Zivara menunggu Arudra mengunci pintu mobil, kemudian keduanya melangkah menuju lobi utama hotel milik BPAGK di Lembang atas.
Arudra berbincang dengan seorang penjaga keamanan, yang segera mengantarkan pasangan tersebut menuju restoran di bagian belakang bangunan hotel utama. Arudra memegangi lengan kanan Zivara yang seketika menjengit. Perempuan berbaju sage mengikuti langkah sang calon suami sambil menenangkan dadanya yang berdesir. Zivara terkejut karena Arudra bersikukuh mengaitkan tangan mereka. Sebelumnya pria tersebut belum pernah melakukan hal itu. Namun, kemudian Zivara menyadari kenapa Arudra menggandengnya. Sebab itu hanyalah drama di depan rekan-rekannya. Puluhan orang di restoran, berdiri untuk menyambut Arudra dan Zivara. Mereka bergantian menyalami pasangan tersebut, sambil berkenalan dengan perempuan yang disebut sebagai calon istri Arudra. Zivara mengulaskan senyuman saat menyaksikan beberapa orang yang telah dikenalnya, ternyata merupakan rekan-rekan Arudra. "Hai, Bang. Kita ketemu lagi," sapa Zivara sambil menyalami direktur utama BPAGK sekaligus direktur utama PBK dan HWZ. "Halo. Kamu adiknya Fazwan, betul?" tanya Wirya Arudji Kartawinata. "Ya. Alhamdulillah, Abang masih ingat aku." "Tentu saja masih ingat. Kamu yang ngantarin Fazwan ke kantor cabang PBK di Bandung, waktu mau dilepas penempatannya." "Ayah Zid ingatannya memang kuat," puji Arudra. "Dia memang tidak ada tandingannya," tambah Zulfi Hamizan, direktur keuangan PBK dan BPAGK, sekaligus sahabat Wirya. "Karena itulah Wirya yang terpilih sebagai dirut. Kita sulit mengalahkannya," seloroh Yoga, direktur utama SHEHHBY sekaligus direktur operasional PBK. "Aku bisa ngalahin Wirya," sela Andri, direktur marketing PBK dan SHEHHBY. "Tapi cuma dalam mimpi," kelakarnya. "Hai, Zivara. Perkenalkan, aku, Hendri Danantya. Sahabat sekaligus ipar Wirya," sela seorang pria bermata sendu sambil menyalami Zivara. "Hai, senang berkenalan dengan Mas," balas Zivara. "Dan aku, Zeinharis Abqari. Sahabat Wirya dan Hendri. Sekaligus rekan mereka di HWZ," timpal lelaki bertubuh tinggi sembari bersalaman dengan Zivara. "Aku kayak pernah lihat, Mas, deh," ungkap Zivara sambil memandangi Zein saksama. "Di mana?" tanya Zein. "Ehm, kafe D di By Pass." Zein manggut-manggut. "Ya, itu kafe punya istriku." Dia memindai sekitar, lalu menunjuk seorang perempuan berparas cantik yang sedang menyuapi anak perempuan bergaun biru. "Itu orangnya, Divia namanya," lanjutnya. "Nanti aku ke sana. Buat memperkenalkan diri." "Sekarang aja. Ayo, kuantarkan." Zein menyentuh lengan kiri Zivara, untuk mengajaknya mendatangi meja di mana sekelompok perempuan berada. Zein memperkenalkan Zivara pada para istri anggota PC, yang menyambut perempuan tersebut dengan pelukan hangat bak teman lama. Sepanjang acara santap siang, Zivara berusaha menghafalkan nama-nama teman barunya, beserta suami dan anak masing-masing. Dia spontan mengucap hamdalah, ketika Divia mengirimkan daftar nama seluruh anggota PC, beserta foto dan nama keluarga masing-masing. "MasyaAllah, banyak geuningan anggotanya," tukas Zivara sambil membaca deretan nama di layar ponselnya. "Anggota PC totalnya 67 orang. Tapi yang sudah berkeluarga cuma 30 orang. Lainnya bujangan dan duda," terang Divia. "Bujang kita bentar lagi berkurang satu," sela Sabrina, istri Zulfi. "Siapa, Rin?" tanya Leni, istri Yoga. "Mas Arudra. Calon suaminya Zivara ini," terang Sabrina. Leni manggut-manggut. "Kapan acaranya, Zi?" tanyanya. "Satu setengah bulan lagi, Kak. Datang, ya," pinta Zivara. "Insyaallah," sahut Leni. "Kami pasti datang, karena tim PBK sudah diminta Arudra buat jadi panitia," jelas Delany, istri Wirya, yang merupakan Kakak sepupu Sabrina. "Tim sibuk lagi kita," imbuh Salwa, istri Andri. "Nanti, pakai jasa WO dari mana, Zi?" tanya Irshava, istri Hendri. "Belum tahu. Apa kamu punya rekomendasi?" Zivara balik bertanya. "Tim kita punya WO, MUA sampai katering lengkap," ungkap Irshava. Dia menunjuk meja sebelah kanan, lalu melanjutkan ucapan. "Yang pakai jilbab biru muda, namanya Teh Mutiara. Dia istri Mas Arkhan, CEO Ganendra Grup. Teh Mutiara punya WO." "Kak Leni, MUA," tambah Irshava sembari merangkul pundak istri Yoga dari samping kanan. "Katering, banyak yang bisa pegang. Teh Divia dan Teh Monica, istrinya Kang Adi, Mereka punya kafe dan sudah biasa menangani acara pesta," lanjutnya. "Teh Tanti, istri Mas Farzan, juga sering join sama kedua Ibu ini. Dia punya restoran di sekitar Gedung Sate," papar Irshava. "Kue, minuman dan lain sebagainya, bisa diserahkan pada tim PG. Kamu juga bisa dapat fasilitas tambahan dari mereka, yaitu paket perawatan di spa milik GIC," lontarnya. "Oh, tim PG juga ikut bantu, ya?" tanya Zivara. "Ya. Nanti pasti kamu dapat gaun pengantin dari Mommy Renata. Beliau desainer, sekaligus istri Daddy Baskara." Zivara membulatkan matanya. "Renata Anindya? Yang punya banyak butik itu, kan?" "Hu um. Kamu kenal?" "Belum pernah ketemu, tapi aku follow akun I*-nya." "Mommy akan buatin gaun pengantin buat semua anggota PG dan PC yang akan menikah. Biasanya sih, free." "Alhamdulillah. Senang banget aku." "Kalau kamu pakai jasa tim GIC, GIPSI dan GIP, semua fasilitas mewah akan didapatkan. Dan pastinya luar biasa bagusnya." "Aku mau. Gimana caranya buat daftar?" "Lewat Cici Lien. Maksudku, Cici Delany." Irshava memandangi Kakak iparnya yang tengah mengeluarkan buku catatan biru muda dari tasnya. "Neng Irsha sudah mantap banget jadi marketing tim kita," tukas Divia. "Dia asisten andalanku," ungkap Delany. "Gajiku naikin, Ci," bujuk Irshava. "Minta ke abangmu." "Ayah Zid pasti bilang gini." Irshava menirukan gaya khas Wirya. "Neng, kamu sudah nikah. Todong suamimu aja. Kuras dompetnya," akunya, kemudian dia ikut terbahak bersama rekan-rekannya. Seusai bersantap, Zivara mengikuti langkah teman-temannya ke lantai dua. Dia memasuki kamar yang ditempati Sabrina, untuk menumpang salat Zuhur. Arudra dan rekan-rekannya melakukan salat berjemaah di masjid depan resor. Kemudian dia membantu panitia untuk menyiapkan berbagai alat yang digunakan dalam acara permainan. Puluhan menit terlewati, ratusan orang berkumpul di taman resor. Mereka mendengarkan penjelasan Yoga yang menjadi ketua panitia. Berbagai macam lomba yang diadakan ternyata merupakan pertandingan antar keluarga ataupun pasangan. Pada perlombaan berpasangan, Zivara ragu-ragu untuk mengikutinya. Namun, semua orang mendukung gadis tersebut agar mau mengikuti lomba. Zivara akhirnya menurut dan mengikuti langkah Arudra ke tempat start. Perempuan berambut panjang merasa malu kala kaki dan tangan kanannya diikat menyatu Arudra. Keduanya saling menatap selama beberapa saat, kemudian Arudra menyunggingkan senyuman untuk menenangkan Zivara yang terlihat gugup. "Kita harus kompak, Zi," cakap Arudra. "Ehm, ya," balas Zivara. "Ikuti aja arahanku. Kamu fokus ngambil bendera-bendera." "Hu um." "Incar yang tengah, karena yang atas mungkin kamu nggak nyampe." "Mas ngeledek?" "Enggak. Kamu lumayan tinggi, tapi bakal repot menggapai ke atas. Harus pakai galah." Zivara melirik lelaki yang tengah mengulum senyuman. Dia tahu jika Arudra tengah menyandainya. Zivara spontan mencubiti lengan kiri sang calon suami yang tidak bisa mengelak.Lembayung senja kian menggelap. Arudra mengajak Zivara untuk jalan-jalan seputar resor. Keduanya melangkah berdampingan sambil berbincang tentang tempat itu yang cukup indah. Konsep resor yang mengusung tema alam, menjadikan banyaknya area terbuka yang menjadikan kawasan itu sangat lega. Zivara menyukai arsitektur bangunan utama hotel dan beberapa bungalo. Dia juga menyukai taman bermain yang berdekatan dengan kolam renang. "Mas, anak-anak itu apa nggak kedinginan, ya?" tanya Zivara sambil menunjuk sekelompok anak kecil yang tengah berenang dengan ditemani orang tua masing-masing. "Airnya hangat, Zi," terang Arudra. "Beneran?" "Hu um. Pengelolanya sengaja memasang penghangat air, supaya pengunjung senang." Arudra memindai sekitar, lalu dia menunjuk satu bangunan di ujung kiri taman. "Di situ pusat pengendalinya, sekaligus mengatur aliran yang ke semua kamar,' jelasnya. "Aku baru nyadar ada bangunan itu. Kalau Mas nggak nunjukin, aku nggak tahu." "Tempatnya memang tersembu
Jalinan waktu terus bergulir. Arudra telah menikahi Lanika dalam pesta tertutup di salah satu resor di Bogor. Hal itu terpaksa dilakukan agar pernikahan rahasia tersebut tidak diketahui publik. Rahmadi dan Indriati telah mengajukan syarat itu pada Arudra. Sebab mereka tidak mau posisi Lanika sebagai istri pertama Arudra diketahui banyak orang. Terutama keluarga besar Janardana. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu keluarga Arudra dan Zivara. Sabtu pagi, acara akad nikah dilaksanakan di kediaman Thamrin. Seusai ijab kabul dan pembacaan doa, dilanjutkan dengan pemasangan cincin. Arudra berdiri berhadapan dengan Zivara. Keduanya saling memandang selama beberapa saat, sebelum Arudra mengambil cincin dari meja dan menyematkannya ke jemari manis sang istri. Zivara melakukan hal serupa. Kemudian dia menciumi punggung tangan Arudra dengan takzim. Setelahnya, mereka berpose memegangi buku nikah untuk diabadikan para fotografer. Runutan acara pernikahan khas Sunda dijalani Arudra dengan se
Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah di ruang pertemuan hotel bintang lima di kawasan Gatot Subroto. Para tamu memenuhi area sambil menikmati hidangan. Demikian pula dengan keluarga besar kedua mempelai, yang menempati ruang VIP satu. Zivara memerhatikan sekeliling dengan antusias. Dia melupakan rasa kecewanya pada Arudra, dan memutuskan untuk menikmati pesta. Sang mempelai wanita terlihat semringah. Sudut bibirnya nyaris tidak berhenti mengukir senyuman. Terutama karena dia sangat menyukai dekorasi dan berbagai lagu romantis yang ditampilkan band. Arudra yang telah menyadari kesalahannya, berusaha memperbaiki sikap. Dia berulang kali mengajak Zivara berbincang, tetapi hanya ditanggapi sekilas. Arudra tahu jika Zivara masih marah karena kejadian saat akad tadi pagi. Pria bersetelan tuksedo biru mengilat, berjanji untuk lebih fokus pada Zivara agar gadis itu tidak melanjutkan aksi merajuknya. Kala musik berhenti, perhatian pengunjung teralihkan pada panggung di sisi kanan. K
Pagi itu, seusai sarapan, Arudra mengajak Zivara berpindah ke dekat meja kasir restoran hotel. Seorang petugas memberikan dua microfon pada pasangan tersebut. Arudra berdiskusi sesaat dengan istrinya, kemudian dia memerhatikan hadirin yang balas menatapnya saksama. Arudra mengucapkan salam, lalu memulai pidato. "Saya dan istri, ingin mengucapkan terima kasih tak tertinggi pada semua teman-teman yang telah bersedia datang untuk menghadiri acara pernikahan kami kemarin," tutur Arudra. "Mohon maaf, jika kami telah merepotkan kalian, terutama semua panitia," tambah Zivara. "Khusus buat tim PBK, hatur nuhun pisan karena mau membantu kami menyukseskan acara. Love se-Bandung buat kalian!" serunya yang disambut tepuk tangan hadirin. "Kami tidak bisa membalas kebaikan kalian. Hanya Tuhan yang sanggup melakukan itu," terang Arudra. "Sebagai bentuk terima kasih, kami telah menyiapkan sedikit oleh-oleh yang akan segera dibagikan," lanjutnya. Fazwan dan rekan-rekannya dari pasukan pengawal ke
