Pagi itu, seusai sarapan, Arudra mengajak Zivara berpindah ke dekat meja kasir restoran hotel. Seorang petugas memberikan dua microfon pada pasangan tersebut.
Arudra berdiskusi sesaat dengan istrinya, kemudian dia memerhatikan hadirin yang balas menatapnya saksama. Arudra mengucapkan salam, lalu memulai pidato. "Saya dan istri, ingin mengucapkan terima kasih tak tertinggi pada semua teman-teman yang telah bersedia datang untuk menghadiri acara pernikahan kami kemarin," tutur Arudra. "Mohon maaf, jika kami telah merepotkan kalian, terutama semua panitia," tambah Zivara. "Khusus buat tim PBK, hatur nuhun pisan karena mau membantu kami menyukseskan acara. Love se-Bandung buat kalian!" serunya yang disambut tepuk tangan hadirin. "Kami tidak bisa membalas kebaikan kalian. Hanya Tuhan yang sanggup melakukan itu," terang Arudra. "Sebagai bentuk terima kasih, kami telah menyiapkan sedikit oleh-oleh yang akan segera dibagikan," lanjutnya. Fazwan dan rekan-rekannya dari pasukan pengawal keluarga Mahendra, menyambangi setiap meja untuk membagikan tas belanja biru pada semua orang. Arudra menggandeng tangan istrinya dan mengajak Zivara untuk menghampiri rekan-rekannya. Mereka berhenti cukup lama di meja para petinggi PBK untuk berbincang sesaat. "Jumat pagi, sudah harus tiba di Jakarta, Ra, karena kita mau rapat dulu," tutur Zulfi. "Ya, Bang," jawab Arudra. "Kita berangkat ke bandara, jam berapa?" tanyanya. "Habis makan siang. Sekitar jam 2," terang Zulfi. "Zivara nanti dijemput Lien. Mereka nunggu di rumah Varo," sela Wirya. "Oh, Bang Varo, ikut kita juga ke Lombok?" tanya Arudra. "Ya, tapi nggak ikut ke Labuan Bajo. Kami mau keliling Nusa Tenggara. Bareng Nandito." Arudra manggut-manggut. "Aku lupa, kalau SAG merupakan cabang dari Baltissen Grup." "Sebetulnya SAG sudah bisa dilepas. Tapi, kayaknya Varo masih pengen melakukan sesuatu buat memperbesar perusahaan itu." "Mungkin Bang Varo mau bikin SAG semaju PBK. Baru kemudian dilepas." "Ya, kamu benar. Tapi, jadinya aku dan teman-teman tambah sibuk." "Begitulah. Si bule itu, apa-apa dilimpahkan ke kita," keluh Zulfi. "Dia masih belum percaya buat ngasih tanggung jawab besar ke pengawal lapis empat," imbuh Yoga. "Jadinya, kita, lapis dua dan tim lapis tiga, ponting-panting ke mana-mana," ungkap Andri. "Ojo ngeluh. Dinikmati aja. Kapan lagi kita bisa keliling Indonesia dan dunia? Cuma PBK yang bisa begini," pungkas Haryono yang mendapatkan anggukan persetujuan rekan-rekannya. Puluhan menit terlewati, rombongan Jakarta bergerak ke tempat parkir. Mereka berpamitan pada tim Bandung, kemudian bergegas memasuki beberapa bus yang akan mengantarkan mereka pulang ke Ibu Kota. Arudra memandangi hingga bus terakhir menjauh, kemudian dia bergabung dengan teman-teman tim Bandung, yang masih berbincang sambil jalan memasuki lobi utama hotel. Zivara mengikuti langkah beberapa perempuan yang memasuki lift. Tidak berselang lama mereka telah tiba di lantai tiga, dan menyebar untuk menuju kamar masing-masing. Zivara mengemasi barang-barang pribadi. Kemudian dia duduk di sofa sambil bermain ponsel. Sudut bibirnya mengukir senyuman menyaksikan percakapan di grup khusus para istri anggota PC, yang disebut GIPSI. Zivara tergelak melihat acara berbalas pesan teman-teman barunya. Gadis berkulit putih benar-benar menyukai mereka yang menurutnya ramah dan lucu. Ketukan di pintu spontan menghentikan tawa Zivara. Dia bangkit berdiri, lalu jalan untuk membuka pintu. Arudra memasuki ruangan sambil membawa beberapa kotak berpita. "Apa itu, Mas?" tanya Zivara sambil menutup pintu. "Kado dari PC Bandung dan Jakarta," terang Arudra sembari melangkah menuju