dalam menyerap nutrisi secara maksimal. Bibi Helena seolah menulikan pendengarannya dengan terus saja mendorong kursi roda yang ditumpangi Sophia hingga dia memastikan bahwa wanita licik itu benar-benar berada di kamar perawatannya dan tidak mengganggu Bart untuk sementara waktu. Dengan wajah kesal, Sophia menggerutu sepanjang lorong menuju ruang perawatannya. Andai saja saat itu dia tidak sedang bersandiwara, tentu Sophia akan memilih untuk berjalan dengan kedua kakinya sendiri menuju ruang perawatan. Setelah kepergian Sophia dari kamar perawatan Bart, seorang dokter pria bersama perawat wanita yang menjadi asistennya masuk ke dalam ruang perawatan Bart dan menghampiri pria itu sambil
"Sebaiknya kau pulang saja, Bi. Thomas mungkin membutuhkanmu, pengasuh lain mungkin tidak akan bisa menghadapi Thomas dalam jangka waktu lama, karena dia pasti akan mencarimu," pinta Bart kepada Bibi Helena. Bagi Bart, tidak ada kekuatan emosional yang begitu dalam antara dirinya bersama Thomas. Dia mencoba untuk mendalami perasaannya sendiri. Apakah hal yang sama akan terjadi jika dia memiliki keturunan bersama Hanna. Jika memang demikian, maka Bart tidak pantas untuk memikirkan bahwa suatu hari nanti Hanna akan memberikannya seorang keturunan dan kembali mengecewakan wanita itu atas sikap dinginnya terhadap anak kecil. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Bart sungguh menginginkan hidup bahagia bersama Hanna dan buah cinta mereka. Sebuah pernikahan impian yang mungkin hanya sebatas impian, sementara pada kenyataannya kini Hanna telah meninggalkan Bart yang jatuh dalam keterpurukan. Bart meraup wajah dan menghela napas secara bersamaan. Sekali lagi dia memben
*** Tidak ada hiruk pikuk di pulau terpencil seperti ini. Yang ada hanyalah keindahan dan ketenangan yang melebihi dari apa yang pernah dibayangkan oleh Hanna. Ada beberapa bungalow yang terlihat di pandangan mata wanita berparas cantik itu. Di beberapa bungalow terlihat pula beberapa pasangan yang sepertinya sedang melewati momen bulan madu. Mereka tak sungkan mempertontonkan kemesraan di alam bebas, membuat Hanna menjadi uring-uringan menyaksikan pemandangan itu. "Ck! Kehadiran mereka hanya merusak suasana!" gumamnya dengan mulut mencebik. Pandangannya teralihkan pada sosok pria yang sedang memanggul seorang anak laki-laki di pesisir pantai. Sesaat Hanna terkesiap menyaksikan interaksi antara anak dan ayah itu. Namun, yang membuatnya tak henti-henti memutuskan pandangan adalah ketika wajah pria itu mengingatkannya dengan sosok Bart. Hanna tersenyum kecut mana kala membayangkan dirinya bersama Bart sedang bermain-main di pesisir pantai bers
Entah sudah berapa lama Fabian dan Hanna berdiri di sisi pantai tanpa kata yang terucap, keduanya seolah terkikis jarak meskipun kini mereka berdiri bersebelahan. Hanna berdiri di sisi Fabian, membiarkan semilir angin senja menerpa kulitnya yang terlihat meremang. Sesekali dia mengusap-usap pergelangan tangannya untuk menciptakan hangat dari tubuhnya sendiri. "Sebenarnya siapa kamu, dan apa tujuanmu mengucapkan kata-kata itu barusan?" tanya Hanna setelah membiarkan hening beberapa saat setelah pertanyaannya yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fabian. Namun, pertanyaan terus berputar di benaknya atas apa yang sedang terjadi saat ini. "Peduli, kami peduli pada kalian," ucap Fabian singkat. Hanna sempat berpikir bahwa dia salah dengar, tetapi wajah yang ditunjukkan Fabian begitu meyakinkan seperti apa yang terdengar. Bagaimana mungkin Tuan Chris dan Fabian begitu peduli kepadanya, sementara Hanna hanyalah sekedar orang asing yang baru saja masu
"Aku tidak yakin, tapi aku rasa hal itu hanyalah sebuah kebetulan." Fabian mengucapkannya dengan sedikit ragu. Dia baru saja terpikir untuk menghubung-hubungkan kejadian di masa lalu dengan sekarang. Baru dia sadari jika Hanna dan mendiang Hanna memiliki kesamaan nama, bahkan jika Fabian ingin jujur, sosok Hanna yang sekarang, sedikit agak mirip dengan mendiang Hanna. Mereka sama-sama memiliki paras cantik dengan warna rambut keemasan.Kesan pertama saat melihat kedua wanita itu adalah membuat siapa pun lupa berkedip untuk beberapa detik. Tapi, Fabian tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengutarakan apa yang dia pikirkan saat ini. Jika tidak, mungkin saja Hanna akan berpikir bahwa Bart memang menikahinya karena alasan itu."Bart membenci wanita. Bagaimana mungkin dia membenci wanita sementara dia pernah memiliki istri bernama Hanna, lalu mencintai Sophia, kemudian menikahiku dan ingin memiliki anak. Bukankah lebih tepatnya dia adalah seorang pecinta wanita?" Tawa su
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it