Bagian 26 “Can,” panggil Mamas lagi. Aku pengen jadi duta sampho lain. Eh, tapi jangan deh, entar ke mana-mana lagi pikiran kalau bahas keramas. Gak kelar-kelar masalah. “Can!” Agak tinggi nada Mamas panggil. “Can, astaghfirullah. Kamu ngapain? Mas panggil dari tadi nyaut aja enggak. Kayak nggak punya kuping kamu.” Mungkin Mas Jimmi(n) heran lihat aku nempel di dinding. “Mas, jangan sekarang, please. Can belum siap.” Jujur aja, deh, daripada kena terkam. Dicium aja bisa kaku apalalagi kalau dia macem-macem. “Emang kamu pikir Mas mau ngapain. Mas mau cerita, loh. Astaga anak ini. Pikiran dia yang ngaco.” Oh, ya ampun. Aku suudzon melulu, hadeh, pikiranku ternoda cerita dewasa kayaknya. Padahal baca aja nggak pernah. “Iya, Mas, emang mau cerita apa?” Aku udah nggak nempel lagi di dinding. Aku pasang kuping denger cerita Mas Park Jimmi(n). Kayaknya serius, sih. Kelihatan dari mukanya. “Mas, mulai hari ini udah berenti kerja di hotel,” katanya dan bisa membuatku seketika berdiri
Setidaknya aku sudah mencoba terbuka dengan Can. Aku cerita tentang keputusan sepihak dari hotel yang memecatku. Dia terkejut, tapi habis itu ekspresinya cepat sekali kembali seperti semula. Lewat tengah malam aku terbangun dan masih melihat Can memelukku seperti tadi. Wow, dia tidak merasakan keram? Posisi yang agak tidak aman bagi jantungku. Gawat kalau setiap hari seperti ini. Aku mengajak Can pergi ke pasar pagi. Di sana barang-barang baru datang, masih gelap memang, tapi kualitas tak diragukan lagi. Aku selalu berbelanja di sana untuk mengisi kulkas di rumah mamaku dulu. Sambil membicarakan rencana bulan madu ke Korea saat Can kompetisi atau apalah itu aku tak terlalu tahu.Terkejut Can? Tentu saja, dia sampai membuka google demi mencari arti dari kata transaksi suami istri yang kata dia tadi malam ada uang ada barang. Haduh, absurd sekali isi kepalanya. Dia samakan dengan jual beli di pasar. Sampai akhirnya Can paham dan memandangku sangat aneh. Ya, memang kenapa? Wajar suami
Degup jantungku lumayan kencang. Nggak tahu dengan Can. Yang jelas kami sama-sama bingung dan kembali mengurus masakan yang belum selesai. Sampai-sampai aku salah memberikan instruksi, dan kami jadi tertawa sendiri. Bisa-bisanya dipergoki oleh Mama. Mau ditaruh di mana muka ini. “Enak banget aroma masakannya.” Mamaku keluar dari kamar begitu juga dengan mama mertua. Pagi sebentar lagi akan masuk. Aku meminta Can untuk menuang dan menyuguhkan semangkuk sup dengan rapi untuk kedua orang tua kami. Nggap apa-apa makan pagi-pagi sekali, nggak ada yang melarang juga. “Can, kamu menunjukkan perubahan yang bagus semenjak menikah sama Jimmi. Tahu gitu dari dulu Mama jodohin kamu sama dia,” kata mama mertua. Dia menyicip masakan buatan Can. Ya, jelas enak, ada andilku sangat besar di sana. “Tahu, nggak. Sebenernya dari dulu kami pengen jodohin kalian. Tapi Jimmi udah keburu pacaran sama Kayla. Untung sebenernya waktu dia dulu naikkan mahar tiga kali lipat. Jadi jalur expres tanpa hambatan k
Selesai dua mama pulang. Kami menjalani aktifitas masing-masing. Bener-bener seperti saat masih lajang. Paling ya, Mas Jimmi(n) akan bertanya aku udah makan atau belum. Soal belajar masak? Kadang-kadang nggak sempat. Dia lagi sibuk mau syuting, katanya untuk kejar tayang selama satu bulan di tivi. Apa Mamas lupa, ya, kalau aku mau ke Korea Selatan bentar lagi. Nggak sampai tiga minggu. Semua yang dia minta aku iyakan. Termasuk satu kamar. Tapi, kok, nggak ada apa-apa, sih. Sengaja mengulur waktu biar aku nggak jadi pergi atau gimana? Mas Jimmi(n) ngerti nggak, sih, kalau aku rela melakukan apa saja demi agar bisa bertanding ke Korea Selatan. Nggak banyak kontingen terpilih. Delapan orang aja, tiga perempuan salah satunya aku. Kalau nggak jadi pergi cuman karena urusan yang satu ini, iiih, nggak maulah aku. Kapan lagi bisa ke sana. Kalau pergi pakai uang sendiri sayang, ciiin, duitnya. Masak gadaikan ginjal aku, hiks.Oke, aku coba bermanis-manis sama dia. Bahkan aku berinisiatif bel
