Mas Jimmi(n) bangunin aku pagi-pagi banget. Dih, dia nggak peka sama sekali apa kalau aku udah kekurangan kasih sayang juga kurang tidur atau kurang diajak tidur kali, ya. Ya Allah jadi kayak hamba ini pengemis cinta saja. Untung cuman pendam dalam hati, coba kalau aku ucapkan. Udah babak belur si Mamas aku buat. “Can, kita ke bandara loh, pagi-pagi, ayo bangun. Ya Allah anak ini.” “Iya, iya, bangun.” Aku tendang guling sama selimut. Mengkaget, Bestieh. Mas Jimmi kesayanganku dan yang paling nyebelin udah siap, rapi, ringkes, plus ganteng. Begh, lelet amat aku jadi orang. Nggak lama aku mandi pagi. Lima belas menit selesai. Lagi malas dandan, percuma juga. Es batu di dalam kulkas empat pintu gak cair-cair dari kemarin. Pagi ini kami pergi pakai taksi. Katanya mobil Mas Park Jimmi(n) kw sepuluh dititipkan di rumah mama mertua. Sepanjang perjalanan kami diam membisu. Mamas buka hape. Lagi ngapain? Nggak tahu atau lebih tepatnya aku nggak mau tahu. Bodo amat. Taksi sampai di bandara
Nggak ngerti juga kenapa Can cemberut terus dua hari ini. Sampai-sampai di dalam pesawat juga sewot banget jadi orang. Pakai salah peribahasa lagi. Ayam mati di lumbung ketan. Ha ha, astaghfirullah. Tingkahnya ada aja. Untungnya dia sekarang udah tidur nyenyak. Kepalanya nyender di bahuku. Kalau begini dia jadi sweet banget. Aku lihat mukanya seperti kelelahan. Ya, memang beberapa minggu ini aku terlalu cuek sama dia. Tapi, nggak ada pilihan lain. Sibuk kejar tayang, walau ada beberapa hari pulang cepat, tapi aku harus mengurus tempat tinggal kami selama di Seoul nanti. Nggak masuk dananya kalau tinggal di hotel selama 45 hari kurang lebih. Jadi aku meminta tolong dari seorang teman yang punya kenalan untuk mengurus rumah kami di sana. Can, tangan sama kakinya nggak bisa diem selama tidur. Aku jadi bangun tiap sebentar. Kadang dia meluk, kadang dia pegang muka aku. Nggak jelas. Bisa dia seperti ini di dalam pesawat. Aku beneran nggak jadi tidur. *** Pesawat telah mendarat di Ban
Pagi hari sekitar waktu Korea, kami berdua sudah bangun dari tadi. Di dapur tidak ada apa-apa sama sekali. Kami hanya makan ayam goreng pedas yang semalam tidak jadi dimakan karena perasaan deg deg ser takut disamperin kepolisian setempat. Selesai makan Can minta waktu sekitar satu jam. Kupikir minta untuk apa, ternyata dia latihan ringan di pekarangan rumah. Aku memperhatikan setiap gerakan Cantika. Begitu terarah dan sudah terbukti tadi malam hasilnya. Kalau misalnya dia tidak jadi dapat emas sudah pasti lawannya jauh lebih hebat daripada Can. “Mas, donat, kan, bahannya cuman tepung, telor, sama mentega, kan, ya?” tanya dia ketika sudah selesai latihan. “Pakai susu bubuk lebih bagus, sama pengembang roti.” “Berarti donat di sini halal dibeli donk? Pengen banget makan donat, Mas. Bikin, kan, lama. Pernah baca resepnya dua jam paling cepet.” “Belum tentu halal, Can, kalau pengembang roti nggak semuanya halal, ada yang pakai ekstrak babi juga kalau nggak teliti.” Iya, memang demi
Ya, kami memang sudah jadi suami istri beneran, ehm sejak tadi sih. Nggak perlu main petak umpet lagi kalau untuk ganti baju di depan pasangan. Nggak perlu malu-malu lagi cerita semua hal. Dari persaudaraan menjadi ikatan yang lebih erat. Dan untungnya lagi Mas Jimmi(n) setuju untuk kita berdua sama-sama menunda punya anak. Padahal umur Mamas udah 32 tahun, aku pikir mau secepatnya. Ya, soalnya situasi lagi turnament gini nggak cocok beneran untuk program punya anak baik itu instan atau direncanakan. Cara menunda punya anaknya gimana? Ada, deh, rahasia! Selama di Korea, urusan makan aku bener-bener bergantung sama dia. Aku ikutan masak semua yang dia ajarin. Cuman kadang di sini aku bingung mana yang halal mana yang nggak. Mungkin kalau pergi sendiri, jajanan pinggir jalan yang bisa aja ada babinya aku beli juga. Rutinitas kami jadi sama selama aku tekun latihan di Korea, pagi belajar masak terus latihan sendiri, siang sampai sore latihan di arena yang sudah disediakan pemerintah S
