Dia masuk ke kamar, habis itu dia membawa selembar surat yang dikasih sama aku. Berisikan pernyataan. Surat izin dari wali untuk kepergian atlet taekwondo yang ke Korea Selatan beberapa minggu lagi. “Kamu mau ke sana?” tanyaku sambil menatap corak sponge bob di bajunya. Absurd. Udah besar kelaukan bocah. Udah jadi istri tapi masih takut suami. Pernikahan dadakan yang memang mengguncang kesehatan mental kami berdua. “Iya, Mas, terpilih. Sayang, donk, kalau nggak pergi,” jawabnya dengan mata berkedip-kedip lagiii. “Emang udah minta izin sama Mas?” Seingatku dia belum bilang apa-apa sama sekali. Oh, tentu harus aku persulit kepergiannya. Biar apa? Biar Can nggak terlalu independent dan bergantung padaku. “Ini, kan lagi minta izin.” Memelas sekali wajahnya. Sepertinya Can bener-bener pengen pergi ke Seoul. Mungkin momen ini bisa aku jadikan kesempatan untuk merebut hatinya. Coba saja dulu, kalau gagal tolong aku jangan ditendang sampai ke Seoul. “Kalau Mas nggak ngasih? Kamu mau
Satu jam kemudian aku pulang dari masjid. Can aku tinggalkan di dalam rumah. Aku takutnya dia melakukan yang aneh-aneh, tapi melihat kepribadian gandanya, nggak mungkin dia mikir macam-macam. Aku membuka pintu rumah. Can nggak ada di ruang tamu, dapur bahkan sampai ke dalam mesin cuci baju. Eh, aku lihat bajuku sudah diurus dengannya. Baik juga anak ini. Sempat aku berpikir dia akan cuek saja denganku. Hanya satu tempat yang tersisa. Yaitu, kamar Can. Kunci cadangan tergantung di sana. Aku buka pelan-pelan. Gadis bergigi taring satu ini sedang terlelap di kamar dengan kondisi laptop menyala. Layar itu baru tertulis ‘BAB 1’ dan tidak ada apa-apa lagi. Aku pindahkan laptopnya ke meja dan sempatkan memandang wajah Can sejenak. Semua agar bayangan Kayla terhapus perlahan-lahan. Aku sadar beberapa kali memanggil Can dengan nama mantanku, tapi murni kelepasan. Next time aku akan lebih menjaga mulutku. Kemudian aku berpaling. Takut terbawa suasana. Kecupan ringan tadi masih sangat jelas
“Boboiboy petir,” katanya, dan aku nggak paham apa yang dia bilang barusan. Dasar istri bocil. Jujur aku ingin mencium keningnya biar romantis. Ah, nggak jadi. Masih ingat aku gimana dia menendang angin habis memutar. Bisa rontok beneran gigiku. Padahal semakin banyak sentuhan yang aku berikan padanya, semakin akan membuatku akrab pada Cantika yang masih kekanakan. Tapi aku memang harus bersabar. Setidaknya ini lebih baik daripada mengkhawatirkan Kayla yang suka dengan gemerlap dunia malam dan pergaulan bebas. Bahkan dulu aku pernah mengabiskan uang belasan juta hasil menang lomba demi menutupi gaya hedon luar biasanya. Cinta kadang memang memupus logika. *** Hari ini di dapur pekerjaan kami dua kali lipat lebih banyak. Sepertinya ada moment spesial yang aku lewatkan. Bahkan pesanan yang datang bertubi-tubi. Sampai-sampai untuk minum saja aku diambilkan oleh asisten dapur. Aku lihat arloji, pantas saja semakin ramai, ternyata sudah jam makan siang. Semua sibuk masing-masing term
Gusti Allah. Maafkan hambamu yang tak lagi suci ini. Mas Park Jimmi(n) berani-beraninya kau merenggut kesucian bibirku. Hadeeh, banyak dosa hamba, Ya Allah. Sampai harus dapat ujian berat seperti ini. Aku beneran nangis di dalam kamar. Tutup badan pakai selimut, terkejut dengan kejadian super cepat seperti halnya saat Boboiboy petir keluarin jurus kilat pedang halilintarnya. Aku yang nota benenya atlet taekwondo dengan julukan tendangan super maut. Jadi nggak sempat menghindar, Ukhtiiie. Gimana, donk, ini. Huaah, aku kecolongan. Kadang bikin aku kezel memang Mas Park Jimmi(n). Sabar, Can, sabar. Orang sabar saldonya nambah. Hari ini kamu dapat 50 juta dari si Mamas, eh 53 juta bonus uang jajan. Mana tahu besok dikasihnya 100 juta lagi. Bisa aja, berdoa. Asal uangnya halal. Eh, iya, ya, aku, kan, udah jadi istrinya si Mamas. Jadi kenapa aku harus menggigil gini, cobak? Aneh memang si aku jadi orang. Dulu aku diputusin sama mantan yang mukanya kayak ikan asin, karena dulu dia berkali
