“Mas dapat panggilan mendadak, Can. Tungguin Diandra di rumah, ya. Dari program talk show,” katanya setelah memakai baju yang wangi laundry parfum.“Okeh, terserah yayank aja mau gimana. Yang penting yayank bahagia.” Aku menjawab sambil meletakkan sarung tinju yang sudah bertahun-tahun dikremasikan. “Jangan gitu, donk, ngambeknya. Ini, kan, demi kita juga. Kalau dapat bonus dari acara talk show, kamu bisa beli obat diet, Can. Yang satu minggu bisa turun 20 kilo itu. Bye, tayangku, jung jong mamaku.” Ya udah deh, karena nggak ada kerjaan. Sirup ABC juga belum pulang dari sekolah. Jadilah aku nonton netflix drakor kekinian. Sambil apa? Sambil ngemil dan minum teh manis. Tuh, kan, emang nggak ada yang mendukungku untuk diet. Tiga episode marathon habis juga setengah loyang cake buatanku sendiri. Aaagh, nyesel aku ngabisin gitu cepet. Ya, ampun ini mulut kenapa nggak bisa direm, sih, kalau makan. Semua kue masuk, makanan berat masuk, kuda nil bakar juga muat di dalamnya. Nasib jadi ist
“Hai, Jim, apa kabar kamu?” Si anak dinosaurus ini nanyanya suara sambil mendesah-desah. Tahu, sih, bintang majalah buaya darat. Tapi, ya, lihat tempat jugalah. Mamas cuman bilang baik, doank. “Ma, Papa kayaknya risih, deh, ya, itu tante kenapa melonnya dipamerin di depan laki-laki? Apa nggak malu.” Sirup abc ini anaknya cemburuan juga. Waktu adiknya lahir ngambek karena papanya lebih perhatian sama Diandra. Entah meniru siapa, aku tak tahu. Mungkin Kayla emang nggak punya rasa malu lagi sama orang-orang. Si botak yang bawa acara aku lihat tiap bentar ngelirik dua buah melon yang kayaknya ukurannya udah nggak ori lagi. Mamas geser-geser aja tiap bentar. “Papa duduk di sini aja.” Anakku memang pahlawanku.Bilqis pindah tempat duduk biar papanya nggak sebelahan sama si anak dinosaurus yang rambutnya disugar tiap bentar. Cantik, sih, cantik, turunan Rusia, kan. Tapi, ya, kebjiakan lokal diikuti donk. Itu melon ditutupin napa, sih. Hih pengen tak letusin kayak balon rasanya. “Oke, kit
“Lain kali jangan gitu, ya, Iqis, nggak baik sama orang lain,” ucap Mas Jimmi ketika di dalam mobil. “Kesel, Pa, ganjen amat jadi cewek, dasar perempuan jalang!” Jawaban Iqis membuatku mengango. Darimana dia belajar kata-kata itu. Untung aja udah pulang.Talk show berakhir sesuai dengan durasinya. Rencana tim mau mengajak kami makan-makan. Tapi kami udah kadung lelah. Sirup ABC besok sekolah, dan Diandra malah udah terlelap di tanganku. “Iqis, Sayang, kamu tahu jalang itu apa?” Mas Jimmi garuk-garuk kepala. “Tahu, Pa.” “Yang kayak gimana?” “Yang kayak karipap terus ada isian tumisan kentang, wortel sama telor puyuh, dulu mama pernah buat, tapi sekarang nggak pernah lagi.” “Iqis, itu namanya jalangkote, bukan jalang doank, ya, Nak.” Nggak habis pikir aku sama isi kepalanya. Lebih mirip siapa dia sebenarnya. Kadang aku sampai nggak mengenali anak sendiri yang kalau ngomong mulutnya dar der dor banget. Sepanjang perjalanan yang agak macet entah karena apa. Sirup ABC akhirnya tert
Mamas yang siap-siap syuting. Diandra yang bangun nggak mau tidur lagi, terus Iqis yang ada aja buat ulah. Membuat pag hariku amat sangat damai langgeng sejahtera merdeka-merdeka. Sambil siapin sarapan, sambil gendong anak. Aku berubah semua karena cintaku pada Mas Jimmin. Ya, sudahlah, mau gimana lagi. “Dah, Papa pergi dulu, mungkin pulangnya agak lama. Kalau di sekolah nanti jangan kasih Iqis jajan yang terlalu banyak warna, bahaya.” Mas Jimmin mengecup kening dua anaknya, aku beda lagi donk yang dicium, Ngoahahahah, kasihan jomlo yang nggak bisa niruin. Sehabis papanya pergi pakai jemputan dari salah satu tim yang minta bantuan dia. Aku pun lanjut sarapan karena perut laper. Rencana dietku gagal total sudah. Pas mau diet ada aja makanan disuguhin. Aku harus apa? Ya harus pasrah aja, nggak ada pilihan lain. Bahkan ketika aku nggak bisa menikmati makanan dengan nikmat karena Diandra nangis, dan Iqis ngambek. Nikmat luar biasa menjadi ibu rumah tangga. Makanya kedai kue milikku