Sepanjang malam itu, Zivara mendekam di kamar. Dia tidak memedulikan panggilan Arudra yang berulang kali mengajaknya bicara di luar. Zivara benar-benar kesal, terutama pada dirinya sendiri yang begitu bodohnya mau menikah dengan Arudra.Gadis berambut panjang sudah kehabisan air mata. Zivara lelah terus-menerus menangis hingga matanya bengkak dan hidung memerah. Dia akhirnya memutuskan untuk tidur, sambil menutup telinganya dengan earphone. Alunan musik instrumental menemani Zivara hingga benar-benar terlelap. Dia sama sekali tidak mendengar ketukan yang disertai panggilan sang suami. Arudra berdiri di depan pintu kamar sang istri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Kemudian berbalik dan jalan menuju kamarnya. Arudra berbaring telentang. Tatapannya mengarah ke langit-langit yang terlihat samar-samar, karena lampu utama telah dipadamkan. Arudra merunut peristiwa dari semenjak dirinya dan Zivara menandatangani surat perjanjian tempo hari. Pria berbibir
Zivara berulang kali mengecek jam dinding untuk memastikan waktu. Namun, hingga pukul 9, Arudra tak jua datang Zivara sudah mengirimkan beberapa pesan, tetapi tidak satu pun yang dibalas Arudra. Perempuan bersetelan piama biru menimbang-nimbang sesaat dalam hati, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk menelepon Arudra. Detik demi detik menunggu panggilannya tersambung, menyebabkan Zivara deg-degan. Saat terdengar bunyi panggilan diangkat, dia menunggu orang di seberang telepon menyapa terlebih dahulu. "Maaf, mengganggu. Apa Mas Arudra ada?" tanya Zivara sambil menebak-nebak suara perempuan yang menerima panggilannya. "Dia lagi tidur!" ketus Lanika. "Ehm, maaf. Aku hanya penasaran, karena sejak tadi pesanku tidak dibalas." "Orangnya lagi tidur, gimana mau balas?" Lanika menggertakkan gigi. "Aku peringatkan padamu. Bila dia ada di sini, jangan nelepon! Kamu sudah menghabiskan waktu bersama dia selama 4 hari, apa belum cukup?" tanyanya dengan nada suara tinggi. Zivara terkesiap,
"Mas, bangun. Sudah subuh," tukas Zivara sambil menepuk-nepuk lengan Arudra. "Hmm?" Lelaki berkaus biru berusaha mengangkat matanya yang masih berat. "Sudah lewat jam 5. Nanti nggak keburu salat." "Hmm." "Jangan hmm terus. Ayo, bangun!" Arudra manggut-manggut. Dia membuka mata lebih lebar untuk menunjukkan dirinya telah sepenuhnya sadar. Zivara memandangi lelakinya sesaat, kemudian berbalik dan jalan ke balkon. Arudra menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia mengambil arloji di meja untuk mengecek waktu, lalu meletakkan benda itu ke tempat semula. Pria tersebut mengusap wajahnya, kemudian bangkit duduk. Belasan menit terlewati, Arudra menyambangi Zivara yang sedang duduk di kursi sambil memvideokan momen matahari terbit. "Zi, kamu udah salat?" tanya Arudra sembari duduk di kursi sebelah kanan. "Udah. Aku bangun dari jam setengah 5," terang Zivara."Ehm, di pantry, ada kopi, nggak?""Ada." Zivara menoleh. "Mau dibuatin?" tanyanya. "Hu um. Kalau ada kue, aku ma
Lanika jalan mondar-mandir sepanjang rumah. Dia kesal karena sejak tadi tidak bisa menghubungi Arudra. Lanika juga telah mengirimkan banyak pesan, tetapi semuanya hanya centang satu abu-abu. Lanika mengerutkan dahi. Dia tiba-tiba teringat sang madu. Dia bergegas ke kamar untuk mencari nomor telepon Zivara, yang sempat disalinnya dari ponsel Arudra. Lanika menyambar ponselnya dari meja, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia mengetikkan sederet angka dari catatannya ke ponsel. Kemudian Lanika menekan tanda hijau untuk menelepon rivalnya. "Aku mau tanya, apa kamu ada dihubungi Mas?" tanya Lanika, sesaat setelah mendengar sapaan orang di seberang telepon. Zivara terdiam. Dia mengalihkan pandangan pada lelaki berkaus putih yang sedang berbaring di kasur. "Kenapa memangnya?" balasnya. "Aku dari tadi nge-chat dan nelepon, tapi nggak masuk." "Aku nggak ada ngubungin dia. Jadi aku nggak tahu." "Masa kamu nggak ada chat dia sama sekali?" "Aku kapok nge-chat duluan. Nunggu dia ngubungi
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra