Pas aku memutar mobil. Aku tahu Kayla lagi nungguin, tapi aku udah nggak punya waktu buat meladeni dia lagi. Dia yang buat video itu jadi dia sendiri yang harus menyelesaikan masalah. Jadi aku berpikir selama perjalanan. Aku termasuk beruntung Kayla mundur di hari akad. Andai kata jadi dan sekarang kami sudah jadi suami istri. Dia pasti akan habis-habisan mengosongkan rekeningku. Sejenak aku merasa bersyukur, walau sebagai gantinya dapat dia satu paket dengan sifat kekanak-kanakan dan entah apa lagi pribadinya yang lain yang belum aku ketahui. Kalau diingat-ingat lagi aku jadi sering senyum melihat perangainya. Sampai di rumah aku disuguhkan oleh makanan berbahan dasar kecambah sama Can. Melihat dia mengambil nasi dan piring membuatku jadi sedikit merasa aneh. saja.Aku memberanikan diri mencoba kreasi hasil masakannya, walau dari aroma sausnya saja sudah jelas sekali dia asal campur-campur bahan, aku sampai memejamkan mata. Jenis saus apa yang dia aduk-aduk jadi satu. Dari pengak
Akhirnya, aku terlambat 10 menit. Pertama kalinya dalam hidup gara-gara Cantika Ayu Jelitta. Ya sudah, terpaksa aku terima saja, entah itu potong gaji atau mugkin SP satu. Memang salahku juga terlalu lama menggombalinya. “Jim, dipanggil sama Executive Chef, ke ruangannya sekarang.” Temanku datang dan menepuk bahu ketika aku sudah berganti seragam. Jam kerja kami akan dimulai beberapa menit lagi. Aku melangkah dan mengetuk pintu ruangannya. Seorang berwajah khas Arab tersenyum padaku. Ada seorang tamu perempuan yang menunggu. Ternyata Kayla. Oh, iya mereka saling kenal karena aku sangat lama menjalin hubungan dengan mantanku. Executive Chef mempersilakan Kayla keluar denganku. Kupikir aku akan dipanggil karena terlambat. Nyatanya karena hal lain dan sama sekali tidak terduga.“10 menit.” Aku melirik arloji, memberikan waktu bicara pada Kayla. “Kamu kenapa abaikan aku sekarang, Jim? Kamu tahu, kan, aku lagi butuh bantuan kamu.” Kayla memegang tanganku. Segera saja aku tepis takut o
Nah, di pinggir jalan ada penjual bunga segar yang hampir tutup. Aku beli satu ikat untuk Can. Suka atau tidak urusan nomor 100, yang penting ada yang dibawa. Supaya predikat nggak peka tadi hilang. Ribet sekali perasaan perempuan ini. Can yang nggak mood, aku yang repot. Can yang laper, eh, malah aku juga yang masak. Dasar! “Bunga warna apa, Mas. Putih? Pink, atau merah?” tanya penjualnya. “Hitam ada nggak?” Maksudku, kan, cocok sama kepribadian Can yang nggak beres. “Bunga orang mati itu, Mas, yang hatinya udah patah berkali-kali dibaperin sama pasangannya. Mau yang itu juga?” tanya si penjual gaul juga. Jangan, deh, ntar malah tambah marah Can. Ya, aku belikan bunga putih saja, seputih dan sesuci hatiku yang sedang belajar mencintai dia. Alon-alon, aku pasti bisa tidur, eh, maksudku pasti bisa membuatnya menerimaku sebagai suaminya. “Cantik pasti ceweknya, Mas.” Si kakak penjual bunga menambahkan satu batang mawar lagi. Bonus. Kenapa nggak buy one get one free. Seperti aku y
Seperti kata Mas Park Jimmi(n) tadi kalau aku harus serius belajar masak. Minimal diri sendiri nggak kelaperan. Dia aja laki bisa masak, harusnya aku juga bisa. Bu Atikah datang satu jam setelah aku nungguin beliau di kantin. Bimbingan dimulai. Cukup banyak bab satu dapat coretan dari beliau. Meski ya aku agak gampang mengajukan judul. Lihat yang lain jadi bola-balik revisi sampai mau nangis. Kebetulan Bu Atikah isi kelas selesai merevisi bab satu punyaku. Jadi aku bisa merapikan mana yang kurang biar cepet kelar urusan. Soalnya nggak sampai sebulan lagi aku sudah go to Seoul untuk turnament di sana, dan sampai sekarang izin belum juga turun. Gimana cara bujuk Mamas ya biar surat izin cepet turun. Sampai sekarang aku masih nggak ngerti the meaning of transaksi suami istri seperti apa.“Can, Can, Can, lihat, begh tu cewek damagenya nggak main-main. Cantik amat, seksi lagi, jalannya pinggul geal geol geal geol.” Intan menepuk bahuku. Ya, bener emang kedatangan cewek baju merah ini s