“Apa kata ibu gurunya tadi?” tanya mamas ketika kami sudah di rumah. Iqis lanjut ngaji di masjid dan belum pulang. Diandra main di karpet bulu sama kami dan Mas Jimmin keluarin cemilan dari dalam tas. “Disuruh ajarin Iqis jadi perempuan lemah lembut, anggun, soleh, penuh kasih sayang.” Eh, iya, loh emang gitu pesan gurunya. Ha ha ha ha ha. Mas Jimmin ketawa. Nggak puas juga, dia ketawa lagi sampai ngakak sampai keluar air mata. Ada yang lucu apa, ya? “Kenapa, sih, Mas?” “Lemah lembut, ahahahaha.” “Mas!” Aku greget. Lama-lama aku jadikan samsak baru tahu rasa. “Emang kamu dulu lemah lembut?” Pertanyaannya membuatku membeku. “Kok, jadi bahas, Can, sih.” Aku mengambil biskuit dan aku kunyah sampai rapuh. Aslinya pengen gigit Mamas. “Istriku yang paling cantik dan semok. Dengar baik-baik, ya, buah jatuh itu nggak jauh dari pohonnya. Kecuali di bawah ada sungai tu buahnya hanyut. Ngertiiii?” Ceileh, main peribahasa lagi. To the point aja kenapa? “Ya, terus?” “Ya kamu dulu pernah
Kebahagiaan terpancar dari wajah Kayla dan Chef Putra. Walau aku sendiri nggak rela. Nggak tahu, deh, kenapa. Padahal bucin mereka mendatangkan rupiah buatku. Kemudian waktu terus berjalan dengan cepat. Umurku bertambah, umur Mamas juga. Terus berita pernikahan keempat Kayla dan Chef Putra yang membuat kami hampir kena serangan jantung dadakan. “Nggak bisa, ini nggak bisa!” tunjukku pada kartu undangan yang dibawa Mamas. “Ya, memang udah jodohnya, mau gimana, Can. Jangan lupa cake ulang tahun empat tingkat dari kamu, ya,” jawab Mas Jimmin santai aja tanpa beban. Aku yang syok, entah kenapa juga kaget. Padahal mereka bukan saudara apalagi anak. “Mahal nih kue kalau untuk pernikahan.” “Santai, Chef Putra berani bayar mahal demi sebuah kualitas. Asal jangan lupa pantunnya.” “Burung elang burung cendrawasih,” kataku masi kesel. “Terus?” Mamas menunggu lanjutannya. “Cukup sekian dan terima kasih.” Aku meletakkan kartu undangan di meja. Orang sekeren Chef Putra dapat Kayla itu ras
Sirup ABC, sigh. Itu nama kecilku dari dulu. Sebenernya aku nggak suka. Tapi gimanalah, punya orang tua keduanya pelawak, ya, emang ini. Btw, Bestie, sekarang aku sudah besar. Umurku sudah 23 tahun. Aku sudah memiliki pekerjaan sendiri. Nggak jauh dari dunia yang papaku geluti. Iqis panggilanku dari dulu, walau lebih sering dipanggil yang lain. Mamaku namanya Cantika Wulandari. “Cantika Ayu Jelitta. Bukan Wulandari.” Suara mamaku tergiang-ngiang lagi di telinga. Papaku sendiri, Jimmin Zola, beliau sudah … hmmm, pensiun. Maksudku lebih banyak di rumah istirahat dan sesekali mengurus bisnis. Di umur sebelas tahun aku berhasil menyabet juara satu untuk sebuah ajang masak bergengsi di kalangan anak-anak. Yang aku tahu dulu ternyata papa juri pertamanya dan mama jadi peserta. Kontrasepsi, eh, konspirasi macam apa ini? Apakah dari sana aku lahir? Dari adonan tepung, gula, ragi, susu dan pengembang hingga brojollah anak seperti aku. Sejak kemenangan yang akhirnya aku tahu diributkan n
Aku pulang ketika kerjaan udah kelar semua.Aku naik motor agar lebih cepat sampai ke rumah. Di tengah jalan, ponselku bergetar. Pas sampai rumah aku lihat pesan yang masuk. Undangan reuni sesama teman-teman SD dua minggu lagi. Tempat belum ditentukan di mana, dan aku abaikan pesan itu, donk.Bukan sombong, aku sibuk sekali ngurus restaurant dan harus fokus di sana. Modal yang terbenam sudah banyak dan itu dari hasil kerja kerasku juga ngumpulin dari satu kontes ke kontes masak lain. Rumah begitu sepi, paling ada Diandra aja yang sesekali keluar kamar mengambil minum. Papa dan Mama pasti sudah tidur duluan. [Ditunggu jawaban dari Iqis. Udah lama banget nggak ketemu sama kamu.] Pesan yang aku baca ketika mataku sudah lima wat. Hmmm apa dah. Aku tu malas ngumpul-ngumpul kalau bahas kekonyolan masa lalu. Masa di mana aku nggak tahu malu. Fix aku senyapkan ponsel dan nggak peduli apa yang terjadi. Pokoknya aku tidur dulu. Bahkan sampai ke alam mimpi pun aku dikejar gurita kaki seribu