Bagian 38 Es Campur “Merah, merah, merah, merah lagi, kuning.” Chef Bella memeriksa hidangan nasi Padang buatan kami, tim A. Yang jelas bukan aku ketua timnya.“Nggak ada variasi warna lain, ya?” Cheff putra memegang piring kecil-kecil yang berisikan aneka lauk pauk khas Padang. “Ayam balado, dendeng batokok, ikan tongkol balado lagi, sambal campur-campur, gulai nangka. Nggak kepikiran buat yang warna hijau atau putih seperti ayam pop. Biar aneka warna. Nggak pernah belajar unsur estetik dalam makanan. Otak kalian ada, kan? Kenapa nggak dipakai untuk mikir,” kata lelaki berusia 32 tahun di depan kami. Es batu nyelekit banget sekali ngomong. Pedih sampai ke ulu hati. Sisi lain Mas Jimm(n) yang baru aku sadar ternyata menyeramkan. “Rendang siapa yang masak?” tanyanya lagi. Terus aku angkat tangan. Asli hari ini aku nggak sempat godain dia. Serius banget mukanya dari tadi. “Kenapa bentuknya begini? Yakin ini rendang?” Tatapan mata Mas Jimmi(n) serius banget sama aku. Aku yakin ja
Ya, benar sekali. Memang akhir-akhir ini nama Cantika Ayu Jelitta, selalu jadi bahan perbincangan kami bertiga ketika lagi di belakang layar. Ada saja yang ditanyakan oleh dua rekanku. Termasuk apakah aku tidak insecure punya istri jago berantem seperti dia. Aku jadi teringat ketika Can menyelamatkanku dari gangguan dua ahjussi pemabuk di Seoul. Awalnya memang, sedikit takut menikah dengan seorang kesatria pilih tanding bahkan sudah mengantongi medali emas. Eh, ternyata dibalik sikap pemberaninya, dia cengeng, takut gelap, dan nggak bisa dimarahin. Jadi perpaduan mematikan Cantika, luar biasa sekali untukku. Antara sisi hitam kopi dan putih susu yang harus diblend ditambah dengan beberapa gram creamer, hingga menjadi minuman yang rasanya nikmat, serta sulit dilupakan, dan membuat kita ingin mengulang lagi karena tidak ada bosannya. “Tapi kayaknya anaknya nggak banyak tingkah, ya? Yang aku denger mantan kamu itu nyusahin banget,” tanya Chef Bella. Kisah percintaan aku dengan seora
Hari ini kami memasak bukan di studio. Melainkan di satu tempat yang ditunjuk oleh Chef Putra. Acara ini pesertanya memang sudah dipilih, bahkan Cantika pun datangnya mendadak. Tetapi, tidak menjadi pembenaran untuk asal-asalan memasak. Toleransi kesalahan Can hanya sampai di sepuluh besar saja. Selebihnya dia akan aku pulangkan sendiri kalau memang tidak ada perkembangan. Entah dia tahu ini atau tidak, tapi rasanya dia pasti tahu karena krew sudah menjelaskan semuanya dengan detail. “Kita ke mana, sih, Mas?” tanya dia yang lagi duduk di sebelahku. Kami semua pergi pakai bus yang sudah disewa. Memang belum dikatakan pada peserta tujuannya ke mana. Akan meniadi kejutan tersendiri bagi mereka. “Tempat orang buang anak.” Dengan jujur aku menjawab. “Mas, dari kemarin ngomongnya anak terus, loh. Ini kode atau gimana, sih?” Dia meletakkan ponselnya dan melihatku yang juga melihatnya. “Kode apa?” Aku suka pertanyaannya.“Kode buat punya anak.” Can bisik-bisik tetangga. “Emang kamu udah
Ampun deh sama kedatangan juri satu ini. Chef Junna, nama legendaris luar biasa dari zaman aku masih dekil persis kayak badut ancol. Bisa mati berdiri aku dibuatnya. Belum apa-apa udah grogi. Please, get up, Cantika. Udah lima besar, dikit lagi perjuangan. “Baiklah semuanya. Ada pun kedatangan Chef Junna kali ini tidak untuk ditakuti karena beliau hanya datang sebagai bintang tamu saja, tidak untuk memasak dan masakannya kalian tiru, melainkan …” Chef Putra bicaranya pakai putus-putus lagi. Wow Chef Junna sama Chef Jimm(n) berdiri sebelah-sebelahan gitu persis pinang dibelah kampak. Sama-sama tatapan mata setajam silet dan jarang senyum. Aku seperti kehilangan seorang suami kalau udah di dapur Super Chef. Awal-awal aku kena mental dimarahin, tapi lama-lama udah biasa aja. Malah aku bercandain setiap hari. “Jadi untuk lima besar kali ini silakan memasak sama persis atau duplikasi makanan yang dibuat oleh Chef Putra.” Chef Bella melanjutkan yang tertunda tadi. Males banget kalau ud
Selesai proses syuting yang sangat melelahkan, dari pagi ketemu malam, dan sekarang aku mengerti banget kenapa Mas Jimmi(n) dulu sering cuek aja sama aku. Kegiatanku pertama kali adalah menyelesaikan sidang skripsi yang lancar jaya tanpa hambatan sama sekali. Selagi menunggu jadwal wisuda keluar aku jalan-jalan ke tempat yang dulu pernah aku kunjungi. Sekolah patissery, IPS yang berlokasi di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Ya, pantes harga sekolahnya mahal. Tempatnya aja di dekat para sultan tinggal.Nggak banyak basa-basi. Aku bayar biaya semuanya lunas. Itu juga udah naik selama beberapa bulan aku tinggal syuting. Harga yang sesuai dengan yang diajarkan. Sedikit teori dan langsung praktek. Kursusnya hampir tiap hari. Karena lokasi syuting my husband yang sangat jauh dengan tempat kursus, jadinya aku lagi-lagi pakai grab. Aku belum bisa bawa mobil, belum ada rencana belajar juga. Di sini kemampuanku diasah lebih dalam. Apalagi dengan basic aku sebagai istri seorang chef dan pern
Aku masih berpikir sambil melihat stella all in one menebarkan aroma kopi yang biasanya aku suka. Dih, hidung aku kenapa, sih. Biasanya juga aroma ragi yang asam aku tahan. Mobil mas Jimmi(n) lewat di depan orang jual bakso sama mie ayam. Ya ampun aku kibarin bendera putih. Keluar semua isi perutku. Padahal dua makanan itu kaporitku dari dulu. Sampai lemes badan ini, nggak sanggup berkata-kata lagi. Mas Jimmin bawa mobil entah ke mana, aku udah nggak tahu lagi. Yang aku rasain ada yang angkat aku ke atas ranjang terus didorong ke mana juga aku nggak ngerti. Pandangan mataku agar-agak kabur, terus kepala pusing luar biasa, dan tiba-tiba aja terasa gelap di dalam ruangan yang tadinya terang benderang. *** Mata aku bukan pelan-pelan. Again di rawat di rumah sakit. Kayak orang lemah nggak ada harapan hidup aja aku jadinya. Padahal gejala magh yang kambuh nggak terlalu berat. Bisa banget main pingsan gitu aja. “Mas. Pulang aja, yuk, malas banget dirawat di rumah sakit lagi.” Mas Jimmi
Mas, sejak nikah sama kamu, aku bahagia. Bahagia banget, sampai bawaannya pengen lari sambil nyanyi di kebun bunga. Persis seperti film kuch-kuch hota hai. Lebay, ya, tapi aslinya emang pengen nyobain. Sejak nikah sama kamu, dari terpaksa jadi ada rasa. Rasa yang dulu pernah tidak ada, atau rasa yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Bisa jadi varian rasa baru dalam bungkus mi instan. Mengimbangi rasa ayam kampus di kalangan laki pengangguran tapi ngarep dapat perempuan mandiri dan manja. Dari nggak bisa masak jadi bisa masak. Dulu rebus aer gosong, sekarang masak rendang udah nggak dimarahin sama kamu lagi. Apalagi kalau udah pakai lontong daun sama kerupuk emping. Begh, bisa nggak nyapa orang tua kalau lewat di depan mata. Dari aku yang jago berantem, jadi jago momong bocah. Ya, gimana nggak. Udah punya dua putri tercinta yang ternyata mukanya mirip Mamas semua. Lebih deket sama papanya, mamanya cuman tempat minta uang jajan. Dari yang dulunya hobi makan mi instan sekarang j
“Mas dapat panggilan mendadak, Can. Tungguin Diandra di rumah, ya. Dari program talk show,” katanya setelah memakai baju yang wangi laundry parfum.“Okeh, terserah yayank aja mau gimana. Yang penting yayank bahagia.” Aku menjawab sambil meletakkan sarung tinju yang sudah bertahun-tahun dikremasikan. “Jangan gitu, donk, ngambeknya. Ini, kan, demi kita juga. Kalau dapat bonus dari acara talk show, kamu bisa beli obat diet, Can. Yang satu minggu bisa turun 20 kilo itu. Bye, tayangku, jung jong mamaku.” Ya udah deh, karena nggak ada kerjaan. Sirup ABC juga belum pulang dari sekolah. Jadilah aku nonton netflix drakor kekinian. Sambil apa? Sambil ngemil dan minum teh manis. Tuh, kan, emang nggak ada yang mendukungku untuk diet. Tiga episode marathon habis juga setengah loyang cake buatanku sendiri. Aaagh, nyesel aku ngabisin gitu cepet. Ya, ampun ini mulut kenapa nggak bisa direm, sih, kalau makan. Semua kue masuk, makanan berat masuk, kuda nil bakar juga muat di dalamnya. Nasib jadi ist