Kata Mama kalau Mamas mau makan aku harus ambilkan sepiring nasi juga air putih. Aku diajarin gitu di telepon. Ya, aku ikut aja. Lagian udah biasa sama mamasku yang empat orang di rumah. Dia ngeliatin aku kayak yang aneh gitu. Apaan, sih? Perkara ambilin nasi aja harus gini. Aneh! Kuculek biji matanya baru tahu rasak. Aku lihat si Mamas narik napas panjang lagi sebelum mencoba sayuran sederhana dari aku. Aku jamin kali ini rasanya enak Mas Park Jimmi(n). Dia ambil satu sendok tauge dengan campuran enam saus. Pas masukin ke mulut, haaap, akhirnya. Eh, kok, si Mamas memejamkan mata sambil geleng-geleng kepala. Terus senyum-senyum sendiri lagi. Agak lain, ya, suami orang ini nyobain makanan istrinya. “Enak, kan, Mas?” Aku penasaran. Dia kayak menghayati gitu. “Kamu pakai saus, apa, Can?” Dia masih kedip-kedip mata. Keenakan kali, ya? “Semua saus di meja dicampurin. Tadi siang coba satu saus aja enak banget, kok. Apalagi enam, Mas.” Masuk akal, kan, cara berpikirku? Si Mamas minum
Mo nangis, weeee. Si Mamas buat perkara baru aja tiap hari. Apaan, tadi? Dia ngapain? Astogeee. Kesucianku ternodah. Ini sangat tidack adil buatku. Aku membeku dibuatnya. Nggak bisa ngapa-ngapain. Cuman bisa pejam mata. Ngapain juga pakai acara pejam mata, ya? Harusnya aku culek dua matanya pakai telunjuk, seperti yang aku pelajari di doojang. Selalu saja teori dan praktek nggak sejalan. Kenapa harus grogi. Padahal dulu aku sama dia udah biasa berantem. Kenapa harus dia main nyosor aja, nggak bisa minta izin dulu. Iih, aku kulitin baru tahu rasa si mamas. Atau aku sunat aja dia kedua kalia. Eh, masak aku buka celana orang? Sepanjang perjalanan Mas Park Jimmi(n) senyum-senyum sendiri. Aku? Cocok jadi duta sampho lain. Gerah, pengen berendem. Ahahahahahhaa, akhirnya aku tertawa sendiri. Si Mamas sampai kaget dan megang kening aku persis meriksa orang lagi demam. “Apa, sih!” gertakku. “Lah, kenapa? Kan, sudah suami istri,” jawab Mamas santai banget dia ngomong. Huaah, bisa dilapori
“Jungjong Mama, Yang mulai sudah menunggu.” Pintu kamar raja, gitu kata para dayang dibuka dan aku dipersilakan masuk. Aku menghadap yang katanya raja, dan saat itu juga aku tersedak angin puting beliung. “Ngapain di sini, Mas?” Kok, bisa, Mas Jimmin yang jadi raja. Sejak kapan dia punya trah pemimpin. Ngoahaha makin yakin aku terbawa perasaan gara-gara ciuman tadi. Hadeeeh. “Ratuku, sudah saatnya kita membuat anak.” Mas Jimmin berdiri dan aku memasang sikap awas.“Jangan macem-macem!” Aku memperingati. “Cuma satu macem aja, buat anak, ha ha ha!” tawa Mas Jimmin membahana. Dia jalan sambil lari-lari mengejarku di dalam ruangan. Apaan ini, woylaah, tolooooong! Kenapa nggak ada yang peduli samaku. Dia berhasil memelukku. Bibir Mamas dimonyong-monyongin. Please kenapa aku nggak bisa taekwondo di sini! Alarm di hape membuatku aku tersentak bangun. Mimpi apa barusan? Terus siapa yang ngatur jam tiga pagi gini bangunnya. Pasti Mas Park Jimmi(n) masuk kamar lagi tanpa izin dari aku. Ref
Pas aku memutar mobil. Aku tahu Kayla lagi nungguin, tapi aku udah nggak punya waktu buat meladeni dia lagi. Dia yang buat video itu jadi dia sendiri yang harus menyelesaikan masalah. Jadi aku berpikir selama perjalanan. Aku termasuk beruntung Kayla mundur di hari akad. Andai kata jadi dan sekarang kami sudah jadi suami istri. Dia pasti akan habis-habisan mengosongkan rekeningku. Sejenak aku merasa bersyukur, walau sebagai gantinya dapat dia satu paket dengan sifat kekanak-kanakan dan entah apa lagi pribadinya yang lain yang belum aku ketahui. Kalau diingat-ingat lagi aku jadi sering senyum melihat perangainya. Sampai di rumah aku disuguhkan oleh makanan berbahan dasar kecambah sama Can. Melihat dia mengambil nasi dan piring membuatku jadi sedikit merasa aneh. saja.Aku memberanikan diri mencoba kreasi hasil masakannya, walau dari aroma sausnya saja sudah jelas sekali dia asal campur-campur bahan, aku sampai memejamkan mata. Jenis saus apa yang dia aduk-aduk jadi satu. Dari pengak