Aku muntah sampai keluar air mata. Nggak ada lagi isi perutku yang bisa dikosongkan. Tinggal air warna kuning yang rasanya luar biasa pahit. Seriusan, aku nyerah kalau udah kena magh. Biasanya Mama bakalan ngurusin aku sampai sembuh. Mas Jimmi ngasih aku tisu buat lap mulut sama air mata yang nggak mau berenti dari tadi. Kenapa aku nangis? Semua pikiran numpuk jadi satu di kepalaku. Ya, skripsi yang harus kelar semester depan biar aku nggak jadi mahasiswa abadi di kampus. Turnamen yang nggak lama lagi bahkan surat izin berangkatnya belum aku pegang. Belajar masak belum ada progres. Sekarang ditambah sama masalah antara Kayla sama Mamas. Mau nggak mau aku keseret. Gosip hamil, konten yang belum aku buat, bla bla bla, banyak lagi yang lain. “Jangan pegang-pegang.” Aku menepis tangan Mas Jimmi yang berusaha membantu aku berjalan. Aku harus ke rumah sakit sekarang, atau ke apotik beli obat, terus telpon Mama minta jemput. “Kamu sakit?” Dia lihat aku lagi main akrobat apa sampai nanya
Tubuhku rasanya lelah luar biasa, mata juga jangan tanya lagi sudah ingin terpejam. Tapi di sebelahku Cantika sedang tidak enak badan. Dari muntahnya saja jelas sekali gadis bergigi taring satu ini habis makan mi instan. Sudah berapa kali aku bilang jangan. Dia tak mendengar, jadilah seperti ini. Plus mungkin dia ada tekanan lain. Tebakanku karena salah paham video Kayla. Ada sebuah klinik cukup terpercaya. Aku membelokkan mobil dan membantu Cantika berjalan. Selanjutnya ia dapat penanganan segera. Maghnya cepat sekali membuat atlet taekwondo ini jadi lemah tak berdaya.“Ya, silakan dirawat inap saja kalau memang disarankan begitu.” Aku mengiyakan perkataan dokter kalau memang harus ada penanganan lebih lanjut. Aku sempatkan menelepon executive chef walau hari sudah malam. Khawatirnya besok aku lupa meminta izin. Tak bisa aku tahan lagi kantuk mataku ini. Sudah sangat ingin memejam. Namun, aku harus membantu dia yang sedang lemah untuk makan dan minum obat. Melihatnya kalem seperti
Bagian 24 “Yakin udah bisa kuliah?” tanyaku pada Can ketika pagi hari dia sudah siap sekali untuk pergi ke kampus.“Yakin, Mas, skripsi harus dikerjain. Terus taekwondo juga tiga minggu lagi mau berangkat. Semuanya nggak bisa santai-santai.” Sudah kuduga ketika sedang serius dengan sesuatu Can tidak pernah main-main. “Harus jadi keduanya? Emang salah satunya nggak bisa ngalah, atau dilupakan. Atau dahulukan skripsi biar kuliah kamu cepat selesai. Taekwondo, kan, bukan hal yang wajib, Can.” Baru sebentar dia berdiri saja sudah mencari kursi. Baru aku paham ternyata sakit magh bisa seperti ini. “Nggak bisa. Kapan lagi dapat kesempatan ke Korea, Mas.” “Ke Korea aja, kan? Gampang. Sembuh kamu kita pergi berdua.” Penawaran dariku kalau memang hanya ingin jalan-jalan tujuannya. “Suasananya beda, Mas. Antara jalan-jalan sama jadi kontingen. Pokoknya, Can tetap pergi. Pasti bisa, kok, nanti bawa bekal aja dari rumah biar nggak jajan sembarangan.” Ya sudah kalau memang seperti itu keputus
Aku minta pulang, asli nggak betah banget di rumah sakit. Salah satu sebabnya karena aku harus satu ranjang berdua sama Mamas. Udahannya sempit, dingin lagi, pengen meluk tapi malu. Mana tanganku masih diinfus. Situasi yang membagongkan.Belum lagi aku yang nggak juga sembuh. Di rumah lemes banget. Jalan aja sampai raba-raba dinding. Apa-apa serba dibantuin. Mau nggak mau ya jadinya kami bersentuhan. Kelar udah perjanjian meja bundar di antara kami berdua. Tapi untuk urusan perhatian aku akui Mamas memang luar biasa sekali. Nggak ada yang luput apalagi urusan makanan. Kenapa bisa orang sebaik dia ketemu sama Kayla yang julidah ya? Habis itu gantinya aku yang gaje lagi. Ya udah, Mas, terima takdir aja, ya. Aku juga mulai belajar dikit demi dikit terima kalau kita bukan lagi sepupu. Hari ketujuh aku sakit, sudah mulai ada perubahan. Walau rasa makanan masih pahit banget di mulut. Aku yakin, sih, Mas Jimmi(n) pasti masakin yang enak-enak, tapi memang tawar sekali. Jadi aku telan aja ya
Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka
Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,
Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.
Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor
Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.
“Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku
Aku harus tetep profesional dalam bekerja. Walau jantung degupnya bukan main lagi dan keringat dingin sudah mengucur deras. Tapi nama pemenang tetap kami umumkan. Gegap gempita dan perayaan dimulai, itu bagi mereka, tidak bagiku. Aku hanya terpaku dan tersenyum palsu tanpa tahu harus bagaimana. Kamera masih menyorotku dan aku nggak bisa pergi. Senyumanku palsu pada semua orang. Sampai ada kira-kira setengah jam perayaan belum juga selesai. Aku minta izin sama papa untuk undur diri. Nyatanya aku nggak kuat dan duduk di kursi sebelah papa. Kakiku lemes. “Kenapa?” tanya papaku yang habis minum air putih. Aku nggak sanggup bicara lagi dan hanya memberikan ponselku pada papa. Beliau juga diam dan mengembalikan benda itu padaku. “Sudah pernah Papa bilang gimana resikonya. Sekarang kamu duduk yang tenang dan tunggu kabar aja, semoga semuanya selamat. Biasanya nanti ada berita resmi atau kalau nggak, ada kabar-kabar burung di sosmed. Jangan mikir untuk buat macem-macem, ya, Nak.” Papa, m
Suasana di pinggiran Lebanon sangat mencekam. Udah beberapa kali kami hampir aja bentrok dengan tentara Israel yang mulai kelewat batas. Biasanya aku cuman baca gimana perangai mereka yang suka kelewat batas sama penduduk sipil tak bersenjata pula. Sekarang aku rasakan sendiri. Terbayang olehku wajah perempuan yang lemah dan berlarian demi menyelamatkan harga diri serta kesucian. Pernah aku angkat senjata dan teman-teman karena mereka berkelakuan layaknya binatang. Sudahlah di sini kami tidak bisa kontak dengan keluarga, ditambah beban mental mengayomi para tentara kurang pendidikan. Yang aku dengar di sana ada wamil dan asal comot tentara. Gimana ceritanya banci bisa pegang senjata. Mana dia tahu wilayah yang boleh diserang atau nggak, atau yang diprioritaskan untuk ditolong. Di mata tentara Israel semua yang ada di hadapan mereka adalah kecoak yang boleh diinjak. Keadaan agak tenang sedikit ketika kami memasuki pedesaan yang berbatasan langsung dengan Israel. Warga desanya takut
Di sini aku sekarang, di dalam restaurant di mana seharusnya kami makan malam bersama. Udah nggak kehitung berapa kali kami janjian tapi harus dibatalin. I think our problem is about time. Bukan orang ketiga yang jadi kendala. Karena aku mau sama satu orang aja udah bagus. Setiap hari aku mikirin mending udahan aja, tapi cuman di kepala aja gaes. Aslinya kicep aku, wkwkwkwk, banyak gaya memang. Sesaat kemudian aku v call sama dia. Aku tunjukkin kalau aku juga serius. Ya, jam tangan dan kue tart adalah salah satu bukti kalau aku bukan gadis lugu tapi nggak komitmen. Sebentar aja kami ngobrol soalnya dia bilang mau sampai di markas. Aku kasih dia pesan cinta, awas kawin banyak-banyak di sana. Jangankan banyak, satu aja aku nggak terima. Oke, nggak usah debat aku tahu itu hak laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk memilih. Setelah balasan dari pesannya nggak muncul lagi, aku makan sendirian di restaurant. Kue tartnya aku bagiin sama pegawainya aja. Siapa yang mau makan di rumah? U