Kata Mama kalau Mamas mau makan aku harus ambilkan sepiring nasi juga air putih. Aku diajarin gitu di telepon. Ya, aku ikut aja. Lagian udah biasa sama mamasku yang empat orang di rumah. Dia ngeliatin aku kayak yang aneh gitu. Apaan, sih? Perkara ambilin nasi aja harus gini. Aneh! Kuculek biji matanya baru tahu rasak. Aku lihat si Mamas narik napas panjang lagi sebelum mencoba sayuran sederhana dari aku. Aku jamin kali ini rasanya enak Mas Park Jimmi(n). Dia ambil satu sendok tauge dengan campuran enam saus. Pas masukin ke mulut, haaap, akhirnya. Eh, kok, si Mamas memejamkan mata sambil geleng-geleng kepala. Terus senyum-senyum sendiri lagi. Agak lain, ya, suami orang ini nyobain makanan istrinya. “Enak, kan, Mas?” Aku penasaran. Dia kayak menghayati gitu. “Kamu pakai saus, apa, Can?” Dia masih kedip-kedip mata. Keenakan kali, ya? “Semua saus di meja dicampurin. Tadi siang coba satu saus aja enak banget, kok. Apalagi enam, Mas.” Masuk akal, kan, cara berpikirku? Si Mamas minum
Mo nangis, weeee. Si Mamas buat perkara baru aja tiap hari. Apaan, tadi? Dia ngapain? Astogeee. Kesucianku ternodah. Ini sangat tidack adil buatku. Aku membeku dibuatnya. Nggak bisa ngapa-ngapain. Cuman bisa pejam mata. Ngapain juga pakai acara pejam mata, ya? Harusnya aku culek dua matanya pakai telunjuk, seperti yang aku pelajari di doojang. Selalu saja teori dan praktek nggak sejalan. Kenapa harus grogi. Padahal dulu aku sama dia udah biasa berantem. Kenapa harus dia main nyosor aja, nggak bisa minta izin dulu. Iih, aku kulitin baru tahu rasa si mamas. Atau aku sunat aja dia kedua kalia. Eh, masak aku buka celana orang? Sepanjang perjalanan Mas Park Jimmi(n) senyum-senyum sendiri. Aku? Cocok jadi duta sampho lain. Gerah, pengen berendem. Ahahahahahhaa, akhirnya aku tertawa sendiri. Si Mamas sampai kaget dan megang kening aku persis meriksa orang lagi demam. “Apa, sih!” gertakku. “Lah, kenapa? Kan, sudah suami istri,” jawab Mamas santai banget dia ngomong. Huaah, bisa dilapori
“Jungjong Mama, Yang mulai sudah menunggu.” Pintu kamar raja, gitu kata para dayang dibuka dan aku dipersilakan masuk. Aku menghadap yang katanya raja, dan saat itu juga aku tersedak angin puting beliung. “Ngapain di sini, Mas?” Kok, bisa, Mas Jimmin yang jadi raja. Sejak kapan dia punya trah pemimpin. Ngoahaha makin yakin aku terbawa perasaan gara-gara ciuman tadi. Hadeeeh. “Ratuku, sudah saatnya kita membuat anak.” Mas Jimmin berdiri dan aku memasang sikap awas.“Jangan macem-macem!” Aku memperingati. “Cuma satu macem aja, buat anak, ha ha ha!” tawa Mas Jimmin membahana. Dia jalan sambil lari-lari mengejarku di dalam ruangan. Apaan ini, woylaah, tolooooong! Kenapa nggak ada yang peduli samaku. Dia berhasil memelukku. Bibir Mamas dimonyong-monyongin. Please kenapa aku nggak bisa taekwondo di sini! Alarm di hape membuatku aku tersentak bangun. Mimpi apa barusan? Terus siapa yang ngatur jam tiga pagi gini bangunnya. Pasti Mas Park Jimmi(n) masuk kamar lagi tanpa izin dari aku. Ref
Pas aku memutar mobil. Aku tahu Kayla lagi nungguin, tapi aku udah nggak punya waktu buat meladeni dia lagi. Dia yang buat video itu jadi dia sendiri yang harus menyelesaikan masalah. Jadi aku berpikir selama perjalanan. Aku termasuk beruntung Kayla mundur di hari akad. Andai kata jadi dan sekarang kami sudah jadi suami istri. Dia pasti akan habis-habisan mengosongkan rekeningku. Sejenak aku merasa bersyukur, walau sebagai gantinya dapat dia satu paket dengan sifat kekanak-kanakan dan entah apa lagi pribadinya yang lain yang belum aku ketahui. Kalau diingat-ingat lagi aku jadi sering senyum melihat perangainya. Sampai di rumah aku disuguhkan oleh makanan berbahan dasar kecambah sama Can. Melihat dia mengambil nasi dan piring membuatku jadi sedikit merasa aneh. saja.Aku memberanikan diri mencoba kreasi hasil masakannya, walau dari aroma sausnya saja sudah jelas sekali dia asal campur-campur bahan, aku sampai memejamkan mata. Jenis saus apa yang dia aduk-aduk jadi satu. Dari pengak