Akhirnya, aku terlambat 10 menit. Pertama kalinya dalam hidup gara-gara Cantika Ayu Jelitta. Ya sudah, terpaksa aku terima saja, entah itu potong gaji atau mugkin SP satu. Memang salahku juga terlalu lama menggombalinya. “Jim, dipanggil sama Executive Chef, ke ruangannya sekarang.” Temanku datang dan menepuk bahu ketika aku sudah berganti seragam. Jam kerja kami akan dimulai beberapa menit lagi. Aku melangkah dan mengetuk pintu ruangannya. Seorang berwajah khas Arab tersenyum padaku. Ada seorang tamu perempuan yang menunggu. Ternyata Kayla. Oh, iya mereka saling kenal karena aku sangat lama menjalin hubungan dengan mantanku. Executive Chef mempersilakan Kayla keluar denganku. Kupikir aku akan dipanggil karena terlambat. Nyatanya karena hal lain dan sama sekali tidak terduga.“10 menit.” Aku melirik arloji, memberikan waktu bicara pada Kayla. “Kamu kenapa abaikan aku sekarang, Jim? Kamu tahu, kan, aku lagi butuh bantuan kamu.” Kayla memegang tanganku. Segera saja aku tepis takut o
Nah, di pinggir jalan ada penjual bunga segar yang hampir tutup. Aku beli satu ikat untuk Can. Suka atau tidak urusan nomor 100, yang penting ada yang dibawa. Supaya predikat nggak peka tadi hilang. Ribet sekali perasaan perempuan ini. Can yang nggak mood, aku yang repot. Can yang laper, eh, malah aku juga yang masak. Dasar! “Bunga warna apa, Mas. Putih? Pink, atau merah?” tanya penjualnya. “Hitam ada nggak?” Maksudku, kan, cocok sama kepribadian Can yang nggak beres. “Bunga orang mati itu, Mas, yang hatinya udah patah berkali-kali dibaperin sama pasangannya. Mau yang itu juga?” tanya si penjual gaul juga. Jangan, deh, ntar malah tambah marah Can. Ya, aku belikan bunga putih saja, seputih dan sesuci hatiku yang sedang belajar mencintai dia. Alon-alon, aku pasti bisa tidur, eh, maksudku pasti bisa membuatnya menerimaku sebagai suaminya. “Cantik pasti ceweknya, Mas.” Si kakak penjual bunga menambahkan satu batang mawar lagi. Bonus. Kenapa nggak buy one get one free. Seperti aku y
Seperti kata Mas Park Jimmi(n) tadi kalau aku harus serius belajar masak. Minimal diri sendiri nggak kelaperan. Dia aja laki bisa masak, harusnya aku juga bisa. Bu Atikah datang satu jam setelah aku nungguin beliau di kantin. Bimbingan dimulai. Cukup banyak bab satu dapat coretan dari beliau. Meski ya aku agak gampang mengajukan judul. Lihat yang lain jadi bola-balik revisi sampai mau nangis. Kebetulan Bu Atikah isi kelas selesai merevisi bab satu punyaku. Jadi aku bisa merapikan mana yang kurang biar cepet kelar urusan. Soalnya nggak sampai sebulan lagi aku sudah go to Seoul untuk turnament di sana, dan sampai sekarang izin belum juga turun. Gimana cara bujuk Mamas ya biar surat izin cepet turun. Sampai sekarang aku masih nggak ngerti the meaning of transaksi suami istri seperti apa.“Can, Can, Can, lihat, begh tu cewek damagenya nggak main-main. Cantik amat, seksi lagi, jalannya pinggul geal geol geal geol.” Intan menepuk bahuku. Ya, bener emang kedatangan cewek baju merah ini s
Aku muntah sampai keluar air mata. Nggak ada lagi isi perutku yang bisa dikosongkan. Tinggal air warna kuning yang rasanya luar biasa pahit. Seriusan, aku nyerah kalau udah kena magh. Biasanya Mama bakalan ngurusin aku sampai sembuh. Mas Jimmi ngasih aku tisu buat lap mulut sama air mata yang nggak mau berenti dari tadi. Kenapa aku nangis? Semua pikiran numpuk jadi satu di kepalaku. Ya, skripsi yang harus kelar semester depan biar aku nggak jadi mahasiswa abadi di kampus. Turnamen yang nggak lama lagi bahkan surat izin berangkatnya belum aku pegang. Belajar masak belum ada progres. Sekarang ditambah sama masalah antara Kayla sama Mamas. Mau nggak mau aku keseret. Gosip hamil, konten yang belum aku buat, bla bla bla, banyak lagi yang lain. “Jangan pegang-pegang.” Aku menepis tangan Mas Jimmi yang berusaha membantu aku berjalan. Aku harus ke rumah sakit sekarang, atau ke apotik beli obat, terus telpon Mama minta jemput. “Kamu sakit?” Dia lihat aku lagi main akrobat apa sampai nanya