“Assalammualaikum, Ukhtie, Bestie, Kunti. Di sinilah aku sekarang. Sedang berada di dapur Chef setengah terkenal Jimmi Zolla, atau yang sekarang ini aku beri gelas Mas Park Jimmi(n).” Cantika mulai merekam isi dapur yang didesign oleh salah seorang arsitek mengikuti selera yang aku inginkan.Can tadi bilang kalau rumah dan dapur ini adalah segalanya tentang Kayla. Sama sekali tidak. Rumah dan dapur ini sesuai dengan keinginanku dari dulu. Mungkin terkesan otoriter, tapi 100% uang untuk membangun hunian sekarang. Aku tidak pernah meminta pada kedua orang tuaku apalagi Kayla. Mantan kekasihku sebenarnya menghendaki kami tinggal di apartement. Tapi tidak cocok denganku. Memang aku sibuk, pergi kerja pagi pulang malam. Belum lagi akhir-akhir ini seperti kata Can aku mulai populer. Dan aku tidak mau terlalu larut dalam suasana. Sebagai seorang chef aku tetaplah makhluk sosial. Tinggal di apartement terlalu private bagiku. Lagi pula orang tuaku jadi tak bebas mau berkunjung. Kalau di sin
Oh, iya, dulu kan, aku pernah nonton kuda lumping makan beling. Kupikir dulu mereka makan dalam keadaan kesurupan. Apakah istri yang jarak usianya dua belas tahun di hadapanku juga sedang kerasukan?Lihatlah bagaimana dia menyeruput kuah sup yang panas dan pedas itu sekali telan. Astaga. Kuda lumping makan beling aja kalah dibuatnya. Apakah dia manusia atau jangan-jangan siluman jaran kepang yang nyasar. Lekas kudekati memastikan keadaan kalau Can baik-baik saja. Takut dia kenapa-kenapa dan aku sebagai suaminya harus tanggung jawab. “Apa, sih, Mas?” Dia menepis tanganku yang menempel di jidatnya. Oh, kurasa Can beneran sehat. “Kirain sesak napas kalau makan banyak gini, Can.” “Supnya enak, Mas,” ucapnya dengan mata dikedip-kedipkan cepat. Persis ulat keket kecentilan. “Terus?” Aku balik tanya. “Makasih.” Eh, bisa juga Can bilang makasih sambil tersenyum manis. Kirain cuman bisa tendang orang doang. “Itu aja?” Pelit amat Cantika. “Jadi maunya gimana?” Berhubung ditanyakan, aku
Sebentar aja lampu mati. Hmm mengganggu agenda pribadiku saja bersama Can. Sudah bisa ditebak setelahnya Can jadi malu sendiri. Lirik kiri, kanan, lalu berusaha untuk kabur. Oh tidak bisa semudah itu tentunya. Aku menarik jilbab Can refleks. Ternyata dia tidak memakai jepitan sama sekali. Sampai kain segi empat ini akhirnya aku pegang. “Iiih, apa, sih nyebelin deh jadi orang.” Bersamaan dengan jilbabnya lepas, terurai semua rambut hitamnya. Perubahan yang cukup signifikan. Dari tempatku berdiri saja sudah jelas sekali kalau Cantika yang dulu tomboi benar-benar melakukan perawatan. Terlihat rambutnya mudah diatur dan halus. Bukan seperti sarang burung walet terakhir kali aku jumpa dengan dia. “Balikin, nggak?” Dia memasang kuda-kuda ingin taekwondo. Dia pikir aku musuhnya. “Bisa minta tolong nggak, Can.” Aku bicara baik-baik dengannya. Untuk menyudahi drama ini. “Bisa,” jawabnya dengan mata berkedip cepat. Dipikirnya aku akan kasihan. Cepat sekali mood gadis berlesung pipi ini be
Suasana dapur sangat sibuk luar biasa. Posisiku di dapur ini adalah nomor dua yang paling sibuk. Banyak yang aku handle. Karena itu keberadaan arloji sangat penting pertama kali bagiku. Kedua, kain penutup kepala agar rambut yang sudah aku potong pendek tidak rontok ke makanan. Satu demi satu pesanan datang. Restaurant di hotel ini tidak pernah sepi pengunjung, kecuali saat wabah. Dua tahun lalu itu merupakan awal mula dari aku mulai dikenal di layar televisi. Banyak resep-resep makanan yang aku peruntukkan untuk ibu rumah tangga agar bisa membuka bisnis sampingan, dibagikan. Karena sampai kapan pun bisnis kuliner tidak akan pernah mati. Semua resep aku bagikan secara gratis. Bahan murah, tapi tidak murahan, dan bisa dijual dengan harga ekonomis. Pernah dua kali aku diundang podcast oleh dua orang youtuber terkenal. Lalu satu demi iklan skala kecil menghampiriku. Yang bangga luar biasa Kayla, karena sedikit demi sedikit pundi-pundi rupiah mengalir ke rekeningku. Beberapa kali dia m
Terkejut aku, Bestie. Bangun luar biasa siang. Eh sekalinya lihat jam tangan. Lah, baru jam empat pagi. Ngapain juga bangun shubuh banget. Jadi aku melingker lagi dan baru inget bentar lagi sholat. Aku ke kamar mandi dan langsung beres-beres. Sebenernya aku denger, kok, waktu Mas Park Jimmi(n) bangunin aku. Cuman, aku bingung mau ngapain sama dia nanti. Perutku ini yang susah diajak kompromi. Bunyi terus, apalagi waktu aroma bawang putih menguar sampai masuk ke dalam sanubariku. Janjinya aku pengen belajar masak. Tapi aku masih malas berduaan sama si mamas di dapur. Mas Park Jimmi(n) ngetuk pintu kamarku lagi. Dia pamitan kerja. Aku cuman bilang iya dalam hati aja. Habis itu aku keluar waktu denger suara mobilnya udah ninggalin halaman rumah ini. Aku ke dapur dan buka tempat penyimpanan makanan. Modern sekali konsep dapur si Mamas. Nggak ada tudung saji plastik yang gampang remuk, terus bolong, dan tahu-tahu lalat masuk bertelor di atas makanan. Tulisan di piring, makanan untukku.
Dari jauh aku lihat Bagas datang mendekat ke meja kami. Mahasiswa laki-laki yang cukup dekat denganku. Gampangnya, aku mengandalkan dia urusan tugas kampus. Ya, kadang-kadang aku minta dibuatin juga. “Eh, Can. Dia udah tahu kamu nikah, loh. Tapi, kok, masih mau deketin kamu ya?” “Urusannya apa coba antara aku udah nikah atau belum?” Aku nanya sama Intan biar jelas, karena sejauh ini kami nggak ada perasan apa-apa. “Kan, dia, naksir kamu, Can. Ya ampun nggak peka banget jadi orang.” Intan sampai tepok jidat. Ya, itu urusan si Bagas bukan urusanku. Dia nggak bisa maksa aku. “Aku pulang duluan ya, kalau gitu. Aku mau ke doojang. Ada kumpul hari ini sama sabam.” Ada pengarahan sedikit dari pelatih taekwondoku sekaligus pengumuman penting yang aku nggak tahu apa. “Aku anterin, Can.” Bagas berbaik hati. “Oke deh.” Aku jawab iya aja. Soalnya dari kampus ke doojang. Ya Allah jauh banget. Pakai motor aja bisa 60 menit. Apalagi pakai bus kota, kapan sampainya. “Ngapain bawa uler mainan,
Terus setelah kami pandang-pandangan. Kami sama-sama menarik napas panjang. Karena Mas Jimmi(n) mengalah duluan. Jadi aku ikut-ikutan nggak perlu melawan pakai emosi. Attitude ini aku dapatkan dari doojang tempatku belajar taekwondo. “Di kulkas, kan, ada banyak bahan, Can. Kenapa harus makan mi instan. Ini hanya untuk dalam keadaan darurat. Seperti bencana alam.” Mamas berusaha tenang menahan marah. Kelihatan dari mukanya. Segitu alerginyakah dengan mi instan?“Dan ketika anak kos atau keluarga nggak ada uang mereka juga makan mi instan, Mas.” Aku nggak mau kalah, yang aku bilang kenyataan. Temen-temenku banyak anak kos dari luar daerah seperti ini. “Apakah kamu masuk kategori keduanya?” “Nggak, sih?” Iya juga ya. “Nah, itu dia, Can. Lama banget bikin kamu paham situasi gini. Duh, gemes diri ini Ya Allah. Untung sepupu sendiri.” Bener, kan, beliau ini masih anggap aku sepupu. Tidak pernah lebih. Catat, ya, para kuntiku semuanya. Pembicaraan aku anggap selesai. Terus aku ngapain.
Susah payah aku lepas dari kejaran Kayla yang menuntut bantuan uang tunai 150 juta dariku. Ini adalah permintaan tergila darinya. Nggak bisa, nggak boleh, uang ini untuk Cantika. Sampai akhirnya aku minta bantuan satpam biar Kayla nggak ikut masuk ke dalam bank. Untung aku dapat nomor antrian terakhir. Selesai, sudah lunas hutangku sama Cantika. Aku nggak kirim pesan apa-apa, karena harus segera kembali ke hotel, dan lagi-lagi aku belum sempat makan selain roti bakar tadi pagi dan potongan kentang goreng pemberian teman. “Tega kamu, Jim. Harusnya uang itu buat aku bukan buat dia.” Kayla ngambek dan pergi. Terserah! hidup dia bukan urusan aku. Lagian dia terlibat masalah apa sampai butuh uang banyak? Ada yang mengancam katanya. Bukan aku nggak mau peduli, tapi aku harus menjaga hatiku sendiri. Pernikahan bukan ikatan yang bisa dipermainkan. Sampai di hotel, aku menyelesaikan pekerjaanku. Berpacu dengan waktu sambil curi-curi kesempatan makan dan terpaksa sambil berdiri. Istirahat