“Can, kamu nggak apa-apa?” Mas Jimmi(n) datang. Dia kasih aku handuk kecil sama air mineral. “Hampir babak belur, Mas.” Jawaban dariku, walau sebenarnya udah bonyok juga. Udah pakai pelindung aja sakitnya tembus sampai ke tulang. Bayangin nggak pakai pelindung. “Ronde pertama kontingen Korea menang, ya? Kalau ronde kedua dia juga yang menang, artinya medali emas sama mereka?” tanya Mamas.“Iya, Mas.” Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga supaya dapat emas kali ini. “It’s okey not to get gold, Can. Nggak semua perlombaan harus kita menangkan. Ada namanya perlombaan itu lebih memberi kita pada pelajaran hidup.” “Mas, ngomong gitu, kan, udah dapat banyak emas?” Kok, dia bukannya ngasih aku semangat biar dapat emas, ya. Aneh Mamas, ah. “Kamu, kan, lihat ada juga perak sama perunggu. Yang jadi juara favorit ada juga, malah yang cuman jadi peserta juga ada, Can. Semua tahapan sudah Mas lewatin. Apa pun hasilnya yang penting kita sudah semaksimal mungkin. Kamu udah usaha habis-habisan. L
Kami sudah sampai di Indonesia. Kami pulang tepat waktu sesuai jadwal, karena sejujurnya sudah tidak kuat dengan cuaca dingin di Korea dan biaya hidup di sana yang luar biasa besarnya. Sampai uang modalku untuk membuka restaurant terpakai. Nggak mungkin minta bantuan sama Cantika walau dia ada uang. Bisa hilang mukaku di depannya. Sampai di bandara, tentu saja kedatangan Can dan kontingen lainnya disambut dengan kalungan bunga dan ucapan terima kasih. Tidak lupa foto-foto untuk urusan dokumentasi tempat latihan dan negara, katanya. Istriku seperti menjelma sebagai seleb dadakan yang harus berpose sesuai permintaan kameramen. Masih di bandara kami tertahan. Padahal aku sudah letih sekali ingin merebahkan diri di kasur. Can sepertinya begitu juga, tapi dia tetap pasang wajah ramah. Terutama ketika pihak salah satu skin care memintanya untuk endorse sun screen mereka sebagai produk yang dipakai Can saat latihan di dalam atau di luar ruangan. Pengambilan gambar untuk endorse tidak ada
“Kenapa bisa ada dia di sini?” Aku nanya sama salah satu juri. “Emang dia siapa?” Dia malah balik bertanya. “Istrinya Chef Jimmi, masak nggak tahu, sih? Nggak diundang ya, pas, nikahan,” jawab Cheff Bella yang masih mengenali siapa Cantika. “Aku yakin, sih, ini gimmick buat menaikkan rating tayangan. Tiba-tiba aja nongol peserta ke 21, padahal kesepakatan 20 dari awal.” Tebakan Chef Putra yang ada di sebelahku. Kami memang berdiskusi sebentar, karena ini terlalu dadakan. Jujur aku nggak tahu harus apa? Kalau sudah di dapur tentu harus professional. Semua yang pernah bekerja denganku tahu bagaimana aku dulu. Tapi kalau berhadapan dengan istri sendiri, harus bagaimana? Cantika dikerasin, dia ngambek. Didiemin nggak jadi apa-apa. Pusing kepalaku dibuatnya. Diskusi selesai, program tetap harus berjalan sesuai dengan ketentuan. Kalau masakan Cantika tidak enak dia harus dipulangkan. “Oke, selamat datang di dapur Super Food. Silakan perkenalan diri kamu.” Bella yang bicara sama Can, b
Aku bukan-buka lagi situs IPS, memastikan harga kursus di sana. 37 juta rupiah, diajarin sampai pinter, semua bahan disediakan. Hasil kue boleh dibawa pulang dan resep tidak disebarkan untuk umum. Pengajarnya Master Aing, sudah sangat professional di bidang patissery dan terbukti anak didiknya sukses dalam bisnis cake and bakkery. Minat juga aku jadinya. 37 juta, uang mahar masih utuh, uang hadiah udah cair. Nggak apa-apa, deh, demi sebuah pribadi yang jauh lebih baik. Biar bisa ngimbangin Mas Jimmi(n) juga. Baru aja aku buka pintu rumah. Niatnya jalan kaki ke depan untuk cari bus. Eh, ada orang nggak dikenal dua perempuan bilang hai sama aku. Katanya mereka dari program Super Chef yang jurinya suamiku sendiri. “Iya, terus saya bisa bantu apa, ya? Saya nggak terlalu pinter masak. Konten tik tok saya juga masih random, Mbak?” Aku menyuguhkan pizza buatanku pagi tadi.“Jadi peserta tambahan, Mbak,” jawab seseembak pakai lipstik merah cabe sambil comot pizza buatanku. Ekspresinya men