Mas Jimmi(n) bangunin aku pagi-pagi banget. Dih, dia nggak peka sama sekali apa kalau aku udah kekurangan kasih sayang juga kurang tidur atau kurang diajak tidur kali, ya. Ya Allah jadi kayak hamba ini pengemis cinta saja. Untung cuman pendam dalam hati, coba kalau aku ucapkan. Udah babak belur si Mamas aku buat. “Can, kita ke bandara loh, pagi-pagi, ayo bangun. Ya Allah anak ini.” “Iya, iya, bangun.” Aku tendang guling sama selimut. Mengkaget, Bestieh. Mas Jimmi kesayanganku dan yang paling nyebelin udah siap, rapi, ringkes, plus ganteng. Begh, lelet amat aku jadi orang. Nggak lama aku mandi pagi. Lima belas menit selesai. Lagi malas dandan, percuma juga. Es batu di dalam kulkas empat pintu gak cair-cair dari kemarin. Pagi ini kami pergi pakai taksi. Katanya mobil Mas Park Jimmi(n) kw sepuluh dititipkan di rumah mama mertua. Sepanjang perjalanan kami diam membisu. Mamas buka hape. Lagi ngapain? Nggak tahu atau lebih tepatnya aku nggak mau tahu. Bodo amat. Taksi sampai di bandara
Nggak ngerti juga kenapa Can cemberut terus dua hari ini. Sampai-sampai di dalam pesawat juga sewot banget jadi orang. Pakai salah peribahasa lagi. Ayam mati di lumbung ketan. Ha ha, astaghfirullah. Tingkahnya ada aja. Untungnya dia sekarang udah tidur nyenyak. Kepalanya nyender di bahuku. Kalau begini dia jadi sweet banget. Aku lihat mukanya seperti kelelahan. Ya, memang beberapa minggu ini aku terlalu cuek sama dia. Tapi, nggak ada pilihan lain. Sibuk kejar tayang, walau ada beberapa hari pulang cepat, tapi aku harus mengurus tempat tinggal kami selama di Seoul nanti. Nggak masuk dananya kalau tinggal di hotel selama 45 hari kurang lebih. Jadi aku meminta tolong dari seorang teman yang punya kenalan untuk mengurus rumah kami di sana. Can, tangan sama kakinya nggak bisa diem selama tidur. Aku jadi bangun tiap sebentar. Kadang dia meluk, kadang dia pegang muka aku. Nggak jelas. Bisa dia seperti ini di dalam pesawat. Aku beneran nggak jadi tidur. *** Pesawat telah mendarat di Ban
Pagi hari sekitar waktu Korea, kami berdua sudah bangun dari tadi. Di dapur tidak ada apa-apa sama sekali. Kami hanya makan ayam goreng pedas yang semalam tidak jadi dimakan karena perasaan deg deg ser takut disamperin kepolisian setempat. Selesai makan Can minta waktu sekitar satu jam. Kupikir minta untuk apa, ternyata dia latihan ringan di pekarangan rumah. Aku memperhatikan setiap gerakan Cantika. Begitu terarah dan sudah terbukti tadi malam hasilnya. Kalau misalnya dia tidak jadi dapat emas sudah pasti lawannya jauh lebih hebat daripada Can. “Mas, donat, kan, bahannya cuman tepung, telor, sama mentega, kan, ya?” tanya dia ketika sudah selesai latihan. “Pakai susu bubuk lebih bagus, sama pengembang roti.” “Berarti donat di sini halal dibeli donk? Pengen banget makan donat, Mas. Bikin, kan, lama. Pernah baca resepnya dua jam paling cepet.” “Belum tentu halal, Can, kalau pengembang roti nggak semuanya halal, ada yang pakai ekstrak babi juga kalau nggak teliti.” Iya, memang demi
Ya, kami memang sudah jadi suami istri beneran, ehm sejak tadi sih. Nggak perlu main petak umpet lagi kalau untuk ganti baju di depan pasangan. Nggak perlu malu-malu lagi cerita semua hal. Dari persaudaraan menjadi ikatan yang lebih erat. Dan untungnya lagi Mas Jimmi(n) setuju untuk kita berdua sama-sama menunda punya anak. Padahal umur Mamas udah 32 tahun, aku pikir mau secepatnya. Ya, soalnya situasi lagi turnament gini nggak cocok beneran untuk program punya anak baik itu instan atau direncanakan. Cara menunda punya anaknya gimana? Ada, deh, rahasia! Selama di Korea, urusan makan aku bener-bener bergantung sama dia. Aku ikutan masak semua yang dia ajarin. Cuman kadang di sini aku bingung mana yang halal mana yang nggak. Mungkin kalau pergi sendiri, jajanan pinggir jalan yang bisa aja ada babinya aku beli juga. Rutinitas kami jadi sama selama aku tekun latihan di Korea, pagi belajar masak terus latihan sendiri, siang sampai sore latihan di arena yang sudah disediakan pemerintah S