meja dan meletakkan barang-barang itu di sana. "MasyaAllah. Sudah dibantu sedemikian rupa, masih dapat kado juga." "Ya, nggak nyangka juga aku." Arudra memandangi istrinya. "Mau dibuka sekarang?" tanyanya. "Enggak usah. Dibuka di rumah saja." "Oke, kalau gitu, aku mau istirahat dulu." "Bukannya kita mau langsung pulang?" "Aku masih capek dan ngantuk, Zi. Nanti nggak fokus nyetir." "Bilal ke mana?" "Dia kukasih libur sampai Rabu." "Aku aja yang nyetir." Arudra mengangkat alisnya. "Kamu bisa nyetir?" "Masih belum lancar, sih, tapi aku yakin bisa nyetir sampai rumah." Arudra menggeleng. "Aku khawatir kita malah nyampenya ke IGD." "Mas ngina!" Arudra mengulum senyuman. "Aku akan mengizinkanmu nyetir, setelah mahir." Zivara melengos. "Gimana mau mahir? Latihannya aja jarang-jarang. Nunggu Ayah ada di rumah, baru mobilnya bisa dipinjam." "Ehm, mobil yang putih, bisa kamu pakai." "Yang mana?" "SUV putih punyaku. Jarang digunakan itu." Mata Zivara seketika membulat. "Beneran, Mas?" "Ya. Besok kita ambil di rumah Papa." Zivara berseru kegirangan sambil berjoget. Arudra tertegun menyaksikan gerakan lentur perempuan berambut panjang. Pria berkemeja putih pas badan mengulaskan senyuman. Dia senang karena Zivara telah kembali ceria. *** Matahari siang bergerak turun ke ufuk barat. Langit terang perlahan menggelap. Burung-burung beterbangan menuju sarang masing-masing untuk beristirahat. Zivara menghempaskan badan ke sofa ruang tamu. Dia mengusap keringat yang membasahi wajah dan leher dengan handuk kecil putih. Perempuan bermata besar memindai sekitar, kemudian dia tersenyum puas menyaksikan tempat itu telah bersih. Zivara telah bekerja keras membersihkan kediamannya, sejak tiba tadi siang. Dia sengaja langsung pindah, agar bisa tidur terpisah kamar dari Arudra. Bila menginap di rumah sang ayah, Zivara dan Arudra akan sulit untuk memiliki privasi. Perempuan berhidung bangir mengalihkan pandangan ke luar. Beberapa anak kecil melintas menggunakan sepeda. Zivara mengingat-ingat untuk memperkenalkan diri pada tetangga. Esok pagi dia akan mendatangi setiap rumah sambil membawa buah tangan. Zivara menepuk dahi karena lupa memesan kue. Dia menyambar ponsel dari meja untuk menelepon Tanti, istri Farzan Bramanty. Kedua perempuan berbincang untuk menentukan kue apa saja yang hendak dipesan. Kemudian Tanti berjanji untuk mengantarkan pesanan itu esok pagi. Setelah memutus sambungan telepon, Zivara berdiri dan jalan ke kamarnya yang berada di bagian belakang bangunan. Gadis berbibir penuh memilih pakaian dari lemari, kemudian dia melenggang menuju kamar mandi di ujung kanan ruangan. Arudra terbangun dan seketika terpaku. Dia memerhatikan sekeliling, lalu menghela napas lega saat mengenali tempat itu sebagai kamar barunya di kediaman Zivara. Arudra bangkit sambil mengucek-ngucek mata. Selanjutnya dia berdiri dan jalan keluar. Arudra memanggil Zivara, tetapi tidak ada sahutan dari gadis tersebut. Pria berkaus putih mengetuk pintu kamar utama, sebelum membuka pintu dan memasuki ruangan yang remang-remang. Arudra menyalakan lampu lalu duduk di tepi kasur. Pria berparas manis mengambil tas kerjanya dari meja samping kasur. Dia meraih alat pengisi daya dan ponsel, kemudian dia meletakkan tas kembali ke tempat semula. Arudra berdiri dan berpindah ke dekat meja rias. Dia duduk di bangku, lalu memasangkan pengisi daya ke stop kontak, dan menyatukan ponselnya dengan charger. Pintu kamar mandi terbuka. Zivara keluar sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambutnya yang basah. Gadis bersetelan kaus merah, melenggang tanpa menyadari bila Arudra tengah mengamatinya. "Zi," panggil Arudra yang mengagetkan sang istri. "Astagfirullah!" Zivara mengusap dadanya. "Aku nggak lihat Mas di situ," terangnya sembari memandangi lelaki tersebut. "Segede gini nggak kelihatan?" "Aku tadi, kan, merem. Terus muka ketutupan handuk. Jadinya nggak ngeh." Arudra manggut-manggut. "Aku lapar. Apa ada yang bisa dimakan?" "Cuma ada mi dan telur. Aku belum sempat belanja." "Ya, udah. Itu aja dulu. Lumayan buat ganjal perut. Nanti, habis salat, kita ke luar. Belanja buat stok rumah." "Kayaknya nggak butuh, deh, Mas. Aku nanti tinggal sendirian. Bisa beli." "Aku di sini sampai lusa. Enggak dikasih makan?" "Kupikir Mas besok mau pulang ke rumah sana. Karena sudah tiga hari Mas sama aku." Arudra tertegun sesaat, lalu dia menyahut, "Enggak, aku tetap di sini. Supaya kamu nggak kesepian." "Mas nggak perlu mikirin aku. Status kita memang suami istri, tapi hanya di atas kertas. Selebihnya kita cuma teman." "Aku sedang mencoba akrab denganmu, Zi. Enggak mungkin kita setahun menikah, tapi tetap berlaku sebagai teman biasa." "Itu memang lebih baik, Mas Aku hanya pengganggu di antara kalian. Jadi kita nggak perlu akrab. Justru ... lebih baik kita bersikap sebagai orang asing." "Mana bisa begitu?" "Bisa. Mas harus tetap mengabaikanku dan fokus ke dia aja. Kalau perlu, Mas nggak usah datang ke sini sering-sering. Seperti poin nomor 5 yang kucantumkan di surat perjanjian kita." "Apa kamu masih marah ke aku?" "Marah kenapa?" Arudra mengangkat bahunya. "Entahlah, tapi kurasa sikapmu berbeda dari yang dulu." Zivara berdecih. "Enggak kebalik?" "Maksudnya?" "Coba Mas ingat-ingat. Apa Mas ada bantu aku mengurus persiapan pernikahan? Enggak, kan? Bahkan Mas cuma nelepon basa-basi, tapi nggak pernah muncul!" "Kamu nggak minta tolong. Jadi kupikir ada yang bantuin kamu." "Kita yang akan menikah. Harusnya tanpa perlu aku meminta, Mas sudah turun tangan. Walaupun kita dijodohkan dan ini cuma sementara, Mas nggak bisa santai, sedangkan aku sibuk sendiri." "Maaf, Zi. Aku benar-benar nggak tahu kalau kamu kerepotan. Kalau tahu, pasti aku bantu." "Gimana Mas mau bantu? Mas sudah sibuk sama dia." "Lanika istriku, dan akan jadi satu-satunya sampai kapan pun!" "Aku tahu dan sadar diri. Makanya aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Mas." Zivara menguatkan diri untuk tidak menangis, meskipun pelupuk matanya telah memanas. "Makanya, aku nggak mau kita berangkat ke Lombok. Percuma juga. Mending Mas ajak dia aja. Puas-puasin honeymoon," ungkap Zivara. "Bahkan kalau perlu, sekarang juga Mas ceraikan aku. Karena aku benar-benar menyesal telah menyetujui perjanjian itu!" desisnya. Arudra tercengang. Dia hendak membantah, tetapi Zivara telah berbalik dan jalan tergesa-gesa keluar ruangan. Arudra tertegun. Dia tidak menduga bila Zivara bisa mengucapkan penyesalan telah menikahinya.Sepanjang malam itu, Zivara mendekam di kamar. Dia tidak memedulikan panggilan Arudra yang berulang kali mengajaknya bicara di luar. Zivara benar-benar kesal, terutama pada dirinya sendiri yang begitu bodohnya mau menikah dengan Arudra.Gadis berambut panjang sudah kehabisan air mata. Zivara lelah terus-menerus menangis hingga matanya bengkak dan hidung memerah. Dia akhirnya memutuskan untuk tidur, sambil menutup telinganya dengan earphone. Alunan musik instrumental menemani Zivara hingga benar-benar terlelap. Dia sama sekali tidak mendengar ketukan yang disertai panggilan sang suami. Arudra berdiri di depan pintu kamar sang istri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Kemudian berbalik dan jalan menuju kamarnya. Arudra berbaring telentang. Tatapannya mengarah ke langit-langit yang terlihat samar-samar, karena lampu utama telah dipadamkan. Arudra merunut peristiwa dari semenjak dirinya dan Zivara menandatangani surat perjanjian tempo hari. Pria berbibir
Zivara berulang kali mengecek jam dinding untuk memastikan waktu. Namun, hingga pukul 9, Arudra tak jua datang Zivara sudah mengirimkan beberapa pesan, tetapi tidak satu pun yang dibalas Arudra. Perempuan bersetelan piama biru menimbang-nimbang sesaat dalam hati, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk menelepon Arudra. Detik demi detik menunggu panggilannya tersambung, menyebabkan Zivara deg-degan. Saat terdengar bunyi panggilan diangkat, dia menunggu orang di seberang telepon menyapa terlebih dahulu. "Maaf, mengganggu. Apa Mas Arudra ada?" tanya Zivara sambil menebak-nebak suara perempuan yang menerima panggilannya. "Dia lagi tidur!" ketus Lanika. "Ehm, maaf. Aku hanya penasaran, karena sejak tadi pesanku tidak dibalas." "Orangnya lagi tidur, gimana mau balas?" Lanika menggertakkan gigi. "Aku peringatkan padamu. Bila dia ada di sini, jangan nelepon! Kamu sudah menghabiskan waktu bersama dia selama 4 hari, apa belum cukup?" tanyanya dengan nada suara tinggi. Zivara terkesiap,
"Mas, bangun. Sudah subuh," tukas Zivara sambil menepuk-nepuk lengan Arudra. "Hmm?" Lelaki berkaus biru berusaha mengangkat matanya yang masih berat. "Sudah lewat jam 5. Nanti nggak keburu salat." "Hmm." "Jangan hmm terus. Ayo, bangun!" Arudra manggut-manggut. Dia membuka mata lebih lebar untuk menunjukkan dirinya telah sepenuhnya sadar. Zivara memandangi lelakinya sesaat, kemudian berbalik dan jalan ke balkon. Arudra menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia mengambil arloji di meja untuk mengecek waktu, lalu meletakkan benda itu ke tempat semula. Pria tersebut mengusap wajahnya, kemudian bangkit duduk. Belasan menit terlewati, Arudra menyambangi Zivara yang sedang duduk di kursi sambil memvideokan momen matahari terbit. "Zi, kamu udah salat?" tanya Arudra sembari duduk di kursi sebelah kanan. "Udah. Aku bangun dari jam setengah 5," terang Zivara."Ehm, di pantry, ada kopi, nggak?""Ada." Zivara menoleh. "Mau dibuatin?" tanyanya. "Hu um. Kalau ada kue, aku ma
Lanika jalan mondar-mandir sepanjang rumah. Dia kesal karena sejak tadi tidak bisa menghubungi Arudra. Lanika juga telah mengirimkan banyak pesan, tetapi semuanya hanya centang satu abu-abu. Lanika mengerutkan dahi. Dia tiba-tiba teringat sang madu. Dia bergegas ke kamar untuk mencari nomor telepon Zivara, yang sempat disalinnya dari ponsel Arudra. Lanika menyambar ponselnya dari meja, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia mengetikkan sederet angka dari catatannya ke ponsel. Kemudian Lanika menekan tanda hijau untuk menelepon rivalnya. "Aku mau tanya, apa kamu ada dihubungi Mas?" tanya Lanika, sesaat setelah mendengar sapaan orang di seberang telepon. Zivara terdiam. Dia mengalihkan pandangan pada lelaki berkaus putih yang sedang berbaring di kasur. "Kenapa memangnya?" balasnya. "Aku dari tadi nge-chat dan nelepon, tapi nggak masuk." "Aku nggak ada ngubungin dia. Jadi aku nggak tahu." "Masa kamu nggak ada chat dia sama sekali?" "Aku kapok nge-chat duluan. Nunggu dia ngubungi
Sepanjang perjalanan menuju Nusa Tenggara Timur, Arudra berulang kali memikirkan laki-laki dalam foto, yang diakui Zivara sebagai mantan kekasih. Arudra penasaran tentang hubungan Zivara dengan pria bernama Evan Pramadana. Namun, sang istri tetap tutup mulut dan tidak mau menjelaskan apa pun. Kelompok pimpinan Hendri akhirnya tiba di hotel di pusat kota. Mereka hendak beristirahat sehari, sebelum esoknya berangkat menuju Labuan Bajo. Seusai memasuki kamar, Zivara segera menuju toilet, karena mengeluh sakit perut. Arudra menempatkan kedua koper ke dekat lemari, lalu dia memindai sekitar. Arudra mengulaskan senyuman menyaksikan kasur yang dihiasi bunga mawar. Dia menggeleng pelan, karena meyakini jika pihak hotel sengaja menghiasi kasur, sebagai bentuk penyambutan pada pengantin baru. Belasan menit terlewati, Zivara keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya. Arudra yang hendak bersemedi, menunda keinginannya untuk bertanya, dan segera memasuki bilik basah. Zivara berbaring
Matahari baru muncul di langit ketika kelompok pimpinan Hendri beranjak memasuki mobil van abu-abu yang datang menjemput. Tidak berselang lama sopir van segera melajukan kendaraan menuju dermaga. Sepanjang jalan, pria berkumis tebal menjelaskan berbagai hal penting yang harus diketahui semua peserta paket wisata. Pria yang merupakan warga lokal, menjawab semua pertanyaan yang diajukan, dengan detail dan ramah. Dia juga berjanji untuk mengantarkan kelompok tersebut jalan-jalan seputar kota, saat mereka selesai berwisata hari Minggu nanti. Zivara yang belum pernah berlayar menggunakan kapal, sangat antusias untuk melakukan perjalanan wisata pertamanya, yang akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Sejak kemarin malam Zivara sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Terutama menyiapkan banyak kudapan kesukaannya, yakni keripik kentang berbagai rasa dan bagelen.Setibanya di tempat tujuan, pengelola kapal memberikan beberapa wejangan pada anggota kelompok. Kemudian mereka jalan m
Pulau Kelor merupakan tujuan pertama dari paket wisata yang diambil kelompok Arudra. Mereka sengaja memesan paket itu, agar bisa puas mengelilingi banyak pulau di sekitar Labuan Bajo. Selain itu, paket yang diambil juga sudah termasuk dengan penyewaan kapal. Hingga tidak perlu lagi berhitung ulang dan cukup sekali membayar, maka semua fasilitas lengkap bisa dinikmati. Zivara memandangi lautan luas sembari mengucap syukur dalam hati, karena berhasil tiba di tempat yang dulu hanya bisa dilihat fotonya di internet. Gadis berkaus biru muda dan celana hitam selutut, membiarkan kakinya terbenam pasir putih. Sekali-sekali ombak tenang menyapu kaki dan menyebabkan Zivara tersenyum senang. Kendatipun tidak bisa ikut snorkeling seperti rekan-rekannya, Zivara cukup puas bisa menikmati keindahan alam di Pulau Kelor. "Zi, bawa obat tetes mata?" tanya Arudra sembari jalan menyambangi istrinya. "Ada di tas itu," sahut Zivara sambil menunjuk ransel hitam di tikar lipat yang tadi dibentangkannya
Malam telah larut saat Arudra memasuki kamarnya. Pria berjaket hitam memandangi punggung perempuannya yang sedang berbaring miring menghadap ke jendela. Arudra menduga bila Zivara telah terlelap, hingga dia bergerak hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Arudra membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. Kemudian dia memasuki bilik kecil dan bersemedi. Belasan menit berikutnya, Arudra sudah berbaring telentang di belakang Zivara. Dia memandangi layar ponsel, kemudian menggerutu pelan karena tidak ada sinyal. Pria berkaus hitam akhirnya menonaktifkan ponsel, lalu meletakkan benda itu ke bangku kecil di samping kiri kasur. Arudra memejamkan mata dan merunut peristiwa yang terjadi sepanjang hari, untuk melatih ingatannya. Zivara berbalik dan mengejutkan lelakinya. Arudra membuka mata untuk mengamati perempuan berbaju abu-abu. Dia tertegun kala menyaksikan wajah Zivara yang cantik alami. Arudra memiringkan badan ke kanan. Dia terus memerhatikan sang istri yang masih terlelap. Sudu
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra