Lanika jalan mondar-mandir sepanjang rumah. Dia kesal karena sejak tadi tidak bisa menghubungi Arudra. Lanika juga telah mengirimkan banyak pesan, tetapi semuanya hanya centang satu abu-abu. Lanika mengerutkan dahi. Dia tiba-tiba teringat sang madu. Dia bergegas ke kamar untuk mencari nomor telepon Zivara, yang sempat disalinnya dari ponsel Arudra. Lanika menyambar ponselnya dari meja, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia mengetikkan sederet angka dari catatannya ke ponsel. Kemudian Lanika menekan tanda hijau untuk menelepon rivalnya. "Aku mau tanya, apa kamu ada dihubungi Mas?" tanya Lanika, sesaat setelah mendengar sapaan orang di seberang telepon. Zivara terdiam. Dia mengalihkan pandangan pada lelaki berkaus putih yang sedang berbaring di kasur. "Kenapa memangnya?" balasnya. "Aku dari tadi nge-chat dan nelepon, tapi nggak masuk." "Aku nggak ada ngubungin dia. Jadi aku nggak tahu." "Masa kamu nggak ada chat dia sama sekali?" "Aku kapok nge-chat duluan. Nunggu dia ngubungi
Sepanjang perjalanan menuju Nusa Tenggara Timur, Arudra berulang kali memikirkan laki-laki dalam foto, yang diakui Zivara sebagai mantan kekasih. Arudra penasaran tentang hubungan Zivara dengan pria bernama Evan Pramadana. Namun, sang istri tetap tutup mulut dan tidak mau menjelaskan apa pun. Kelompok pimpinan Hendri akhirnya tiba di hotel di pusat kota. Mereka hendak beristirahat sehari, sebelum esoknya berangkat menuju Labuan Bajo. Seusai memasuki kamar, Zivara segera menuju toilet, karena mengeluh sakit perut. Arudra menempatkan kedua koper ke dekat lemari, lalu dia memindai sekitar. Arudra mengulaskan senyuman menyaksikan kasur yang dihiasi bunga mawar. Dia menggeleng pelan, karena meyakini jika pihak hotel sengaja menghiasi kasur, sebagai bentuk penyambutan pada pengantin baru. Belasan menit terlewati, Zivara keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya. Arudra yang hendak bersemedi, menunda keinginannya untuk bertanya, dan segera memasuki bilik basah. Zivara berbaring
Matahari baru muncul di langit ketika kelompok pimpinan Hendri beranjak memasuki mobil van abu-abu yang datang menjemput. Tidak berselang lama sopir van segera melajukan kendaraan menuju dermaga. Sepanjang jalan, pria berkumis tebal menjelaskan berbagai hal penting yang harus diketahui semua peserta paket wisata. Pria yang merupakan warga lokal, menjawab semua pertanyaan yang diajukan, dengan detail dan ramah. Dia juga berjanji untuk mengantarkan kelompok tersebut jalan-jalan seputar kota, saat mereka selesai berwisata hari Minggu nanti. Zivara yang belum pernah berlayar menggunakan kapal, sangat antusias untuk melakukan perjalanan wisata pertamanya, yang akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Sejak kemarin malam Zivara sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Terutama menyiapkan banyak kudapan kesukaannya, yakni keripik kentang berbagai rasa dan bagelen.Setibanya di tempat tujuan, pengelola kapal memberikan beberapa wejangan pada anggota kelompok. Kemudian mereka jalan m
Pulau Kelor merupakan tujuan pertama dari paket wisata yang diambil kelompok Arudra. Mereka sengaja memesan paket itu, agar bisa puas mengelilingi banyak pulau di sekitar Labuan Bajo. Selain itu, paket yang diambil juga sudah termasuk dengan penyewaan kapal. Hingga tidak perlu lagi berhitung ulang dan cukup sekali membayar, maka semua fasilitas lengkap bisa dinikmati. Zivara memandangi lautan luas sembari mengucap syukur dalam hati, karena berhasil tiba di tempat yang dulu hanya bisa dilihat fotonya di internet. Gadis berkaus biru muda dan celana hitam selutut, membiarkan kakinya terbenam pasir putih. Sekali-sekali ombak tenang menyapu kaki dan menyebabkan Zivara tersenyum senang. Kendatipun tidak bisa ikut snorkeling seperti rekan-rekannya, Zivara cukup puas bisa menikmati keindahan alam di Pulau Kelor. "Zi, bawa obat tetes mata?" tanya Arudra sembari jalan menyambangi istrinya. "Ada di tas itu," sahut Zivara sambil menunjuk ransel hitam di tikar lipat yang tadi dibentangkannya
Malam telah larut saat Arudra memasuki kamarnya. Pria berjaket hitam memandangi punggung perempuannya yang sedang berbaring miring menghadap ke jendela. Arudra menduga bila Zivara telah terlelap, hingga dia bergerak hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Arudra membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. Kemudian dia memasuki bilik kecil dan bersemedi. Belasan menit berikutnya, Arudra sudah berbaring telentang di belakang Zivara. Dia memandangi layar ponsel, kemudian menggerutu pelan karena tidak ada sinyal. Pria berkaus hitam akhirnya menonaktifkan ponsel, lalu meletakkan benda itu ke bangku kecil di samping kiri kasur. Arudra memejamkan mata dan merunut peristiwa yang terjadi sepanjang hari, untuk melatih ingatannya. Zivara berbalik dan mengejutkan lelakinya. Arudra membuka mata untuk mengamati perempuan berbaju abu-abu. Dia tertegun kala menyaksikan wajah Zivara yang cantik alami. Arudra memiringkan badan ke kanan. Dia terus memerhatikan sang istri yang masih terlelap. Sudu
Hari berganti. Perjalanan wisata telah usai. Minggu pagi menjelang siang, kelompok pimpinan Hendri menyalami semua kru kapal, sebelum menuruni tangga menuju tepi dermaga. Barang bawaan mereka telah diturunkan terlebih dahulu dan tengah disusun sopir mobil van abu-abu. Hendri dan rekan-rekannya sempat berbincang dengan pengelola travel yang mendatangi semua anggota kelompok untuk bersalaman. Sekian menit berlalu, sepuluh turis domestik tersebut sudah berada di mobil. Mereka memastikan semua barang terangkut, kemudian Hendri meminta sopir untuk melajukan kendaraan menuju hotel. Zivara yang berada di kursi tengah bersama Arudra, berusaha menahan kantuk. Dia ingin memvideokan panorama sebagai kenang-kenangan. Namun, mata yang kian memberat menyebabkan Zivara akhirnya pulas. Dia tidur sambil menempelkan kepala ke bantal kecil yang didekatkan ke kaca. Arudra yang menyadari istrinya tertidur, menggeser badan ke kanan. Dia membentangkan jaket, lalu menyelimuti Zivara dengan benda itu. Se
Suasana toko oleh-oleh di pusat kota terlihat ramai. Banyaknya pelancong yang membeli buah tangan, menjadikan semua pegawai toko sangat sibuk. Zivara berkeliling toko bersama Irshava. Kedua perempuan yang sama-sama mengeraskan blus sage, memborong banyak kaus dan souvenir lainnya. Demikian pula dengan Arudra. Dia membeli banyak souvenir untuk diberikan pada staf khusus direksi. Selain itu, Arudra juga turut menambahkan oleh-oleh buat semua anggota PC, yang dikumpulkan di Hendri. Arudra memindai sekitar, kemudian dia mendatangi Zivara. Pria berkaus krem berbisik meminta bantuan istrinya untuk memilihkan oleh-oleh buat Lanika. Kendatipun sebenarnya Zivara enggan, tetapi akhirnya dia membantu Arudra memilihkan gaun yang pas buat sang madu. Zivara ikut memilih buat dirinya sendiri, karena menyukai bahan dan motif beberapa gaun panjang berbagai model. "Itu buat siapa?" tanya Arudra, ketika melihat Zivara meletakkan kedua gaun ke meja etalase. "Buatku," jawab Zivara sambil memilih-mil
Malam sudah larut ketika Zivara dan Arudra selesai membungkus oleh-oleh. Mereka memaksakan diri untuk menuntaskan pekerjaan itu, karena esok pagi sudah harus berangkat kembali ke Bandung. Zivara menguap untuk kesekian kalinya. Arudra yang merasa kasihan, meminta gadis itu untuk segera tidur dan dia yang akan mengemasi semua bungkusan ke tas travel besar, yang tadi dibeli khusus untuk mengangkut semua buah tangan. Zivara menurut. Dia memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu dia keluar dan jalan menuju kasur besar. Tubuh yang terlalu lelah menyebabkan Zivara lupa, bila malam itu gilirannya tidur di kasur tambahan. Belasan menit terlewati, Arudra telah selesai dengan tugasnya. Dia berdiri, lalu memutar badan ke kanan dan kiri, hingga tulang-tulangnya berbunyi. Arudra bergegas ke bilik kecil. Dia memutuskan untuk mandi, karena tadi sempat keringatan saat berbelanja. Arudra meringis kala menyadari bila dia lupa membawa handuk. Dia menyambar jubah mandi Zivara dari gantungan,
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra