Jalinan waktu terus bergulir. Arudra telah menikahi Lanika dalam pesta tertutup di salah satu resor di Bogor. Hal itu terpaksa dilakukan agar pernikahan rahasia tersebut tidak diketahui publik.
Rahmadi dan Indriati telah mengajukan syarat itu pada Arudra. Sebab mereka tidak mau posisi Lanika sebagai istri pertama Arudra diketahui banyak orang. Terutama keluarga besar Janardana. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu keluarga Arudra dan Zivara. Sabtu pagi, acara akad nikah dilaksanakan di kediaman Thamrin. Seusai ijab kabul dan pembacaan doa, dilanjutkan dengan pemasangan cincin. Arudra berdiri berhadapan dengan Zivara. Keduanya saling memandang selama beberapa saat, sebelum Arudra mengambil cincin dari meja dan menyematkannya ke jemari manis sang istri. Zivara melakukan hal serupa. Kemudian dia menciumi punggung tangan Arudra dengan takzim. Setelahnya, mereka berpose memegangi buku nikah untuk diabadikan para fotografer. Runutan acara pernikahan khas Sunda dijalani Arudra dengan separuh hati. Dia memikirkan Lanika yang tengah berada di Bogor. Istri pertamanya tersebut sengaja mengungsi ke sana untuk menenangkan diri. Acara akad nikah usai tepat jam 11. Arudra tetap bertahan di area depan rumah agar bisa berbincang dengan beberapa sahabatnya yang diundang dalam acara itu. "Nanti kalian dijemput di sini jam 5, Ra," tukas Wirya yang didaulat menjadi ketua panitia resepsi yang akan dilaksanakan nanti malam. "Siapa yang jemput?" tanya Arudra. "Halim dan Irwin." Wirya menunjuk kedua juniornya yang berada di sisi kiri tenda. "Karena Jauhari, Yusuf, Aditya dan Bilal sudah harus stand by di hotel," lanjutnya. "Ehm, Bang, buat para pengawal muda, aku harus nyiapin duit berapa?" "Enggak usah. Ini sudah ada dana dari PC." "Maksudnya?" "Diambil dari iuran bulanan kita." Arudra manggut-manggut. "Tapi, kalau kurang, kabari. Nanti kutransfer." "Bonusku aja. Lainnya nggak usah." "W, aku nggak kebagian?" tanya Zein. "W mulai licik," keluh Hendri. "Dia mau menguasai semuanya sendiri," seloroh Zulfi. "Bang W, bagi-bagilah ke aku," kelakar Zafran. "Ini buat tambahan modal usaha kita, Zaf," kilah Wirya. "Alhamdulillah. Aku senang banget Bang W mau transfer 1 miliar," canda Zafran. "Enggak sebanyak itu. Habis duitku," ungkap Wirya sambil menggeleng. "Enggak percaya aku," sela Arudra. "Beneran, Ra," balas Wirya. "Di dompet yang nggak ada. Di rekening, banyak. Masa bos tiga perusahaan nggak punya duit?" "Aku karyawan di tiga PT itu. Bosnya, Zein dan Hendti." "Yeah. Aku memang bos, tapi semuanya kamu yang ngatur. Aneh!" protes Zein. Azan zuhur berkumandang. Teman-teman Arudra berpamitan untuk kembali ke hotel tempat mereka menginap sejak kemarin. Ruang pertemuan terbesar di hotel itu akan menjadi tempat perhelatan akbar nanti malam. Arudra jalan memasuki ruangan dalam yang masih ramai keluarga Thamrin. Fazwan memberi kode ke atas, untuk menunjukkan di mana Zivara berada. Arudra mengangguk mengiakan. Dia menaiki tangga sambil membuka kancing jas pengantinnya. Pria berkulit kuning langsat tiba di depan pintu kamar yang dihiasi bunga-bunga. Arudra mengetuk pintu sambil memanggil nama Zivara. Gadis itu menyahut dan mempersilakan lelakinya masuk. Arudra membuka pintu dan memasuki ruangan yang ternyata cukup luas. Hiasan bunga biru dan putih yang serupa dengan pelaminan di bawah tenda, terlihat indah sekaligus harum. Arudra menutup pintu tanpa menguncinya. Lalu dia jalan hingga tiba di dekat Zivara yang sedang mengemasi isi koper. "Pakaian sebanyak itu, buat apa?" tanya Arudra sembari duduk di tepi kasur. "Ini buat dibawa pindah ke rumah kita, Mas. Aku sengaja packing dari sekarang, biar nanti nggak repot lagi," terang Zivara. "Pindahnya dua minggu lagi." Zivara menggeleng. "Aku mau pindahan lusa." "Nanti saja, setelah pulang dari Lombok." "Ehm, yang itu, kita batalkan aja." "Kenapa?" "Supaya Mas bisa langsung pulang ke rumah Lanika." Arudra tertegun. "Aku sudah pesan tiket pesawat bolak-balik. Teman-teman PC juga sudah menghadiahkan trip ke Labuan Bajo. Enggak enak buat nolak." "Bilang aja, aku yang nggak mau." Arudra mendengkus pelan. "Enggak bisa dibatalkan, Zi." Zivara bangkit dan berbalik hingga berhadapan dengan suaminya. "Kupikir, percuma aja kita honeymoon, karena Mas nggak akan menikmatinya." "Kenapa kamu bilang gitu?" "Itu, kan, kenyataannya. Tadi aja, Mas jarang senyum. Tatapan pun kosong." Arudra terkesiap. Dia tidak menduga bila hal itu disadari Zivara. "Aku kepikiran Lanika." "Aku paham, karena itu, aku nggak mau berangkat ke sana." Arudra kembali menggeleng. "Kita tetap berangkat..Karena ini trip barengan sama tim-ku. Maksudnya, tim proyek baru." "Proyek apa?" "Bareng pengusaha di Australia dan New Zealand. Bos PG. Mas Keven, Mas Bryan dan Mas Hansel." Zivara membulatkan matanya. "Aku nggak tahu kalau ada bisnis Mas di luar negeri." "Ini baru dimulai satu setengah bulan lagi. Aku sama teman-teman nanti berangkat ke sana." "Lama di sananya?" "Sekitar seminggu." "Ehm, selama Mas pergi, apa aku boleh nginap di sini?" "Kamu ikut, Zi. Teman-teman juga bawa keluarganya." Zivara menggeleng. "Kupikir, lebih baik aku nggak ikut dalam perjalanan bisnis." Arudra mengerutkan dahi. "Kenapa begitu?" "Aku hanya istri sementara. Nanti akan repot urusannya kalau aku terlalu ikut campur dalam kerjaan Mas." "Kamu bukan ikut campur. Kan, kamu pendampingku. Sudah sepantasnya kamu ...." "Enggak, Mas. Waktuku hanya setahun. Dimulai pada hari ini, hingga 365 hari berikutnya. Setelah itu, kita pisah dan meneruskan kehidupan masing-masing." Arudra hendak menyanggah, tetapi diurungkannya karena Zivara telah jalan menjauh. Dia mengamati perempuan bersetelan kaus hijau, hingga Zivara menghilang di balik pintu toilet. Gadis berambut panjang mengunci pintu. Tubuhnya melorot hingga duduk di lantai. Bulir bening yang menggumpal di mata Zivara akhirnya luruh dan membasahi pipinya. Gadis bermata cukup besar, menutup mulutnya dengan kedua tangan agar sedu-sedannya tidak terdengar keluar. Zivara memejamkan mata dan terus menangis. Dia menyesali keputusannya untuk menikahi Arudra. Sikap hangat Arudra di awal pendekatan mereka, mendadak menghilang semenjak dia menikahi Lanika tiga minggu lalu. Arudra bahkan seolah-olah tidak peduli pada Zivara yang sibuk mengurusi berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan mereka. Zivara masih mengingat jelas tatapan kosong Arudra saat acara akad berlangsung. Pria tersebut sampai harus mengulangi kalimat kabul, karena sempat berhenti akibat lupa jumlah mahar. "Zi," panggil Arudra dari depan pintu. "Ya," cicit Zivara sambil mengusap matanya dengan tangan. "Masih lama? Aku mau mandi. Gerah banget." "Bentar." Tidak lama berselang Zivara keluar sambil menunduk. Dia sengaja membasahi wajah agar Arudra tidak mengetahui jika dia telah menangis. Kala pintu toilet tertutup, Zivara spontan menghela napas lega. Dia duduk di bangku depan meja rias, lalu mengambil tisu untuk mengeringkan wajahnya. Kala Arudra keluar, Zivara telah berbaring miring ke kanan di kasur. Pria berkaus putih memindai sekitar. Kemudian dia mengambil selimut dan membentangkannya di lantai. Arudra mengambil bantal dan guling dari kasur. Dia meletakkan kedua benda itu ke selimut, lalu berbaring memunggungi sang istri. Arudra memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Tanpa menyadari bila Zivara kembali menangis tanpa suara.Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah di ruang pertemuan hotel bintang lima di kawasan Gatot Subroto. Para tamu memenuhi area sambil menikmati hidangan. Demikian pula dengan keluarga besar kedua mempelai, yang menempati ruang VIP satu. Zivara memerhatikan sekeliling dengan antusias. Dia melupakan rasa kecewanya pada Arudra, dan memutuskan untuk menikmati pesta. Sang mempelai wanita terlihat semringah. Sudut bibirnya nyaris tidak berhenti mengukir senyuman. Terutama karena dia sangat menyukai dekorasi dan berbagai lagu romantis yang ditampilkan band. Arudra yang telah menyadari kesalahannya, berusaha memperbaiki sikap. Dia berulang kali mengajak Zivara berbincang, tetapi hanya ditanggapi sekilas. Arudra tahu jika Zivara masih marah karena kejadian saat akad tadi pagi. Pria bersetelan tuksedo biru mengilat, berjanji untuk lebih fokus pada Zivara agar gadis itu tidak melanjutkan aksi merajuknya. Kala musik berhenti, perhatian pengunjung teralihkan pada panggung di sisi kanan. K
Pagi itu, seusai sarapan, Arudra mengajak Zivara berpindah ke dekat meja kasir restoran hotel. Seorang petugas memberikan dua microfon pada pasangan tersebut. Arudra berdiskusi sesaat dengan istrinya, kemudian dia memerhatikan hadirin yang balas menatapnya saksama. Arudra mengucapkan salam, lalu memulai pidato. "Saya dan istri, ingin mengucapkan terima kasih tak tertinggi pada semua teman-teman yang telah bersedia datang untuk menghadiri acara pernikahan kami kemarin," tutur Arudra. "Mohon maaf, jika kami telah merepotkan kalian, terutama semua panitia," tambah Zivara. "Khusus buat tim PBK, hatur nuhun pisan karena mau membantu kami menyukseskan acara. Love se-Bandung buat kalian!" serunya yang disambut tepuk tangan hadirin. "Kami tidak bisa membalas kebaikan kalian. Hanya Tuhan yang sanggup melakukan itu," terang Arudra. "Sebagai bentuk terima kasih, kami telah menyiapkan sedikit oleh-oleh yang akan segera dibagikan," lanjutnya. Fazwan dan rekan-rekannya dari pasukan pengawal ke
Sepanjang malam itu, Zivara mendekam di kamar. Dia tidak memedulikan panggilan Arudra yang berulang kali mengajaknya bicara di luar. Zivara benar-benar kesal, terutama pada dirinya sendiri yang begitu bodohnya mau menikah dengan Arudra.Gadis berambut panjang sudah kehabisan air mata. Zivara lelah terus-menerus menangis hingga matanya bengkak dan hidung memerah. Dia akhirnya memutuskan untuk tidur, sambil menutup telinganya dengan earphone. Alunan musik instrumental menemani Zivara hingga benar-benar terlelap. Dia sama sekali tidak mendengar ketukan yang disertai panggilan sang suami. Arudra berdiri di depan pintu kamar sang istri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Kemudian berbalik dan jalan menuju kamarnya. Arudra berbaring telentang. Tatapannya mengarah ke langit-langit yang terlihat samar-samar, karena lampu utama telah dipadamkan. Arudra merunut peristiwa dari semenjak dirinya dan Zivara menandatangani surat perjanjian tempo hari. Pria berbibir
Zivara berulang kali mengecek jam dinding untuk memastikan waktu. Namun, hingga pukul 9, Arudra tak jua datang Zivara sudah mengirimkan beberapa pesan, tetapi tidak satu pun yang dibalas Arudra. Perempuan bersetelan piama biru menimbang-nimbang sesaat dalam hati, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk menelepon Arudra. Detik demi detik menunggu panggilannya tersambung, menyebabkan Zivara deg-degan. Saat terdengar bunyi panggilan diangkat, dia menunggu orang di seberang telepon menyapa terlebih dahulu. "Maaf, mengganggu. Apa Mas Arudra ada?" tanya Zivara sambil menebak-nebak suara perempuan yang menerima panggilannya. "Dia lagi tidur!" ketus Lanika. "Ehm, maaf. Aku hanya penasaran, karena sejak tadi pesanku tidak dibalas." "Orangnya lagi tidur, gimana mau balas?" Lanika menggertakkan gigi. "Aku peringatkan padamu. Bila dia ada di sini, jangan nelepon! Kamu sudah menghabiskan waktu bersama dia selama 4 hari, apa belum cukup?" tanyanya dengan nada suara tinggi. Zivara terkesiap,
"Mas, bangun. Sudah subuh," tukas Zivara sambil menepuk-nepuk lengan Arudra. "Hmm?" Lelaki berkaus biru berusaha mengangkat matanya yang masih berat. "Sudah lewat jam 5. Nanti nggak keburu salat." "Hmm." "Jangan hmm terus. Ayo, bangun!" Arudra manggut-manggut. Dia membuka mata lebih lebar untuk menunjukkan dirinya telah sepenuhnya sadar. Zivara memandangi lelakinya sesaat, kemudian berbalik dan jalan ke balkon. Arudra menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia mengambil arloji di meja untuk mengecek waktu, lalu meletakkan benda itu ke tempat semula. Pria tersebut mengusap wajahnya, kemudian bangkit duduk. Belasan menit terlewati, Arudra menyambangi Zivara yang sedang duduk di kursi sambil memvideokan momen matahari terbit. "Zi, kamu udah salat?" tanya Arudra sembari duduk di kursi sebelah kanan. "Udah. Aku bangun dari jam setengah 5," terang Zivara."Ehm, di pantry, ada kopi, nggak?""Ada." Zivara menoleh. "Mau dibuatin?" tanyanya. "Hu um. Kalau ada kue, aku ma
Lanika jalan mondar-mandir sepanjang rumah. Dia kesal karena sejak tadi tidak bisa menghubungi Arudra. Lanika juga telah mengirimkan banyak pesan, tetapi semuanya hanya centang satu abu-abu. Lanika mengerutkan dahi. Dia tiba-tiba teringat sang madu. Dia bergegas ke kamar untuk mencari nomor telepon Zivara, yang sempat disalinnya dari ponsel Arudra. Lanika menyambar ponselnya dari meja, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia mengetikkan sederet angka dari catatannya ke ponsel. Kemudian Lanika menekan tanda hijau untuk menelepon rivalnya. "Aku mau tanya, apa kamu ada dihubungi Mas?" tanya Lanika, sesaat setelah mendengar sapaan orang di seberang telepon. Zivara terdiam. Dia mengalihkan pandangan pada lelaki berkaus putih yang sedang berbaring di kasur. "Kenapa memangnya?" balasnya. "Aku dari tadi nge-chat dan nelepon, tapi nggak masuk." "Aku nggak ada ngubungin dia. Jadi aku nggak tahu." "Masa kamu nggak ada chat dia sama sekali?" "Aku kapok nge-chat duluan. Nunggu dia ngubungi
Sepanjang perjalanan menuju Nusa Tenggara Timur, Arudra berulang kali memikirkan laki-laki dalam foto, yang diakui Zivara sebagai mantan kekasih. Arudra penasaran tentang hubungan Zivara dengan pria bernama Evan Pramadana. Namun, sang istri tetap tutup mulut dan tidak mau menjelaskan apa pun. Kelompok pimpinan Hendri akhirnya tiba di hotel di pusat kota. Mereka hendak beristirahat sehari, sebelum esoknya berangkat menuju Labuan Bajo. Seusai memasuki kamar, Zivara segera menuju toilet, karena mengeluh sakit perut. Arudra menempatkan kedua koper ke dekat lemari, lalu dia memindai sekitar. Arudra mengulaskan senyuman menyaksikan kasur yang dihiasi bunga mawar. Dia menggeleng pelan, karena meyakini jika pihak hotel sengaja menghiasi kasur, sebagai bentuk penyambutan pada pengantin baru. Belasan menit terlewati, Zivara keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya. Arudra yang hendak bersemedi, menunda keinginannya untuk bertanya, dan segera memasuki bilik basah. Zivara berbaring
Matahari baru muncul di langit ketika kelompok pimpinan Hendri beranjak memasuki mobil van abu-abu yang datang menjemput. Tidak berselang lama sopir van segera melajukan kendaraan menuju dermaga. Sepanjang jalan, pria berkumis tebal menjelaskan berbagai hal penting yang harus diketahui semua peserta paket wisata. Pria yang merupakan warga lokal, menjawab semua pertanyaan yang diajukan, dengan detail dan ramah. Dia juga berjanji untuk mengantarkan kelompok tersebut jalan-jalan seputar kota, saat mereka selesai berwisata hari Minggu nanti. Zivara yang belum pernah berlayar menggunakan kapal, sangat antusias untuk melakukan perjalanan wisata pertamanya, yang akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Sejak kemarin malam Zivara sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Terutama menyiapkan banyak kudapan kesukaannya, yakni keripik kentang berbagai rasa dan bagelen.Setibanya di tempat tujuan, pengelola kapal memberikan beberapa wejangan pada anggota kelompok. Kemudian mereka jalan m
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra